Fatahillah yang Mengusir Armada Protugis dari Sunda Kelapa

Fatahillah yang Mengusir Armada Protugis dari Sunda Kelapa
Ilustrasi Fatahillah yang Mengusir Armada Portugis dari Sunda Kelapa / Sabili.id

Tahun ini, Jakarta berusia 497 tahun. Hari Ulang Tahun Jakarta diperingati dengan ragam kegiatan meriah. Ingar bingar peringatan itu pun lantas mengingatkan pada peristiwa awal berdirinya kota tersebut. Momen yang memunculkan Fatahillah sebagai tokoh sentral.

Ada yang menyebut, Fatahillah atau Fadillah Khan juga dikenal dengan sebutan Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati dan ia merupakan salah seorang anggota Wali Songo. Wali Songo adalah sembilan orang wali penyebar agama Islam di Pulau Jawa. Orang Portugis menyebut Fatahillah sebagai Faletehan. Sedangkan orang Jawa mengenal dia sebagai Syarif Hidayatullah yang lalu dikenal sebagai Sunan Gunung Jati. Itu satu versi.

Tetapi ada versi lain yang selama ini lebih kuat. Yaitu, Fatahillah dan Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati) adalah dua sosok yang berbeda. Syarif Hidayatullah lahir tahun 1448 M. Ibunya adalah Nyai Rara Santang atau Syarifah Muda'im. Nyai Rara Santang adalah putri dari Raden Pamanah Rasa atau Prabu Siliwangi (Raja Pajajaran). Sedangkan ayah dari Syarif Hidayatullah adalah seorang pembesar Mesir keturunan Bani Hasyim yang berasal dari Palestina, bernama Sultan Syarif Maulana Huda.

Nyai Rara Santang dan suaminya itu punya dua orang putra, Syarif Nurullah dan Syarif Hidayatullah. Sepeninggal ayahnya, Syarif Nurullah melanjutkan kedudukan ayahnya sebagai Amir (penguasa) di Mesir. Sedangkan Syarif Hidayatullah kembali ke tanah Jawa bersama ibunya.

Penguasa Caruban (Cirebon, red) saat itu, Pangeran Cakrabuana, mengizinkan Syarif Hidayatullah tinggal di daerah pertamanan Gunung Sembung sembari mengajarkan agama Islam. Pangeran Cakrabuana bahkan menikahkan Syarif Hidayatullah dengan putrinya, Nyi Ratu Pakungwati. Di tahun 1479, karena sudah berusia lanjut, Pangeran Cakrabuana menyerahkan kekuasaan kepada Syarif Hidayatullah yang lantas dikenal sebagai Sunan Gunung Jati.

Sebelumnya, Syarif Hidayatullah juga mendirikan Kerajaan Islam di Banten. Setelah berkuasa hampir 30 tahun, Syarif Hidayatullah meninggalkan Banten dan kembali ke Cirebon. Ia menyerahkan kekuasaannya di Banten kepada putranya, Maulana Hasanuddin. Syarif Hidayatullah kemudian menjadi penguasa dan pemuka agama di Cirebon sampai dengan wafatnya. Sejak saat kepemimpinan Sunan Gunung Jati atau Syarif Hidayatullah itu, Islam berkembang pesat di Caruban yang kini dikenal sebagai Cirebon.

Baca juga: Seorang Guru Bernama Kiai Haji Sholeh Darat

Sedangkan Fatahillah atau ada juga yang menyebutnya Kiai Fathullah adalah seorang ulama dari Pasai Aceh yang hijrah ke Demak. Menurut beberapa ahli sejarah, Fatahillah nama sebenarnya adalah Fadillah Khan dan orang Portugis menyebutnya Faletehan. Ia adalah pemuda yang berasal dari Pasai, sebelah utara Aceh. Konon, Fadillah Khan lahir tahun 1490.

Di tahun 1511 bangsa Portugis merebut Malaka dan menaklukkan Pasai (Aceh). Malaka merupakan pelabuhan penting dan strategis bagi jalur pelayaran ke Eropa. Keberadaan Portugis di Malaka ternyata bukan saja untuk merebut jalur perdagangan rempah-rempah yang sangat laku di pasar Eropa. Tetapi mereka juga punya tujuan untuk memperluas pengaruh agama Kristen.

Pendudukan Portugis terhadap Pasai di tahun 1511 menimbulkan kebencian di hati Fatahillah karena perilaku penjajah yang sewenang-wenang terhadap daerah dan agamanya. Hal itu menyebabkan tahun 1517 Fatahillah meninggalkan Pasai dan pergi ke Tanah Suci Makkah. Tujuannya untuk memperdalam ilmu dan pengetahuan tentang agama seraya berharap orang Portugis akan segera meninggalkan tanah Pasai. Tiga tahun kemudian, ia kembali ke Tanah Air. Harapan dia, di saat itu orang-orang Portugis sudah meninggalkan Pasai.

Tetapi, saat ia tiba, ternyata bangsa Portugis masih menguasai sebagian besar wilayah Pasai. Maka, Fatahillah pergi ke Jawa. Ia mendatangi Kerajaan Islam Demak yang saat itu diperintah oleh Sultan Trenggono (1521-1526). Ketika itu, Kerajaan Demak berada dalam masa kejayaan.

Sultan Trenggono menyambut baik kedatangan Fatahillah. Sebab, mereka berdua punya kesamaan. Yaitu sama-sama membenci penjajahan. Sultan Trenggono bahkan menikahkan Fatahillah dengan adik perempuannya. Fatahillah lalu diangkat sebagai panglima pasukan Demak yang berangkat ke Sunda Kelapa bersama pasukan Cirebon untuk menghadapi Portugis guna merebut dan mempertahankan pelabuhan Sunda Kelapa.

Ada lagi versi yang lain. Versi ini mengatakan, putri Syarif Hidayatullah, Ratu Ayu, menikah dengan Fatahillah. Jadi, Fatahillah adalah menantu dari Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati). Artinya, menurut versi ini juga jelas bahwa Fatahillah dan Sunan Gunung Jati adalah dua orang yang berbeda.

Baca juga: Tiga April Tujuh Puluh Empat Tahun yang Lalu

Penjajahan Portugis

Lantas bagaimana hubungan Fatahillah dengan sejarah Jakarta? Sejarah Jakarta tak lepas dari pesona Sunda Kelapa di abad ke-14. Ketika itu, Sunda Kelapa adalah kota pelabuhan sekaligus pusat perdagangan yang berada di bawah kekuasaan Kerajaan Hindu Pajajaran. Kala itu, Sunda Kelapa menjadi tempat transit kapal-kapal pedagang dari berbagai negara untuk saling bertukar barang komoditas. Mereka antara lain dari Cina, Arab, India, dan negara-negara Eropa.

Awalnya memang bangsa-bangsa Eropa datang ke Sunda Kelapa untuk berdagang. Namun, pada 22 Agustus 1522, bangsa Portugis membuat perjanjian dengan Kerajaan Pajajaran. Hasilnya, bangsa Portugis itu mendirikan benteng di Sunda Kelapa. Sejak itu, maksud Portugis yang sebenarnya pun terbuka, yaitu untuk menjajah Sunda Kelapa. Sebab, waktu itu sisa-sisa Perang Salib masih terasa dan Portugis adalah yang paling gigih memerangi Islam.

Sunda Kelapa sendiri merupakan kota pelabuhan yang penting bagi jalur perdagangan internasional waktu itu. Di masa itu, Sunda Kelapa berada di bawah Kerajaan Pajajaran yang berpusat di Pakuan (Bogor). Merasa kehadiran Islam sebagai rintangan bagi kerajaan yang menganut agama Hindu, Pajajaran lantas mengadakan perjanjian dengan Portugis yang merupakan musuh utama Islam dan Kerajaan Demak. Buntutnya, bangsa Portugis menjajah Sunda Kelapa.

Di saat sama, kerajaan besar di Pulau Jawa, Majapahit, sedang mengalami kemunduran. Adipati Islam di Demak, Raden Fatah, ketika itu memutuskan ikatan dengan Majapahit yang rakyatnya memeluk agama Hindu. Raden Fatah sendiri adalah anak Raja Majapahit, Brawijaya, dari seorang ibu keturunan China yang beragama Islam. Kemudian, ia mendapat bantuan dari daerah-daerah lain semisal Jepara, Tuban, dan Gresik, yang sudah lebih dulu memeluk Islam, lantas ia mendirikan kerajaan Islam di pantai utara Jawa yang beribukota di Demak.

Kerajaan Demak lantas menjadi pusat penyebaran agama Islam di Jawa. Kerajaan Demak saat itu adalah kerajaan maritim yang menyandarkan perekonomian utama pada perdagangan antar pulau. Demak berturut-turut diperintah oleh Raden Fatah, Pati Unus (anak Raden Fatah), dan Sultan Trenggono (saudara Pati Unus). Di masa Trenggono, Demak diproklamasikan sebagai kesultanan dan mencapai puncak kejayaan. Di masa Sultan Trenggono pula, Masjid Agung Demak dibangun, sebagai lambang kekuasaan Islam. Di Masjid Demak, Wali Songo (sembilan wali, penyebar agama Islam di Pulau Jawa, red) sering bertukar pikiran mengenai masalah agama.

Di masa Sultan Trenggono memerintah, beberapa daerah di Jawa Barat dapat diislamkan dan langsung berada di bawah kekuasaan Demak. Para ulama melakukan penyebaran agama Islam dengan damai dan mengajak para resi agama Hindu bertukar pikiran hingga mereka dapat menerima Islam. Penguasa setempat bahkan dengan sukarela menyerahkan wilayah Banten yang lalu menjadi cikal bakal Kesultanan Banten. Salah satu tokoh yang berjasa dalam semua pencapaian Kesultanan Demak itu adalah Fatahillah, sang ulama dan panglima perang yang juga adik ipar Sultan Trenggono.

Baca juga: Ibu Para Tokoh Nasional Itu Bernama Nyai Sholichah Munawwaroh

Merebut Sunda Kelapa

Syahdan, Sultan Trenggono menyikapi penguasaan Portugis atas Sunda Kelapa dengan mengutus Fatahillah untuk memimpin pasukan Kesultanan Demak yang menyerang Portugis di Sunda Kelapa. Sebelumnya, Fatahillah sukses merebut Banten dari penguasaan Belanda. Tujuan menyerang Sunda Kelapa adalah untuk merebut kota pelabuhan itu dan mengusir armada Portugis dari sana.

Serangan terhadap Portugis di Sunda Kelapa itu berlangsung pada 22 Juni 1527 atau 22 Ramadhan 933 H. Waktu itu, panglima perang pasukan Portugis adalah Fransisco Da Silva. Serangan Fatahillah tanggal 22 Juni 1527 itu berhasil. Ia merebut Sunda Kelapa dengan menaklukkan Portugis, lalu mengusir armada Portugis pergi dari Sunda Kelapa. Setelah terusir, tentara Portugis kembali ke Malaka. Peninggalan Portugis di Malaka itu sampai kini masih terdapat di negara bagian Malaysia tersebut.

Orang Portugis menyebut, pasukan yang menyerang mereka di Sunda Kelapa dipimpin seorang panglima bernama Faletehan. Nama Faletehan konon pertama kali disebutkan oleh João de Barros dalam seri bukunya yang berjudul “Décadas da Ásia” (Dekade-dekade dari Asia).

Kalangan sejarawan berbeda pendapat tentang hari ketika Fatahillah mengusir armada Portugis dari Sunda Kelapa. Tetapi, beberapa sejarawan sepakat bahwa peristiwa bersejarah ini terjadi pada 22 Juni 1527. Dan kalangan sejarawan juga sepakat bahwa saat menguasai Sunda Kelapa, Fatahillah mengganti nama kota pelabuhan itu menjadi Jayakarta.

Dasar Fatahillah memberi kota itu nama “Jayakarta” adalah karena ia memandang bahwa momen kemenangan mereka ketika itu serupa dengan saat penaklukan Kota Makkah dari musuh-musuh Islam. Al Qur’an surat Al Fath ayat 1 menyebutkan, Inna fatahna laka fathan mubina. Artinya, “Sesungguhnya, Kami telah memberikan kepadamu kemenangan yang nyata”. Menurut Fatahillah, di dalam Bahasa lokal, kemenangan yang nyata itu adalah “Jayakarta”. Nama Jakayakarta inilah yang di kemudian hari menjadi “Jakarta”.

Menaklukkan Banten dan mengusir Portugis dari Sunda Kelapa adalah bukti kehebatan dan kepiawaian strategi perang Fatahillah. Sejak penaklukan Sunda Kelapa itu pula, kota bandar Jayakarta berdiri. Oleh Sunan Gunung Jati atau Syarif Hidayatullah atas persetujuan Sultan Demak, Trenggono, Fatahillah lalu diangkat sebagai Bupati Jayakarta. Ketika itu, Jayakarta secara administratif lantas berada di bahwa Kesultanan Cirebon.

Baca juga: Siti Raham dan Ketegaran Seorang Ibu

Ketika menjadi Bupati Jayakarta, Fatahillah bergelar Pangeran Jayakarta I. Selanjutnya, Fatahillah atau Pangeran Jayakarta I digantikan oleh Pangeran Tubagus Angke yang kelak bergelar Pengeran Jayakarta II. Setelah meletakkan jabatan Bupati Jayakarta, Fatahillah kembali ke Cirebon.

Di episode berikutnya, Fatahillah dikisahkan bermukim di atas sebuah bukit jati di Cirebon, dan mengembangkan agama Islam di sana. Ia meninggal dunia tahun 1570 dan dimakamkan di Gunung Jati. Sunan Gunung Jati wafat tahun 1568. Setelah Sunan Gunung Jati wafat di tahun 1568, Fatahillah menjadi sultan di Kesultanan Cirebon. Fatahillah menjadi kepala pemerintahan di Kesultanan Cirebon selama 2 tahun antara tahun 1568 sampai ia wafat di tahun 1570. Jadi, Fatahillah dan Sunan Gunung Jati bukan orang yang sama.

Google News

Komentar Anda:

Anda telah berhasil berlangganan di Sabili.id
Selanjutnya, selesaikan pembayaran untuk akses penuh ke Sabili.id
Assalamu'alaikum! Anda telah berhasil masuk.
Anda gagal masuk. Coba lagi.
Alhamdulillah! Akun Anda telah diaktifkan sepenuhnya, kini Anda memiliki akses ke semua artikel.
Error! Stripe checkout failed.
Alhamdulillah! Your billing info is updated.
Error! Billing info update failed.