Tiga April Tujuh Puluh Empat Tahun yang Lalu

Tiga April Tujuh Puluh Empat Tahun yang Lalu
Dr. (H.C.) H. Mohammad Natsir / Sabili.id

Banyak orang yang barangkali lupa tentang peristiwa penting dalam sejarah perjalanan bangsa Indonesia yang terjadi di hari ini 74 tahun yang lalu. Ya, tanggal 3 April 1950 menjadi hari yang penting, karena di saat itu Indonesia kembali menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) setelah sebelumnya harus menerima kenyataan untuk menjadi negara serikat dengan nama Republik Indonesia Serikat (RIS).

Perubahan status negara Indonesia menjadi Republik Indonesia Serikat (RIS) merupakan konsekuensi dari hasil kesepakatan yang dicapai dalam rangkaian perundingan dengan Belanda. Setelah Proklamasi Kemerdekaan dikumandangkan pada 17 Agustus 1945, rangkaian perundingan itu menjadi episode selanjutnya perjuangan bangsa Indonesia. Sebab, ketika itu, para founding fathers memutuskan, Indonesia harus membuat negara-negara global secara resmi mengakui kemerdekaan Republik Indonesia sekaligus mengurangi pengaruh Belanda terhadap Indonesia. Caranya adalah dengan melakukan upaya diplomasi di dunia internasional.

Tujuan upaya diplomasi di dunia internasional adalah untuk mendapatkan pengakuan dari negara-negara lain di dunia atas kedaulatan negara Republik Indonesia. Sebab, waktu itu Belanda tak ingin mengakui Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sebagai negara yang merdeka dan berdaulat. Selain itu, negara-negara lain di dunia juga banyak yang belum mengakui kemerdekaan Indonesia secara de facto maupun de jure.

Tiga pertemuan tingkat tinggi antara perwakilan pemerintah Belanda dan Indonesia, yaitu Perjanjian Linggarjati (1947), Perjanjian Renville (1948), dan Perjanjian Roem-Royen (1949), lantas dilanjutkan dengan perundingan yang diadakan dalam Konferensi Meja Bundar (KMB). Hasil KMB yang diadakan di Den Haag, Belanda, 23 Agustus hingga 2 November 1949 adalah, Belanda mengakui kemerdekaan Indonesia dan bersedia menyerahkan kedaulatan kepada Republik Indonesia Serikat. Artinya, ketika itu Indonesia harus menerima untuk menjadi negara serikat.

Status sebagai Republik Indonesia Serikat (RIS) membuat Indonesia ketika itu menjadi negara federal yang terbagi menjadi tujuh negara bagian dan sembilan wilayah otonom. Wilayahnya juga menyempit. Sebab, di masa menjadi RIS, wilayah negara Republik Indonesia hanya mencakup sebagian Pulau Jawa, Madura, dan Sumatera.

Baca juga: Yahya Sinwar: Pejuang Berambut Perak, Target Utama Penjajah Israel

Terancam Disintegrasi

Hasil kesepakatan itu tentu mengecewakan. Di satu sisi, memang Indonesia berhasil mencapai satu tahap penting sebagai bangsa merdeka, yaitu pengakuan atas kedaulatannya. Namun, di sisi lain, kendati telah mengantungi pengakuan kedaulatan, fakta bahwa Indonesia harus menjadi negara federal dan wilayahnya terpecah menjadi beberapa negara bagian adalah hal yang berat untuk diterima. Rakyat dari berbagai pelosok negeri pun menyatakan ingin kembali ke Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Keinginan itu pun mulai bergeser ke munculnya pergolakan di berbagai daerah.

Bukan hanya di tataran rakyat biasa. Di Parlemen Sementara RIS (DPR-RIS), perdebatan juga terus terjadi, sebagai bagian aspirasi dari masyarakat Indonesia yang kecewa terhadap hasil KMB. Banyak pula pihak yang menyatakan menolak hasil KMB itu.

Mohammad Natsir yang waktu itu menjabat Menteri Penerangan dan Haji Agus Salim yang menjabat Menteri Luar Negeri termasuk tokoh-tokoh yang menolak hasil KMB. Natsir pun meninggalkan jabatan Menteri Penerangan dan memilih berkonsentrasi memimpin Fraksi Masyumi di DPR-RIS. Saat itu, salah satu alasan tokoh bangsa yang lahir pada 17 Juli 1908 di Alahan Panjang, Lembah Gumanti, Kabupaten Solok, Sumatera Barat, itu meninggalkan jabatan Menteri Penerangan adalah karena tak setuju Irian Barat tidak dimasukkan ke dalam RIS.

Ancaman disintegrasi pun kian merebak di penjuru tanah air. Krisis terjadi di berbagai daerah. Di tengah kondisi itu, Perdana Menteri RIS, Mohammad Hatta, menugaskan Mohammad Natsir dan Sri Sultan Hamengku Buwono IX untuk melakukan lobi guna menyelesaikan berbagai krisis di daerah. Mereka pun berkeliling daerah dan melakukan serangkaian perundingan dengan para pemimpin fraksi-fraksi di DPR-RIS.

Pengalaman berkeliling daerah dan seringnya berunding dengan para pemimpin fraksi lain di Parlemen RIS, antara lain IJ Kasimo dari Fraksi Partai Katolik dan AM Tambunan dari Fraksi Partai Kristen, membuat Natsir menyimpulkan, negara-negara bagian itu sebenarnya ingin membubarkan diri dan kembali bersatu dengan RI. Asal jangan disuruh bubar sendiri.

Baca juga: Ibu Para Tokoh Nasional Itu Bernama Nyai Sholichah Munawwaroh

Menyatukan Indonesia

Mohammad Natsir menempuh waktu berbulan-bulan untuk melakukan perundingan dan menjalin kesepakatan dengan pemimpin fraksi lain di Parlemen RIS, sekaligus menjalani lobi untuk menyelesaikan berbagai krisis di daerah. Akhirnya, Mohammad Natsir menyarankan seluruh negara bagian untuk bersama-sama mendirikan negara kesatuan melalui prosedur parlementer. Dan hal itu pun segera ia wujudkan.

Caranya, tanggal 3 April 1950, Mohammad Natsir sebagai Pemimpin Fraksi Partai Masyumi di Parlemen RIS mengajukan gagasan penting, yaitu Indonesia kembali menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Gagasan itu kemudian dikenal sebagai Mosi Integral setelah Parlemen memutuskan sistem pemerintahan Indonesia bersatu kembali dalam sebuah kesatuan yang digagas Natsir.

Ketika itu Mohammad Natsir menyatakan, Mosi Integral adalah kesadaran bersama seluruh rakyat Indonesia di wilayah federasi untuk bersama-sama bersatu dan kompak menanggung segala akibatnya sebagai satu kesatuan utuh. Lewat Mosi Integral yang ia kemukakan itu, Natsir menganjurkan pemerintah supaya mengambil inisiatif untuk mencari penyelesaian atau sekurang-kurangnya menyusun suatu konsepsi penyelesaian bagi soal-soal yang hangat yang tumbuh sebagai akibat perkembangan politik di waktu itu dengan cara integral dan program yang tertentu. Parlemen RIS menerima mosi dari Natsir dan meminta pemerintah segera melakukan langkah-langkah untuk membentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Pemerintah juga menerima dengan baik Mosi Integral Natsir. Wakil Presiden dan Perdana Menteri Indonesia pada waktu itu, Mohammad Hatta, mengatakan, dengan adanya mosi itu, pemerintah sangat merasa terbantu. Hatta pun mendorong semua pihak untuk berjuang dengan tertib setelah itu. Mohammad Hatta bahkan dengan tegas mengatakan akan menggunakan Mosi Integral sebagai pedoman dalam memecahkan persoalan bangsa ketika itu. Saat itu, Mohammad Hatta menyebut Mosi Integral Natsir sebagai “Proklamasi Kedua”.

Baca juga: Siti Raham dan Ketegaran Seorang Ibu

Presiden Soekarno lantas membubarkan RIS. Pada 17 Agustus 1950, Indonesia resmi kembali diproklamasikan menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia. Jadi, melalui Mosi Integral, Mohammad Natsir telah berjasa besar menyatukan Indonesia sebagai sebuah negara kesatuan yang utuh.

Saat ini, mungkin banyak anak muda yang belum mengetahui peristiwa penting dalam sejarah perjalanan bangsa ini yang terjadi tanggal 3 April 1950 tersebut. Maka, di momen “74 Tahun Mosi Integral” hari ini, peristiwa penting itu perlu terus dikabarkan, agar semakin banyak anak muda mengetahui peristiwa sejarah itu. Sebab, anak muda sangat perlu memahami sejarah bangsanya.


Komentar Anda:

Anda telah berhasil berlangganan di Sabili.id
Selanjutnya, selesaikan pembayaran untuk akses penuh ke Sabili.id
Assalamu'alaikum! Anda telah berhasil masuk.
Anda gagal masuk. Coba lagi.
Alhamdulillah! Akun Anda telah diaktifkan sepenuhnya, kini Anda memiliki akses ke semua artikel.
Error! Stripe checkout failed.
Alhamdulillah! Your billing info is updated.
Error! Billing info update failed.