Dikisahkan dalam sebuah riwayat, ketika Khalifah Umar bin Khathab Ra sedang duduk dikelilingi para sahabatnya, seorang lelaki datang dan meminta fatwa kepada beliau tentang hukum membunuh manusia; Apakah Allah SWT akan mengampuni dosa tersebut atau tidak. Khalifah Umar menjawab, “Allah SWT akan mengampuni dosa-dosa hamba-Nya yang benar-benar bertobat dan menyesali perbuatannya, serta menghabiskan sisa umurnya dengan berbuat kebajikan untuk menebus kesalahan sebelumnya”. Mendengar jawaban itu, orang tersebut lalu pergi.
Tidak terlalu lama dari kejadian tadi, datang seorang pemuda, bertanya hal yang sama, tentang dosa pembunuhan. Khalifah Umar bin Khathab menjawab, “Tidak diampuni dosa pembunuhan. Pelakunya akan di neraka.” Lalu orang tersebut pun pergi.
Mendengar ada dua jawaban yang berbeda terhadap pertanyaan yang sama, beberapa sahabat bertanya keheranan, “Wahai Khalifah, mengapa Tuan memiliki jawaban berbeda-beda, padahal pertanyaannya sama?”
Jawab Khalifah, “Begini sahabatku. Konteks kasusnya berbeda. Orang yang pertama datang itu telah membawa dosa pembunuhan, peristiwanya sudah terjadi, saya dapat melihat dari wajah penyesalan dia. Maka saya jawab diampuni, agar yang bersangkutan memperbaiki sisa kehidupannya. Sedangkan untuk penanya kedua, peristiwa pembunuhannya belum terjadi. Saya melihat mata merah penuh dendam dari penanya. Kalau saya bilang diampuni, maka dia akan melakukan eksekusi pembunuhan. Maka saya bilang, tidak diampuni supaya dia mengurungkan niat dia membunuh.”
Jadi terhadap pertanyaan yang sama, di hari yang sama pula, Khalifah Umar dapat memberikan fatwa berbeda untuk perkara yang sama. Apakah Khalifah Umar tidak konsisten dengan fatwanya? Lalu mana yang lebih benar? Bagaimana kita harus mendudukkan fungsi fatwa supaya tepat sasaran? Bagaimana pula kita menyikapi berbagai fatwa ulama tempo dulu terhadap persoalan kekinian? Apakah terhadap fatwa ulama lama, dimana konteks persoalan pada saat itu sudah berbeda dengan sekarang, fatwa tersebut terus saja kita gadang-gadang? Jangan-jangan yang kita gadang- gadang itu fatwa yang sudah basi jika diterapkan pada situasi sekarang.
Baca Juga : Tarbiyah Cinta dari Umar bin Khattab
Sebelum berbicara terlalu dalam tentang fatwa ulama yang sering jadi sumber polemik dan perdebatan tak berkesudahan, ada baiknya kita pahami dulu fatwa itu apa. Fatwa itu nasihat, pendapat, dan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang terkait dengan hukum-hukum Islam yang dikemukakan oleh seorang mujtahid atau fakih (ahli hukum agama) terhadap persoalan yang muncul, yang sifatnya tidak mengikat.
Fatwa sangat dibutuhkan umat Islam, untuk menjawab dan memecahkan masalah keumatan yang terus berkembang. Tanpa ada fatwa, umat akan bingung bagaimana menilai sebuah perkara baru, apakah itu dihalalkan atau diharamkan dari kacamata syariah. Sudah barang tentu sumber utama pengambilan fatwa itu adalah Al Qur’an dan Sunnah Rasulullah SAW. Namun, yang dapat memahami sepenuhnya makna-makna Al Qur’an dan Sunnah hanyalah para ulama saja. Di dalam menetapkan sebuah fatwa pun, seorang ulama atau sekumpulan ulama membutuhkan beragam ilmu lainnya, di antaranya ilmu qiyas.
Qiyas adalah penetapan suatu hukum dan perkara baru yang belum pernah ada sebelumnya, namun memiliki kesamaan dalam sebab, manfaat, bahaya dari berbagai aspeknya, dengan perkara dahulu yang sudah ada nash-nya, sehingga perkara itu akan dihukumi sama dengan sebelumnya. Sebagai contoh, di zaman Nabi SAW, belum ada kasus dan perkara narkoba. Lalu bagaimana di masa kini mau menghukumi keharaman narkoba, sedangkan dalil Qur’an dan Sunnah tidak pernah berbicara tentang narkoba? Untuk itulah para ulama mengambil qiyas (analogi) bahwa untuk perkara khamar (minuman keras) saja sudah diharamkan di dalam Al Qur’an, apalagi untuk narkoba yang akibatnya lebih mengerikan dibandingkan khamar. Maka, keharamannya sudah tidak perlu diragukan lagi.
Perkara-perkara yang membutuhkan fatwa ulama untuk dijelaskan selain terhadap persoalan kehalalan makanan dan minuman, juga menyangkut hal lain yang lebih luas. Persoalan ekonomi semisal bunga bank, asuransi, bisnis-bisnis modern antara lain uang kripto, dan sebagainya. Belum lagi terkait masalah politik, hukum pemilu, kasus-kasus konflik dan peperangan, masalah Palestina, dan sebagainya.
Walhasil, masalah yang harus dijawab para ulama saat ini akan selalu ada dan berkembang. Ini sekaligus menunjukkan fleksibilitas dan kesempurnaan syariat Islam, karena dapat menjawab semua persoalan kekinian yang dapat diberikan jawaban dan solusinya lewat fatwa para ulama.
Pada prinsipnya, fatwa dapat diberikan oleh seorang ulama yang memiliki kemampuan berfatwa, yaitu menguasai bahasa Arab, memahami isi Al Qur’an dengan berbagai disiplin ilmunya, memahami ilmu-ilmu hadits, menguasai ilmu-ilmu fikih, dan tafsir serta ilmu alat lainnya. Ulama-ulama besar yang terkenal dengan fatwa-fatwanya antara lain Ibnu Taimiyah, Imam Al-Ghazali, Ibnu Qayyim Al-Jauziyah, Syaikh Nashirudin Al-Albani, Muhammad Said Al-Buthi, Syaikh Abdul Aziz bin Baz, Syaikh Yusuf Al-Qaradhawi, dan masih ada ribuan ulama lainnya semenjak dulu hingga sekarang.
Fatwa dapat pula dilakukan oleh sebuah lembaga yang diisi oleh sekumpulan ulama, semisal Majelis Ulama Indonesia (MUI), Dewan Kibar Ulama Saudi, Dewan Fatwa Al-Azhar Mesir, Bahtsul-masail NU, Majelis Tarjih Muhammadiyah, Dewan Hisbah Persis, dan sebagainya. Otomatis hasil fatwa yang melibatkan banyak ulama lebih meyakinkan dibandingkan fatwa yang dihasilkan dari seorang ulama saja. Sebab, hasil tukar pikiran banyak ulama sudah pasti lebih meyakinkan dibandingkan hasil pikiran seorang ulama saja.
Ketika umat Islam di Indonesia dihebohkan dengan munculnya paham baru yang meresahkan seperti paham Islam Liberal pada belasan tahun lalu, di saat itu Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang (waktu itu) diketuai oleh KH Ma’roef Amin mengeluarkan fatwa yang ditunggu-tunggu umat, yaitu fatwa tentang sesatnya paham Pluralisme, Sekularisme, dan Liberalisme agama. Dengan demikian, umat Islam merasa terlindungi oleh MUI dari bahaya kerusakan akidah yang secara massif dijajakan melalui jalur pendidikan dan propaganda oleh kalangan yang menamakan diri Jaringan Islam Liberal (JIL).
Baca Juga : Orang Liberal Kalo Pake Ayat Pasti Kalah! (Bagian 3)
Pertanyaannya, apakah setiap fatwa dapat digunakan terus-menerus karena yang mengeluarkan fatwa adalah seorang ulama besar yang dipuja-puji? Inilah yang dapat menimbulkan polemik bahkan keributan antar sesama umat Islam. Sebab, bisa saja terhadap peristiwa sama dapat keluar fatwa yang berbeda.
Harus disadari, ulama (atau sekumpulan ulama) yang mengeluarkan fatwa selain harus mumpuni kefakihannya dalam ilmu-ilmu syariat, mereka juga harus memahami duduk persoalan yang dihadapi untuk dibuatkan fatwanya itu. Seorang ulama dapat keliru dalam berfatwa karena walau pun memiliki ilmu yang tidak diragukan, namun pengetahuannya terhadap kasus yang dihadapi kurang komprehensif, sehingga dapat terjadi kekeliruan dalam menganalogikan atau keliru dalam mengambil dalil Qur’an dan Sunnahnya, karena konteks persoalannya memang berbeda. Bisa pula fatwa itu sudah benar dan tepat pada saat dikeluarkan, namun di masa sekarang persoalannya sudah berubah dan atau berkembang, sehingga fatwa tersebut sudah ketinggalan zaman. Kalau ini yang terjadi, kesalahannya bukan pada fatwa tersebut, tetapi sudah bergeser ke diri kita, mengapa masih menggunakan fatwa tersebut, padahal persoalannya sudah berubah?
Namun, biasanya bagi kelompok yang sudah merasa terafiliasi terhadap ulama tertentu, fatwa yang sudah basi pun masih digadang-gadang terus, selama yang membuat adalah ulama panutannya, dan menolak fatwa lain yang lebih tepat karena yang menyampaikan bukan ulama panutannya. Akhirnya, secara tidak sengaja, mereka sendiri yang menyebabkan ulama panutannya itu jadi korban hujatan dari sana-sini. Ibarat masakan, ketika dihidangkan, masakan itu enak dan menyehatkan saat itu, namun sudah basi dan dapat meracuni tubuh kita kalau kita makan di masa sekarang.
Imam Syafi’i pernah merevisi pandangan-pandangan hukumnya terhadap banyak persoalan yang berkembang saat itu, yang dikenal dengan istilah Qaul Qadim dan Qaul Jadid. Qaul Qadim adalah fatwa-fatwa hukum fikih yang disampaikan Imam Syafi’i ketika masih tinggal di Baghdad. Setelah beliau merantau ke Mesir, beliau merevisi pendapat-pendapat fikihnya menjadi baru dan dinamai sebagai Qaul Jadid. Jadi, seorang ulama pun dapat merivisi pendapat-pendapat fikihnya sendiri karena menemukan dalil-dalil baru yang dahulu belum ia temui ketika masih tinggal di Baghdad.
Ada peristiwa menarik ketika Khalifah ke-7 dari Dinasti Abbasiyah yang berkuasa di Baghdad dari tahun 813-833 M bernama Abu Abbas Abdullah bin Harun Al-Rasyid yang lebih populer dengan nama Khalifah Al-Ma’mun. Ternyata, sang khalifah terpesona dan terpengaruh dengan akidah Muktazilah yang menganggap Al Qur’an itu makhluk. Para ulama Ahlus-Sunnah yang menolak keyakinan menyesatkan tersebut disiksa dan dipenjara, termasuk Imam Ahmad bin Hanbal.
Imam Ahmad teguh dengan keyakinan Ahlus-Sunnah untuk menolak keyakinan sesat dari khalifahnya tersebut, namun di sisi lain Imam Ahmad tetap setia terhadap khalifahnya dan menolak berfatwa untuk memberontak kepada khalifahnya. Ternyata selain memiliki kekurangan dari sisi itu, sang khalifah juga adalah seorang pecinta ilmu pengetahuan. Khalifah Al-Ma’mun berhasil menggerakkan gerakan penerjemahan berbagai ilmu pengetahuan. Beliau mendirikan Baitul Hikmah di Baghdad sebagai perpustakaan besar sekaligus pusat penerjemahan dan lembaga penelitian ilmu-ilmu matematika, astronomi, kedokteran, kimia, zoologi dan berbagai disiplin ilmu pengetahuan. Sehingga, masa kekhalifahan Al-Ma’mun dianggap sebagai masa jayanya umat Islam. Khalifah Al-Ma’mun juga menjaga marwah umat Islam saat menghadapi peperangan dengan Bizantium. Jadi, pantaslah Imam Ahmad tetap loyal terhadap sang khalifah, walau untuk soal akidah beliau tidak pernah bergeser sedikit pun.
Tetapi apa jadinya kalau setiap menghadapi peristiwa yang baru, kita selalu bersandar dan merujuk sepenuhnya dari peristiwa lama? Padahal kasus dan peristiwanya sudah berbeda. Misalnya terhadap kasus kehidupan politik di Indonesia, apakah kita akan pasrah dan taat terus kepada penguasa karena dahulu Imam Ahmad tetap loyal kepada khalifahnya? Padahal, sisi kebaikan Khalifah Al-Ma’mun begitu banyak, dari kehidupan politik saat itu pun syariat dan marwah Islam terjaga, berbeda dengan di negara demokrasi kita dimana berbagai kekuataan antara yang baik dan buruk saling tarik-menarik, kemudian kita disuruh pasif untuk tidak berbuat apa pun, padahal kesempatan untuk berperan sangat terbuka di alam demokrasi ini, dengan alasan kita harus mencontoh sikap ulama tempo dulu.
Baca Juga : Fatwa Syekh Ibnu Baz tentang Jihad dan Intifadhah Palestina Tahun 1989
Begitu pula terhadap kasus peperangan umat Islam di Palestina melawan kekuatan zionis Israel yang terus membombardir dan mengusir penduduk di sana. Apakah kita akan tetap berpegang terhadap fatwa Syaikh Nashiruddin Al-Albani yang dahulu (sudah lebih dari 25 tahun fatwa beliau dikeluarkan) yang menyuruh umat Islam harus hijrah dan meninggalkan tanah leluhurnya di Palestina? Padahal bisa saja kalau beliau masih hidup sekarang, beliau akan merevisi fatwanya, karena kondisi sosial politiknya sudah berubah dibandingkan saat fatwa dikeluarkan, sebagaimana dahulu Imam Syafi’i merevisi fatwa-fatwanya sendiri.
Jadi, terhadap fatwa yang sudah benar pun, bisa saja suatu saat harus diperbaiki dan disempurnakan, karena adanya perubahan peristiwa yang terjadi. Apalagi terhadap fatwa yang dari awalnya sudah mengandung masalah. Kita yang selalu menggadang-gadang fatwa lama yang sudah tidak relevan, itu ibarat kita sedang memakan makanan basi. Walau pun yang dimakan dan diminum adalah sesuatu yang dahulunya bagus, sekarang sudah membahayakan tubuh. Maka, agar fatwa itu dapat dinikmati, fatwa lama itu harus dimasak ulang dan di-upgrade dengan keadaan terkini, sehingga dapat dihidangkan kembali.
Jadilah bagian dari perjuangan Sabili
Bangun Indonesia dengan Literasi!