Negara-negara yang hari ini telah mencapai kemajuan tinggi dalam praktik demokrasi pun pada awalnya mengalami proses keterseokan, fluktuasi, dan masa transisi yang kerap mencemaskan. Setiap negara demokrasi memiliki pengalaman masing-masing dalam proses menuju demokrasi. Pengalaman tersebut bersifat unik. Artinya, sangat boleh jadi, proses demokratisasi antara satu negara dengan negara yang lain akan berbeda.
Beberapa negara memulai proses demokratisasinya dengan perencanaan yang matang. Sehingga, proses dan pentahapannya bisa lebih terukur. Namun, tak sedikit negara yang justru mengawali proses demokratisasi karena “insiden”, sehingga dipaksa oleh situasi untuk berproses melakukan gerak menuju demokrasi. Indonesia adalah salah satu negara yang proses demokrasinya muncul oleh desakan keadaan yang bersifat mendadak, tanpa skenario.
Meski demikian, proses demokratisasi – diskenariokan atau tidak – biasanya akan mengalami beberapa fase. Pengamat politik, Eep Saefulloh Fatah (2000), setidaknya membagi proses demokratisasi dalam 4 fase penting. Berikut ini fase-fase menuju demokrasi dalam pemikiran Eep Saefulloh Fatah.
Pertama, Pra-transisi. Fase ini utamanya ditandai dengan berbagai bentuk penolakan elemen masyarakat yang semakin menguat atas berbagai kebijakan penguasa otoriter. Bentuk-bentuk penolakan, hingga pada batas tertentu menjadi “melawan” kebijakan pemerintah, secara bertahap akan merongrong kredibiltas kekuasaan dan soliditas rezim.
Para birokrat yang masih memiliki nurani umumnya tidak bisa membuta-tuli atas berbagai ketidak setujuan masyarakat terhadap kebijakan pemerintah. Hal ini menjadi benih terjadinya perpecahan di dalam rezim yang kemudian akan berujung pada pecahnya kekuatan utama pendukung rezim. Situasi ini akan membuat berbagai bias politik, sehingga berdampak pada distabilitas ekonomi, yang akan segera disusul oleh gelombang protes yang semakin luas. Meski demikian, pada fase ini rezim belum runtuh.
Baca Juga : Wabah Al Wahn Merebak di Tahun Politik
Kedua, Liberalisasi Politik Awal. Fase ini pertama-tama ditandai dengan jatuhnya rezim, akibat berbagai tekanan dan krisis ekonomi yang semakin luas, dimana rezim gagal mengatasinya. Kedua, partisipasi politik masyarakat menjadi luas, dibarengi distabilitas pemerintahan. Situasi tidak menentu, terjadi euphoria politik, dan pada puncaknya atau yang ketiga, akan terjadi proses Pemilihan Umum yang kemudian akan melahirkan pemerintahan baru yang dianggap lebih legitimate.
Ketiga, Tahap Transisi. Munculnya pemerintahan baru yang memiliki legitimasi relatif tinggi akan menjadi indikator dimulainya masa transisi. Pemerintahan baru ini memiliki tugas sangat penting, terutama dalam memulihkan tatanan pemerintahan yang sehat dan kredibel. Pembangunan kembali berbagai infra-struktur dan supra-struktur kehidupan bermasyarakat menjadi prioritas penting fase ini. Tujuannya jelas, agar sistem ketatanegaraan berangsur normal kembali.
Keempat, Konsolidasi Demokrasi. Konsolidasi demokrasi, mungkin adalah fase yang prosesnya membutuhkan waktu paling lama. Mengapa? Sebab, pada fase ini berbagai salah urus yang menjadi warisan rezim yang tumbang, masih eksis dalam berbagai bentuk budaya birokrasi hingga mentalitas masyarakat.
Ciri utama fase ini adalah munculnya orang-orang baru di dalam jajaran pemerintahan yang baru dibentuk. Orang-orang baru ini dinilai memiliki akar kuat di tengah masyarakat karena kebersihan dan kompetensi teknis lainnya.
Kemunculan partai politik yang relatif banyak adalah indikator lain fase ini. Masih dalam suasana euphoria, partisipasi masyarakat untuk terlibat dalam membangun tatanan yang lebih baik akan mengkristal dalam berbagai wadah partai-partai politik.
Baca Juga : Pemikiran Pendidikan dan Demokrasi ala John Dewey
Ciri penting lain dari fase ini adalah perombakan berbagai sistem hukum. Bahkan pada fase ini sangat mungkin terjadi amandemen konstitusi. Tujuannya, untuk memastikan pemerintahan akan selalu berada di jalur yang demokratis. Sehingga, untuk itu harus dipersiapkan secara detail perangkat hukum dan perundang-undangan yang lebih memadai.
Nah, bagaimana ujung dari fase-fase itu? Apakah pasti akan sampai pada situasi yang lebih demokratis? Jawabannya, tidak selalu. Pada fase-fase transisi dan konsolidasi, sisa rezim yang telah runtuh masih bisa menyusup ke sana ke mari. Atau penguasa yang baru terjangkit penyakit para rezim; untuk berlama-lama memegang kekuasaan.
Sangat mungkin terjadi, yang berhasil melakukan konsolidasi justru adalah kroni rezim otoriter, atau calon rezim otoriter baru yang banyak belajar dari rezim otoriter sebelumnya. Bukan kekuatan pro-demokrasi!
Menarik untuk membaca demokrasi Indonesia hari ini. Drama Menjelang Pemilu 2024 tiba-tiba menyadarkan banyak pihak, bahwa demokrasi rentan pembajakan. Akankah proses konsolidasi demokrasi semakin menuju pada pematangan? Ataukah kita harus kembali terseret mundur ke fase-fase awal demokrasi?
Jadilah bagian dari perjuangan Sabili
Bangun Indonesia dengan Literasi!