Secara harfiah, syirik bermakna memersekutukan. Syirik merupakan lawan dari kata tauhid (mengesakan) atau ikhlaash (memurnikan). Pelaku syirik disebut musyrik yang dalam terminologi Al Qur’an merujuk kepada orang yang beribadah (memberikan pengabdian) kepada selain Allah. Perilaku syirik adalah menjadikan al-alihah (QS 19:15), andaad (tandingan-tandingan, QS 2:165) dan arbaab (QS 3:54) selain Allah.
Arbaab adalah kata bentuk jamak yang mufrad (kata tunggal)-nya adalah rabb. Di dalam Ensiklopedia Makna Al Qur’an (Syarah Alfaazhul Qur’an, Dhuha Abdul Jabbar, Burhanuddin, 2012), kata Al-Robb dapat bermakna tuan atau pembimbing yang patut ditaati perintahnya dan dijauhi larangannya (as-sayyidu wa al-murabbiy). Di dalam konteks QS 3: 54, yang dimaksud arbaab adalah orang-orang yang memiliki otoritas untuk membuat hukum, baik haram maupun halal, namun bertentangan dengan Kitabullah.
Di dalam Surah Luqman ayat 13, ditegaskan bahwa perbuatan syirik merupakan kezaliman yang besar (zhulm ‘azhiim).
“(Ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, saat dia menasihatinya, ‘Wahai anakku, janganlah mempersekutukan Allah! Sesungguhnya mempersekutukan (Allah) itu benar-benar kezaliman yang besar’.” (QS 31: 13)
Umumnya, perbuatan syirik yang dilakukan secara individu oleh manusia (al-insaan) akan berakibat pada dirinya sendiri. Dan mungkin juga pada lingkungannya secara terbatas. Misalnya, dalam beribadah secara ‘ubudiyah kepada Allah maupun amalan sosial, tidak didasarkan pada keikhlasan (lillahi ta’ala = mengharapkan ridha Allah Swt semata), namun mengharapkan pujian, kedudukan ataupun keuntungan materi (duniawi). Bahkan, bisa juga disertai dengan keyakinan terhadap kekuatan atau pertolongan dari selain Allah dengan menjalankan suatu ritual ibadah. Maka, kerusakannya terbatas pada dirinya sendiri, yaitu tertolak amalan/ibadahnya (QS 39: 65).
Namun, ada kemusyrikan yang dilakukan secara terstruktur, sistematis, dan massiv (TSM). Kemusyrikan yang dilakukan secara TSM oleh masyarakat sosio-politik (an-naas) itu adalah biang kerusakan (fasaad) yang lebih luas dampaknya (QS 30: 41-42). Umumnya, kemusyrikan TSM terjadi karena ada faktor kekuasaan ataupun relasi kuasa (bersifat hierarkis, terdapat ketergantungan status sosial, budaya, pendidikan dan/atau ekonomi yang menimbulkan kekuasaan pada suatu pihak terhadap pihak lainnya, sehingga merugikan pihak yang statusnya lebih rendah) (QS 14: 28, juga pada QS 6:136-139 beserta tafsir historisnya bagaimana Amr bin Luhay merusak millah tauhid warisan Rasul Ibrahim as dan Ismail as di Makkah).
Kekuasaan dimanfaatkan untuk menginisiasi, mengarahkan, menyebarkan, memropagandakan dan/atau melestarikan kemusyrikan, baik melalui program sosial, ekonomi, Pendidikan, dan yang lainnya. Sehingga, ia bersifat terstruktur, sistematis, dan massiv (TSM). Di antara yang menjadi dalih pelestariannya adalah memertahankan “kearifan” warisan nenek moyang (QS 5: 103-104, QS 7: 28, QS 10: 78, QS 43: 22).
“Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan perbuatan tangan manusia (an-naas), sehingga Allah membuat mereka merasakan sebagian dari (akibat) perbuatan mereka agar mereka kembali (ke jalan yang benar).
Katakanlah, ‘Bepergianlah kalian di bumi, lalu lihatlah bagaimana kesudahan orang-orang dahulu. Kebanyakan (secara massiv) mereka adalah para pelaku syirk’.” (QS 30: 41-42)
Ayat di atas menggambarkan betapa besarnya dampak kerusakan (zhoharo al-fasaad) yang diakibatkan oleh ulah an-naas. Bagaimana hal ini bisa terjadi, manusia diminta untuk melakukan pengamatan lapangan (siiruu fil-ardhi fanzhuruu) tentang akibat yang ditimbulkan oleh masyarakat di masa lalu. Dapat dimaknai juga pengamatan secara sosio-politik (pengetahuan tentang keadaan, semisal sejarah, kehidupan perekonomian, pemerintahan, kultur, karakter, dan pendeknya seluruh aspek kehidupan suatu bangsa). Dan Al Qur’an telah memberikan jawabannya sebagai petunjuk (guidance) bahwa hal tersebut tidak lain disebabkan oleh massiv-nya kemusyrikan (kaana aktsaru-hum musyrikiin).
Di dalam Ensiklopedia Makna Al Qur’an, kata Al-fasaad diartikan sebagai sesuatu yang melewati batas kewajaran. Lawan katanya adalah shalaah (kebajikan, terkait dengan kata al-ishlaah = perbaikan). Lebih lanjut, dalam konteks ayat di atas, al-fasaad fi al-ardhi, dapat berarti berkembangnya fitnah yang mengakibatkan merosotnya kehidupan dan timbulnya dekadensi akhlaq, tersiarnya kebodohan, dan tidak adanya pemikiran yang benar.
Kata al-fasaad ini juga berkaitan dengan kata faasid yang berarti korup (corrupt), sehingga kata al-fasaad ini juga mencakup makna korupsi (corruption). Kata korupsi sendiri berasal dari bahasa latin corruptio atau corruptus. Corruptio memiliki arti beragam, yakni tindakan merusak atau menghancurkan. Corruptio juga diartikan kebusukan, keburukan, kebejatan, ketidakjujuran, dapat disuap, tidak bermoral, penyimpangan dari kesucian.
Al Qur’an telah memberikan solusi atas permasalahan tersebut pada ayat berikutnya, yang merupakan solusi yang sistemik, yaitu dengan menegakkan (aqimu) sistem-yang-tegak-lurus (ad-dien al-qayyim):
“Oleh karena itu, tegakkanlah wajah-mu kepada ad-dien al-qayyim (al-Islam) sebelum datang dari Allah suatu hari yang tidak dapat ditolak. Pada hari itu mereka terpisah-pisah.” (QS 30: 43)
“Dia (Allah) telah mensyariatkan bagi kamu ad-dien yang Dia wasiatkan kepada Nuh, yang telah Kami wahyukan kepadamu (Muhammad), dan yang telah Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa, dan Isa yaitu: Tegakkanlah ad-dien dan janganlah kamu berpecah-belah di dalamnya. Sangat berat bagi orang-orang musyrik terhadap apa yang kamu serukan kepada mereka. Allah memilih orang yang Dia kehendaki pada (ad-dien)-Nya dan memberi petunjuk pada (ad-dien)-Nya bagi orang yang kembali (kepada ketaatan pada-Nya).” (QS 42: 13)
Wallahu a'lam bishawab.
Jadilah bagian dari perjuangan Sabili
Bangun Indonesia dengan Literasi!