Sebuah artikel istimewa, hanya ada di Sabili.id. Diurai langsung oleh pelakunya, Dr. Abdullah Hehamahua, berupa pengalamannya menjadi Penasihat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Kami hidangkan secara berkala untuk Anda pembaca setia Sabili. Ada banyak fakta menarik didalamnya, semula tidak menjadi konsumsi publik. Berikut, seri keduabelas dari kisah beliau. Selamat menikmati.
Lebih kurang dua jam kupresentasikan makalah: “Peranan Dakwah dalam Pencegahan Korupsi.” Pesertanya ustadz, ustadzah, da’i, du’at, mubaligh, dan mubalighat seprovinsi Aceh Darussalam. Program ini dilakukan Pelaksana Tugas (Plt) Gubernur Aceh, Azwar Abubakar pasca ditangkapnya Gubernur Abdullah Puteh oleh KPK. Maksud Plt. Gubernur; Aceh yang Serambi Makkah, kok Kepala Daerahnya korupsi.
Sewaktu acara diskusi dimulai, seorang ustadzah mengajukan pertanyaan yang mengejutkanku. “Mengapa seorang Hafidz bisa korupsi.?” Jujur, pertanyaan itu tidak bisa langsung kujawab saat itu.
Mengenal Korupsi
Kata “korupsi” berasal dari bahasa latin “corruptio.” Ia bermakna, tindakan merusak atau menghancurkan. Corruptio juga bermakna “kebusukan, keburukan, kebejatan, ketidak-jujuran, dapat disuap, tidak bermoral, penyimpangan.”
Perkataan corruptio ini dalam bahasa Inggris, menjadi “corruption.” Dalam bahasa Belanda, ia disebut corruptie. Orang Indonesia kemudian menyebutnya korupsi. World Bank (2000), menyebutkan, “korupsi adalah penyalahgunaan kekuasaan publik untuk keuntungan pribadi."
Baca juga: Pengalaman 8 Tahun Menjadi Penasihat KPK (Bagian 10): "Reformasi Birokrasi yang Mati Suri"
UU No. 31/99 jo UU No. 20/2001 tentang tindak pidana korupsi, tidak menyebutkan definisi korupsi secara konkrit. UU ini hanya menyebutkan 30 perbuatan korupsi. Mereka dikategorikan dalam tujuh Keluarga Besar Korupsi: (a) Perbuatan yang merugikan keuangan/perekonomian negara; (b) Suap Menyuap; (c) Penggelapan; (d) Pemerasan; (e) Perbuatan curang; (f) Konflik kepentingan; dan (g) Gratifikasi.
Keluarga besar korupsi pertama adalah tindakan, kebijakan atau program yang karena bertentangan dengan Peraturan Perundang-undangan, mengakibatkan kerugian keuangan/perekonomian negara. Hal itu dilakukan, baik oleh Penyelenggara Negara (PN), ASN, Pejabat BUMN/BUMD, maupun pejabat publik lainnya.
“Bang, kan dia tidak terima uang tersebut, tapi mengapa ditangkap KPK.?” Pertanyaan seumpama ini selalu ditanyakan wartawan dan aktivis. Para mantan aktvis yang kemudian menjadi anggota eksekutif, legislatif, dan yudikatif selalu menanyakan hal ini. Olehnya, dalam setiap kesempatan, termasuk acara Bimtek di Banda Aceh ini, kujelaskan secara rinci, keluarga besar korupsi yang pertama ini.
Dasar hukum bagi keluarga besar korupsi pertama adalah Pasal 2 ayat (1) dan pasal 3 UU Tipikor. Pasal 2 ayat (1) menyebutkan: “Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonornian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).”
Baca juga: Pengalaman 8 Tahun Menjadi Penasihat KPK (Bagian 11): Pegawai KPK Mundur karena Terima Bandeng Presto
Jadi, alat bukti pertama adalah kebijakan, peraturan atau tindakan seorang PN, ASN atau pejabat BUMN/BUMD yang bertentangan dengan Peraturan Perundang-undangan yang ada. Alat bukti kedua, kebijakan, peraturan atau tindakan PN, ASN atau pejabat BUMN/BUMD tersebut dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara. Maknanya, berkaitan dengan keluarga besar korupsi pertama ini, penyidik tidak perlu membuktikan apakah PN, ASN, dan pejabat BUMN/BUMD menerima uang atau tidak. Sebab, kalau pun dia tidak terima duitnya, ada orang lain atau korporasi yang jadi kaya karena kebijakannya.
Saya dalam acara Bimtek, Seminar atau sosialisasi seperti di Nanggroe Aceh Darussalam tersebut, biasa bercanda begini: “Dari pada anda masuk penjara tapi tidak menikmati uangnya, ambil saja uangnya. Jadi impas. Masuk penjara, tapi dapat duit. Tinggal lagi waktu di akhirat nanti, anda akan menempati “asfala saafilyin,” neraka lapisan paling bawah. Jadi terpulang kepada anda, mau masuk neraka dunia, neraka akhirat, atau neraka kedua-duanya.” Gerrr…!!! Peserta Bimtek, seminar atau acara sosialisasi, tertawa.
Kurang kupahami dengan jelas, apakah tertawanya peserta tersebut karena mereka biasa korupsi atau menganggapku lucu.
Burung Nuri, Mengucapkan Salam
Presentasi dengan tema “Peranan Dakwah dalam Pencegahan Korupsi” kuakhiri setelah kurang lebih dua jam kuterangkan secara detail apa dan bagaimana korupsi terjadi. Kujelaskan juga solusinya, antara lain melalui dakwah. Tetiba, seorang ustadzah bertanya: “Mengapa seorang hafidz bisa korupsi,?” tanyanya.
Pertanyaan tersebut cukup mengagetkan. Memang, beberapa bulan sebelumnya, Kejaksaan Agung menangkap mantan Menteri Agama karena korupsi. Beliau, seorang hafidz. Jujur, saya tidak bisa menjawabnya. Sejenak saya terdiam. Tetiba, saya seperti mendapat ilham dari Allah SWT untuk mengisahkan pengalamanku ketika mengajar di Singapura (1996 – 2000).
Kukisahkan, setelah selesai shalat dzuhur, saya menuju warteg untuk makan siang. Jaraknya sekitar 700 meter dari kampus. Tiba di suatu tikungan, terdengar suara salam. Saya secara reflek menjawabnya. Kulihat ke pintu rumah di mana suara salam berasal. Aneh. !!! Tidak ada orang.
Disebabkan lapar, saya meneruskan perjalanan ke warteg. Selesai makan, saya kembali ke kampus. Saya melalui rumah yang tadi juga. Sekali lagi terdengar salam. Saya, sambil menjawab salam, sekitar setengah menit, kuamati jendela, pintu, dan pekarangan rumah tersebut. Tidak ada orang. Sekitar 50 meter, setelah tinggalkan lokasi itu, kujumpai seorang pemuda Melayu. “Ada apa bang,?” tanyanya. Kuceriterakan pengalamanku tadi.
Jawaban pemuda ini agak mengagetkan diriku. Menurutnya, pemilik rumah itu orang Melayu (Melayu di Singapura dan Malaysia adalah sebutan bagi orang Islam). Semua tamunya orang Melayu, baik pagi, siang, sore maupun malam. Setiap tamu, sesuai dengan tradisi Melayu, mereka mengucapkan salam.
Pemilik rumah punya burung nuri. Disebabkan setiap hari burung nuri tersebut mendengar salam maka ia dapat juga mengucapkan salam. Jadi, setiap ada orang lewat di depan pintu gerbang rumah tuannya, si Nuri akan mengucapkan salam.
Berdasarkan pengalaman pribadi di Singapura tersebut, kujawab pertanyaan ustadzah tadi. Kukatakan, dalam Islam, status seorang hafidz sangat terhormat. Namun, jika tidak diamalkan apa yang dihapal, apa bedanya dengan burung Nuri yang juga bisa mengucapkan salam?
Simpulannya, korupsi bisa terjadi di mana saja, oleh siapa saja, dan kapan saja. Wajar, jika oknum pejabat pemerintah menyatakan mendukung pemberantasan korupsi, tapi mereka sendiri terlibat korupsi. Minimal, melindungi diri dan keluarganya dari ditangkap KPK.
Olehnya, mengahafal Qur’an itu amalan terpuji. Namun, lebih terpuji lagi jika kandungan Al-Qur’an yang dihapal tersebut, dipraktikkan dalam gerakan kalbu, pola pikir, ucapan, tindakan dan perilaku sehari-hari. Ia dilakukan di rumah, tempat kerja, dan di mana saja. Apalagi bagi penghuni kementerian, legislatif, yudikatif, Pemda, dan Istana. Semoga! (Depok, 9 Juli 2023).
Jadilah bagian dari perjuangan Sabili
Bangun Indonesia dengan Literasi!