Rusmini, tujuh belas tahun, dikenal sebagai anak "bandel" di sekolahnya, sebuah Sekolah Menengah Atas di Jakarta Pusat. Posturnya tinggi kurus, kulit agak hitam, dan sorot matanya tajam. Soal madol alias bolos, ia juaranya. Bahkan setiap ada ribut-ribut dengan siswa sekolah lain, Mini - begitu nama panggilannya - pasti berada di garis depan. Ia memang kondang sebagai cewek pemberani. Mungkin karena itu pula cowok-cowok tak berani memacari cewek yang sesungguhnya berparas lumayan cantik dan manis itu. Apalagi sekolahnya terkenal sebagai jagoan berantem.
Di penghujung Desember 1981, saat liburan sekolah, Mini diajak temannya untuk ikut LDK (Latihan Dasar Kepemimpinan) Pelajar islam Indonesia (PII). Berbagai materi keislaman, kesejarahan, keorganisasian, dan lain-lain, yang ia dapatkan di sana benar-benar menjadi pencerahan baginya. Ia pun bertekad "hijrah" ke arah lebih baik. Shalat lima waktu yang sebelumnya blang blentong kini tak lagi ia tinggalkan. Ia pun mulai lebih serius mempelajari Islam dengan aktif di Rohis di sekolahnya maupun di luar. Yang paling mencolok, ia yang dikenal "prokem" itu kini datang ke sekolah dengan berjilbab.
Perubahan drastis Mini sontak membuat geger teman-teman dan guru-gurunya. Banyak yang mengacungi jempul, meski ada juga yang meragukan kesungguhannya. Sejatinya, para guru senang dengan perubahan Mini. Namun masalahnya, jilbab sedang menjadi masalah serius saat itu. Ketika itu, rezim Orde Baru sedang mengidap penyakit akut Islamophobia. Apa saja yang bernuansa - bahkan sekadar berbau – Islam, dicurigai dan dituding sebagai radikalisme dan fundamentalisme. Termasuk jilbab.
Maka keluarlah Surat Edaran Dirjen Dikdasmen Depdikbud, Prof. Dr. Dardji Darmodihardjo, tentang aturan pakaian siswa/i di sekolah, yang ditafsirkan sebagai pelarangan jilbab. SE itu ditindak lanjuti oleh para Kakanwil Depdikbud di seluruh Indonesia dengan berbagai pola. Ada yang merealisasikannya secara persuasif edukatif. Tetapi tak sedikit pula yang keras dan mengedepankan kekuasaan, ketimbang pertimbangan pendidikan dan kasih sayang.
Baca Juga : Perjuangan Mengenakan Jilbab, Hingga Diberhentikan dari SMA Negeri
Di Jakarta, aturan itu diterapkan dengan keras oleh Kakanwil Depdikbud DKI Jakarta, L. Coldenhoff, seorang non muslim blasteran Belanda-Manado. Maka, para siswi berjilbab pun jadi pesakitan. Mereka mendapat perlakuan kasar, intimidasi, dan persekusi dari mereka yang semestinya menyayangi dan mengasihinya. Di rumah, tak sedikit orang tua dan kerabat yang memarahi mereka. Bahkan, ada yang dipukul dan diusir dari rumah karena orang tuanya PNS atau militer. Di sekolah, sejumlah Kepala sekolah dan guru yang semestinya mengayomi dan mendidik, berubah menjadi monster. Mereka menekan dan mengintimidasi para jilbaber muda itu untuk menanggalkan jilbabnya. Kalau menolak, diancam akan dikembalikan kepada orag tua. Bahasa halus pengeluaran paksa dari sekolah.
Hal serupa juga dialami Rusmini dan teman-temannya satu sekolah. Marah dan lelah mengalami intimidasi dan persekusi terus menerus dari sejumlah guru, wabilkhusus Kepala Sekolah, watak "prokem" Mini kumat. Pagi itu, sendirian, Mini nekad mendatangi Kepala Sekolahnya yang kebetulan non muslim.
Di depan sang Kepala Sekolah, Mini meletakkan dua buah benda di sisi tangan kanan dan kirinya seraya berucap, "Bapak kan tahu gimana Mini selama ini. Tukang bolos dan bikin ribut. Sekarang saya bertekad berubah jadi murid yang baik dan pingin taat menjalankan agama. Mini pakai ini (sambil menunjuk jilbabnya) karena ini pak," sembari tangan kanannya mengambil benda yang tadi dibawanya, yang ternyata Al Qur'an dan terjemahan, terbitan Departemen Agama RI. Ia lantas membacakan terjemahan Surat An Nur ayat 31 dan Al Ahzab ayat 59, yang isinya memerintahkan kaum mukminat mengenakan jilbab.
"Ini perintah agama saya, Pak. Jadi saya harus menjalankannya. Kalau bapak melarang Mini pakai ini, berarti bapak melarang saya menjalankan perintah agama. Sama saja bapak memaksa Mini menggunakan ini," tambahnya sembari tangan kirinya mengambil dan membuka bungkusan yang sedari tadi dia letakkan di meja. Ternyata isinya pisau lipat.
"Selamat pagi, Pak," katanya sembari beranjak keluar tanpa menunggu jawaban dari Pak Kepsek yang terbengong-bengong dengan mulut ternganga.
Rusmini dan teman-temannya satu sekolah beruntung. Setelah kejadian, mereka bebas memakai jilbab di sekolah. Tetapi nasib berbeda dialami puluhan bahkan ratusan siswi berjilbab di berbagai sekolah negeri di Jakarta dan sekitarnya ketika itu. Mereka yang sebagian besar adalah anak-anak pintar dan baik-baik mengalami berbagai intimidasi dan persekusi, agar mau membuka jilbabnya. Tak sedikit di antaranya yang dipaksa keluar saat sedang asyik belajar di kelas.
Bahkan di sebuah sekolah negeri top di Jakarta Selatan, puluhan siswi berjilbab sudah dicekal masuk sekolah sejak di pintu gerbang. Akibatnya, Ifak, Dian, Risma, dan puluhan siswi berjilbab di sekolah itu, tak dapat belajar di sekolah. Namun, teman-teman sesama siswa tak tinggal diam. Mereka menyiapkan tangga di samping pagar sekolah maupun di samping ruang kelas, sehingga para siswi berjilbab itu bisa masuk ke sekolah dan kelas. Jadi, mereka masuk halaman sekolah maupun kelas bukan dari pintu, tetapi dari jendela. Jika sudah begitu, guru-guru yang sejatinya banyak yang bersimpati pun membiarkannya.
Baca Juga : Memperjuangkan Hak Muslimah Lewat Peringatan Hari Solidaritas Hijab Internasional
Namun, kucing-kucingan seperti itu tidak berlangsung lama. Mereka bersama puluhan siswi senasib ujung-ujungnya dipaksa keluar dari sekolah dan pindah ke sekolah swasta. Hal ini juga yang memicu terjadinya kekerasan dari orang tua dan keluarga. Sebab, mereka tidak ingin si anak pindah dari sekolah negeri yang dinilai berkualitas lebih baik, di samping biayanya lebih murah. Apalagi jika sekolah negeri itu termasuk unggulan dan favorit.
Sebagian dari para siswi itu terpaksa mengalah dan membuka jilbabnya. Namun tak sedikit pula yang bertahan menggunakan jilbab dan terpaksa pindah ke sekolah swasta meski mendapat tentangan dari keluarganya.
Syukurlah, perhatian dan bantuan dari para tokoh Islam maupun aktivis muda Islam terus mengalir dengan deras. Di Jakarta, sejumlah aktivis muda mendirikan Komite Solidaritas Umat Islam Indonesia (KSUII) yang tupoksinya adalah membela, mengadvokasi, dan membantu umat Islam yang karena sikap dan pendiriannya mendapatkan intimidasi dan persekusi. Termasuk urusan jilbab. Selain mendatangi sejumlah tokoh Islam, lembaga Islam, dan lembaga advokasi hukum, mereka juga bekerja keras mengumpulkan dana dari para muhsinin untuk membantu meringankan beban para siswi berjilbab itu.
Setidaknya ada tiga tokoh yang sangat concern urusan jilbab ini. Yang pertama adalah Bapak M. Natsir, tokoh Mosi Integral dan Mantan Perdana Menteri RI di tahun 1950-an. Sebagai tokoh besar level dunia, Pak Natsir dengan telaten membuat surat kepada Ketua Muhammadiyah DKI Jakarta maupun para Kepala Sekolah agar membantu menerima siswi berjilbab yang dipaksa keluar dari sekolah negeri.
Begitu juga dengan tokoh kedua, Ketua Muhammadiyah DKI Jakarta, K.H Amirudin Siregar. Mendapat surat dari pak Natsir, beliau memerintahkan semua Kepala Sekolah membantu para siswi yang ingin pindah ke sekolah Muhammadiyah.
Baca Juga : Melonggarnya Tali Jilbab Kita
Yang ketiga adalah Letjen (purn) H. Sudirman, salah seorang Ketua MUI yang juga pendiri PTDI (Perguruan Tinggi Da'wah Islam) di Jatinegara, Jakarta Timur. Ketika banyak pihak menganggap jilbab adalah masalah kecil, ketiganya justru merespon dengan cepat.
Yang menarik, jilbabisasi di era 1980-an itu tidak dimulai oleh mereka yang berlatar belakang pendidikan agama. Tetapi justru oleh anak-anak di sekolah maupun kampus umum. Justru karena merasa kurang pengetahuan agama, mereka berusaha mempelajarinya dan bersungguh-sungguh mengamalkannya. Betapa pun berat risiko yang harus ditanggung. Bagi mereka, jilbab bukan sekadar pakaian dan budaya. Tetapi jilbab adalah identitas sekaligus mesin pendorong untuk berislam lebih baik. Wallahu a'lam.
Jadilah bagian dari perjuangan Sabili
Bangun Indonesia dengan Literasi!