Tidak ada orangtua yang senang anaknya berbohong. Namun, berbohong selalu menjadi kasus yang sering ditemui pada anak-anak. Seakan ia menjadi bagian dari fase tumbuh-kembang anak itu sendiri. Bertambah umur anak, bertambah pula kemampuannya untuk berbohong. Tak jarang kebiasaan anak berbohong dapat menimbulkan masalah, baik bagi anak sendiri maupun bagi orangtuanya.
Sering kali orangtua dan pendidik cenderung menggunakan kecaman keras terhadap anak dalam rangka menghentikan kebiasaan berbohong. Padahal, jika tanpa mengetahui latar belakang kebohongan yang dilakukan oleh anak, pendekatan itu bahkan mungkin bisa menumbuh-suburkan keterampilan sang anak untuk berbohong.
Sebagai orangtua atau pendidik, kita berkepentingan untuk memahami berbagai aspek terkait kebohongan yang dilakukan oleh anak-anak. Tentu saja pengetahuan itu dalam rangka memudahkan terapi atau menghentikan kebiasaan berbohong pada anak, agar penanganannya menjadi tepat.
Umumnya orangtua berpikir bahwa kemampuan anak untuk berbohong berasal dari pergaulan dengan lingkungannya. Apalagi jika kita memiliki data bahwa salah satu rekan bermain anak kita adalah anak yang pintar berbohong. Reaksi yang muncul sudah barang tentu pembatasan pergaulan, atau mengecam anak orang lain yang pintar berbohong tersebut di depan anak kita. Langkah itu mungkin tidak bijaksana, karena kebohongan yang dilakukan oleh anak kita bisa jadi lebih terkait dengan faktor-faktor internal keluarga dan potensi anak sendiri.
Potensi pada anak yang dimaksud di sini adalah belum seimbangnya tingkat pertumbuhan anak, sehingga ia masih sulit untuk membedakan antara imajinasi dan realitas. Ketika anak mengungkapkan sesuatu yang sesungguhnya ia masih kabur antara imajinasi dan realitas, biasanya anak mengungkapkannya dengan cara melebih-lebihkan, sehingga muncul kebohongan. Kebohongan model ini tentu tidak terkait dengan pergaulan dengan rekan sebayanya.
Sedangkan yang dimaksud dengan faktor internal keluarga adalah kebohongan-kebohongan yang dipelajari anak dari saudaranya, atau kebohongan yang menurut istilah kita para orangtua sebagai “Kebohongan yang dibenarkan dan diperlukan” dimana pelakunya adalah kita sendiri para orangtua. Bukankah sebagai orang tua kerap kali kita harus melakukan kebohongan-kebohongan tertentu?
Nah, mestinya akan lebih bijaksana jika kita mencermati kebohongan-kebohongan yang lebih dekat untuk menjadi “sumber belajar” anak, daripada buru-buru menjentikkan cari telunjuk kita ke arah teman sebaya anak-anak sebagai biang yang menularkan virus kebohongan kepada anak kita. Bukankah menjauhkan anak kita dari teman sebayanya hanya akan menimbulkan banyak kerugian bagi anak kita sendiri? Apalagi jika sumber virus kebohongan itu ternyata ada di dalam rumah tangga, yang kita para orang tua adalah bagian penting dari para aktornya.
Beberapa Penyebab Kebohongan
Berbohong atau mengatakan sesuatu yang tidak sebenarnya, dilakukan oleh anak-anak karena dipengaruhi oleh banyak sebab. Untuk melihat secara utuh apa saja yang menjadi faktor pendorong bagi anak-anak untuk melakukan kebohongan tentu saja sangat sulit. Namun, beberapa alasan berikut ini lazim ditemui, dan mungkin berguna bagi kita untuk mengetahui, dalam rangka menyembuhkan anak dari kebiasaan berbohong.
Pertama, mencontoh tindakan berbohong. Anak kita cenderung mempelajari sesuatu dengan meniru atau mencontohnya dari orang lain. Dia bisa berbicara, berpakaian, makan, dan aktifitas hidup lainnya, kebanyakan karena mereka mampu mencontoh dari apa yang mereka lihat. Berbohong boleh jadi sebuah kemampuan yang ia peroleh dari tindakan mencontoh atau meniru tindakan orang lain.
Kedua, ingin memperoleh sesuatu yang bersifat menguntungkan atau menyenangkan dengan cara mudah. Misalnya anak ingin membeli mainan, tetapi kita orangtua menolak keinginan tersebut. Anak lantas meniru trik yang dilakukan temannya untuk mendapatkan uang dari orangtuanya. Misalnya dengan mengatakan, “ Mama, Pak Guru meminta kita urunan untuk membantu Si Samsul yang dirawat di rumah sakit....”.
Ketiga, menghindari sanksi. Anak juga cenderung berbohong karena dorongan menghindari sanksi atau hukuman, baik sanksi dari rekan sepergaulannya maupun dari orangtua dan Guru.
Keempat, kebencian dan permusuhan. Anak bisa membenci siapa pun dengan alasan yang hanya bisa mereka pahami. Ia bisa membenci temannya, orangtuanya, gurunya, bahkan adik atau kakaknya sendiri. Kebohongan adalah cara yang dianggap paling mungkin dilakukan oleh anak-anak untuk melampiaskan kebencian dan rasa permusuhannya.
Kelima, ingin mendapatkan perhatian. Perhatian dimaksud berupa pujian, pengakuan, dinilai memiliki kelebihan, dan lain-lain. Misalnya, mereka harus berbohong kepada rekan sebayanya tentang pangkat dan kehebatan orangtuanya, dengan maksud agar rekan sebayanya menaruh rasa hormat kepadanya.
Keenam, dipandang remeh atau tidak dipercaya. Anak bungsu biasanya kurang mendapat “kepercayaan” dan “cenderung dipandang remeh” oleh saudara-saudaranya yang lain, orangtua, dan rekan sebayanya. Untuk memperoleh kepercayaan dan harga dirinya, mereka bisa terdorong untuk melakukan berbagai manipulasi dan kebohongan.
Ketujuh, membela saudara atau teman. Karena rasa sayang atau setia kawan, anak juga bisa terdorong untuk melakukan kebohongan dalam rangka membantu atau membela saudara atau rekannya dari sebuah sanksi.
Itulah beberapa sebab umum yang mendorong anak melakukan kebohongan. Motif anak untuk berbohong akan semakin bervariasi, tergantung tingkat kepentingan dan persoalan yang ia hadapi.
Pencegahan
Pertama, Anda tak perlu menuding ke sana ke mari untuk menyalahkan pihak lain. Kebohongan pada anak lazim terjadi. Yang terpenting adalah koreksi sumber atau model kebohongan yang mungkin berasal dari lingkungan keluarga sendiri. Ingat, anak belajar segala sesuatu dengan cara meniru dan model yang paling dekat untuk mereka tiru adalah Ayah, Ibu, dan saudara terdekatnya.
Kedua, bersikaplah lebih konsisten. Jika Anda masih berpikir bahwa ada kebohongan yang dibenarkan, maka anak pun akan memiliki argumen yang sama untuk melakukan kebohongan.
Ketiga, membangun secara lebih intensif kedekatan dan keterbukaan di dalam keluarga. Situasi ini akan membahagiakan anak dan membiasakan anak dalam keterbukaan. Rasa bahagia dan sikap terbuka cenderung menjauhkan anak dari kebiasaan berbohong. Kenali secara dini, jika anak sedang berbohong, ingatkan dan cegahlah dengan baik.
Keempat, hindari sikap yang kelewat keras dalam menghukum. Sikap keras dalam mendidik yang tidak dibarengi dengan keteladanan hanya akan melahirkan kemunafikan.
Kelima, berilah anak-anak keteladanan. Anak-anak butuh contoh nyata. Semburan kemarahan tidak akan efektif dalam mengubah perilaku. Hanya keteladananlah yang akan menginspirasi. Maka, bersiaplah menjadi teladan kejujuran jika ingin anak-anak tidak berbohong.
Keenam, didik dengan ajaran agama kita. Tumbuhkan kesadaran imani bahwa Allah Maha Melihat dan Maha Mendengar, tak ada satu pun yang luput dari perhatian-Nya.
Ketujuh, berdoalah agar hati anak kita cenderung pada kebenaran. Sesungguhnya Allah saja yang menguasai hati seorang hamba dan mampu membolak-balikkannya. Ayah dan Ibu tak punya kuasa apa pun atas hati dan pikiran anaknya. Bermohonlah kepada Allah. Mendidik anak adalah urusan besar. Tanpa hidayah dan kekuatan dari Allah, mustahil orangtua mampu secara efektif mendidik anak pada jalan kebenaran.
Jadilah bagian dari perjuangan Sabili
Bangun Indonesia dengan Literasi!