Dunia Kerelawanan dan Kelembagaan (Bagian 7): "Mengingat Kesalahan di Masa Lalu"

Dunia Kerelawanan dan Kelembagaan (Bagian 7): "Mengingat Kesalahan di Masa Lalu"

Siapa pun kita, pasti pernah mencetak kesalahan. Sengaja maupun tidak. Bahkan, sekuat apa pun perjuangan kita untuk hati-hati, tetap saja suatu saat ada takdir terjatuh dalam kesalahan. Meski pun kita tak suka, dan walau pun kita tak mau. Justru sebenarnya kejatuhan kita dalam kesalahan masih menyimpan satu hikmah. Agar kita tak jumawa, tidak pongah, tidak ujub, atau pun tak berbangga diri. Sebab, jika kita tak selamat dari perasaan ujub karena merasa tak pernah salah, justru di saat itulah sejatinya kita sudah sangat jauh dan sangat dalam terjerembab ke jurang kesombongan.

Begitu pula saat kita berada dalam dunia komunitas dan kejamaahan. Saat ada kala secara individu kita melakukan kesalahan, maka pada skala jamaah dan kelembagaan juga sama. Semua tak ada jaminan. Baik individu maupun lembaga, sama-sama punya potensi dan peluang berbuat salah.

Lalu apa pentingnya kita selaku individu atau pun lembaga mengingat-ingat kesalahan kita?

"Sudahlah, yang sudah terjadi biarkan berlalu dan hilang dari kenangan."

"Kapan kita bisa bergerak maju jika kita selalu terkekang dengan kesalahan di masa lalu?"

Seringnya justru kita malah terbius oleh kata-kata di atas. Seakan sudah benar, padahal sering menyesatkan. Ya, menyesatkan. Sebab, ada kalanya kita malah semakin tersesat akibat kata-kata tersebut.

Dunia Kerelawanan dan Kelembagaan (Bagian 6): “Suatu Saat Kita Mesti Mengalah Demi Kebaikan”
Perasaan cinta dan benci itu memang menjadi ciri khas makhluk hidup bernama manusia yang masih waras. Kapan mencinta dan kapan membenci itu selalu ada waktunya. Dan akan selalu hadir sebelum datangnya kematian.

Pertama, kita harus yakini bahwa apa yang terjadi pada diri kita tak akan lepas dari takdir yang telah Allah catat sejak 50.000 tahun sebelum penciptaan langit dan bumi sebagaimana disebutkan dalam hadits sahih. Selanjutnya, kita memiliki kewajiban dan tanggung jawab terkait kesalahan yang telah kita perbuat, yaitu kewajiban mengambil ibroh dan pelajaran atas kejatuhan kita pada kesalahan tersebut, lalu bertanggung jawab untuk memperbaikinya.

Dua hal penting di atas akan menempa dan mendidik jiwa kita agar tak lekat dengan sikap ghurur, yaitu terlena. Bisa saja kita terlena dengan keberadaan kita yang secara lahir terlihat baik-baik saja. Kita adalah orang baik-baik, dan lembaga kita adalah lembaga yang juga baik-baik. Jadi tak mungkin kita yang orang baik-baik berbuat salah, sebagaimana lembaga baik-baik kita juga tak mungkin berbuat salah. Maka, tak terasa sikap ghurur kita telah mengarahkan kita kepada ujub dan kesombongan. Sebab, kita yang sudah merasa baik-baik tak akan mungkin berbuat salah.

Dan jika sikap buruk ini sudah demikian melekat pada pikiran kita, selanjutnya kita tak akan bisa lagi menerima nasihat. Kenapa demikian? Sederhana saja jawabannya. Kita tidak berbuat salah karena kita orang baik-baik. Jadi tak ada lagi nasihat yang kita butuhkan, karenanasihat itu jauh lebih layak dibutuhkan oleh orang yang berbuat salah.

Maka, di sinilah kesalahan fatal kita. Yaitu, saat ada takdir kita melakukan kesalahan tetapi kita merasa tak berbuat salah. Sebab, kita sudah yakin sekali bahwa kita adalah orang baik-baik, dan lembaga kita adalah lembaga baik-baik. Benarlah kata Rasulullah SAW saat menjelaskan tentang kesombongan, bahwa "Kesombongan adalah menolak kebenaran dan meremehkan orang lain."

Padahal, kita tak akan mampu menata masa depan dengan baik jika kita tak pernah mau belajar dari kesalahan yang telah kita lakukan. Di situlah pentingnya kita mengingat apa kesalahan kita. Bahkan hingga kesalahan kita di masa lalu sekali pun. Kemampuan kita mengambil hikmah dan pelajaran dari kesalahan kita akan senantiasa menjaga kita dari keterpelesetan langkah kita di masa mendatang. Itulah mengapa Allah banyak menampilkan kisah-kisah luar biasa dalam Al Qur'an.

Mengapa Allah abadikan kisah Perang Uhud dan Perang Hunain, misalnya? Sebab, di dua kisah perang tersebut ada pelajaran agung dan dahsyat yang hendak Allah tanamkan dalam jiwa kita. Bahwa orang-orang baik pun masih ada takdir berbuat salah, yaitu pasukan pemanah di Perang Uhud, dan sikap terlena akan jumlah pasukan yang besar di Perang Hunain. Kesalahan-kesalahan tersebut akhirnya menorehkan luka yang berat pada pasukan kaum muslimin. Selanjutnya, Allah perintahkan kita untuk membaca kisah-kisah tersebut berkali-kali, dan mengkajinya juga berkali-kali. Buat apa?

Agar kita tak selalu merasa baik-baik saja.

Agar kita tak selalu merasa bahwa lembaga kita juga baik-baik saja.

Agar kita tak merasa bahwa mustahil kita dan lembaga kita berbuat salah.

Dengan begitu, selanjutnya kita akan selalu membutuhkan nasihat dan masukan orang lain, agar kita bisa memperbaiki diri kita dan lembaga kita.

Dunia Kerelawanan dan Kelembagaan (Bagian 8): “Godaan Menjadi Pahlawan”
Bahkan para brengsek pun ingin tampil sebagai orang baik. Maka, yang sejatinya orang baik, dorongannya lebih kuat untuk selalu memiliki citra orang baik. Ini kewajaran pada diri kita. Setan paham bahwa celah ini bisa disulut, lalu dikobarkan menjadi api yang besar untuk melahap habis pahala manusia.

Komentar Anda:

Anda telah berhasil berlangganan di Sabili.id
Selanjutnya, selesaikan pembayaran untuk akses penuh ke Sabili.id
Assalamu'alaikum! Anda telah berhasil masuk.
Anda gagal masuk. Coba lagi.
Alhamdulillah! Akun Anda telah diaktifkan sepenuhnya, kini Anda memiliki akses ke semua artikel.
Error! Stripe checkout failed.
Alhamdulillah! Your billing info is updated.
Error! Billing info update failed.