Sebuah artikel istimewa, hanya ada di Sabili.id. Diurai langsung oleh pelakunya, Dr. Abdullah Hehamahua, berupa pengalamannya menjadi Penasihat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Kami hidangkan secara berkala untuk Anda pembaca setia Sabili. Ada banyak fakta menarik didalamnya, semula tidak menjadi konsumsi publik. Berikut, seri kedelapan dari kisah beliau. Selamat menikmati.
“Bapak, sebagai purnawirawan polisi, punya tanggung jawab moral untuk menyelamatkan nama baik institusi kepolisian,” kataku kepada Ketua KPK. Sebab, pagi itu kubaca berita di koran, ada Penyidik KPK yang memeras seorang saksi. Berita ini sangat mencemarkan nama KPK, lembaga anti rasuah yang baru seumur jagung.
Pak Taufiequrachman Ruki bukan hanya mengiyakan permintaanku. Ketika itu beliau bahkan bilang, Pimpinan sudah setuju untuk menetapkan Penyidik KPK tersebut sebagai tersangka. Jadi kali ini, setelah Pimpinan dan Anggota KPU, pasien KPK adalah pegawainya sendiri. Beliau seorang Penyidik dari Polri.
Korupsi, Kapan dan Di Mana Saja
KPK, 13 Maret 2006, malam hari, menangkap penyidiknya sendiri, AKP Sup. Penyebabnya, beliau memeras seorang saksi KPK di Bandung. Penyidik itu ditugaskan menangani kasus korupsi di PT Industri Sandang Nusantara (ISN). Sebelumnya, KPK sudah menahan Direktur Utama PT ISN, Kuntjoro Hendrartono, dan rekanannya, Lim Kian Jin. Kuntjoro dijatuhi hukuman 8 tahun penjara dan denda 500 juta Rupiah subsider enam bulan kurungan.
Kasus ini berupa pengalihan aset negara PT ISN unit Patal Cipadung di kawasan Ujung Berung, Bandung. Aset tersebut berupa tanah seluas 25,9 hektare. Kejadiannya berlangsung pada 4 April 2004. Kuntjoro menjual aset itu ke Lim dengan harga yang jauh di bawah harga pasar. Tragisnya, Lim Kian Jin tak keluarkan duit sepeser pun. Sebab, sebelumnya beliau mengagunkan fotokopi sertifikat lahan tersebut senilai 60 juta Rupiah ke bank. Dampaknya, negara dirugikan sebesar 70,6 miliar Rupiah. Ini yang disebut “mark down.” Biasanya, dilakukan “mark up.”
Pejabat yang melakukan “mark up” lazimnya menaikkan harga jual, hingga lebih tinggi dari nilai sepatutnya. Selisih harga tersebut lalu diambil oleh dirinya atau bersama gengnya. Negara tidak dirugikan. Namun, terjadi perbuatan curang. Perbuatan curang adalah salah satu dari tujuh keluarga besar korupsi. Sebab, menurut UU Nomor 31/99 jo UU Nomor 20/21 tentang Tindak Pidana Korupsi, ada 30 perbuatan korupsi.
Tiga puluh perbuatan itu dikategorikan ke dalam tujuh keluarga besar korupsi. Pertama, Tindakan yang merugikan keuangan/perekonomian negara. Kedua, Suap menyuap. Ketiga, Penggelapan. Keempat, Pemerasan. Kelima, Benturan kepentingan. Keenam, Perbuatan curang. Dan ketujuh, Gratifikasi.
Apa yang dilakukan Penyidik KPK, Sup itu masuk dalam kategori pertama, tindakan merugikan keuangan/perekonomian negara. Sebab, dengan menetapkan harga jual di bawah standar, negara mengalami kerugian. Selisih harga dibagi bersama di antara para pihak.
Lazimnya, pengusaha di Indonesia semisal Lim Kian Jin punya tiga buku akun. Akun pertama, aset dan nilai transaksinya besar. Data ini digunakan sewaktu Pengusaha mengajukan pinjaman modal ke bank. Buku akun kedua, disebutkan asetnya dan nilai transaksi kecil. Data ini digunakan sewaktu berhubungan dengan Direktorat Jenderal Pajak. Targetnya, pajak perusahaan nilainya kecil. Buku akun ketiga, apa adanya. Tidak ditambah. Tiada pengurangan.
Data tersebut biasanya digunakan pengusaha sewaktu berhadapan dengan Malaikat. Pengusaha tidak berani, bahkan tidak mampu membohongi Malaikat. Sebab, bagi seorang muslim, zakat harta yang akan dikeluarkan, harus dipertanggung jawabkan di akhirat kelak. Lim bukan muslim. Namun, jika beliau seorang warga negara Indonesia, harus bertanggung jawab di dunia. Sebab, pasal 29 ayat (1) UUD 45 menetapkan, "Negara berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa."
Asas “Zero Tolerance”
Sup termasuk Penyidik Polri angkatan pertama yang bertugas di KPK. Seseorang diterima menjadi pegawai KPK jika punya integritas dan profesional. Profesional merupakan kriteria kedua. Sebab, ia dapat ditingkatkan melalui program Diklat. Integritas merupakan syarat pertama. Sebab, ia sudah dari “sono”-nya. Dengan demikian, jika integritas seseorang bermasalah, dapat dipastikan, musibah akan terjadi. Inilah yang terjadi dalam kasus Sup.
Sejatinya, dalam proses seleksi, Sup tidak lulus. Sebab, nilai integritasnya 3,9. Padahal, integritas di KPK berada di antara nilai 1 sampai 5. Calon dinyatakan lulus jika integritasnya mencapai nilai minimal empat.
Ada Pimpinan yang berpendapat, Sup diluluskan saja. Alasannya, Penyidik sangat diperlukan segera oleh KPK. Apalagi, Penyidik, sama dengan calon pegawai lain, harus mengikuti proses Bimtek KPK, sehingga bisa ditingkatkan integritasnya.
Pimpinan lain berpendapat, sekali SOP dilanggar, musibah akan terjadi. Apalagi, Kode Etik KPK menetapkan asas “zero tolerance.” Tiada toleransi terhadap pelanggaran di KPK, sekecil apa pun.
Kekurangan 0,1 poin integritas Sup merupakan celah bagi masuknya penyimpangan. Sebab, menurut Donald R. Cressey, korupsi itu disebabkan niat dan kesempatan. Seseorang tidak berniat korupsi. Namun, jika kesempatan selalu datang secara menganga, maka dia dapat tergoda.
Hal ini terjadi dalam kasus Pimpinan dan Anggota KPU yang ditangkap KPK sebelumnya, 2005. Mereka adalah akademisi. Tugasnya, mentransformasi ilmu yang dimiliki ke mahasiswa. Di kampus, mereka tidak pernah melihat uang milyaran. Apalagi triliunan. Di KPU, ada dana triliun rupiah. Pada waktu yang sama, kesempatan berupa godaan pengusaha, datang bertubi-tubi. Jebol-lah pertahanan para akademisi tersebut.
Beberapa tahun lagi Sup akan pensiun. Maknanya, tugas di KPK juga berakhir. Pada waktu yang sama, uang pensiun sebagai anggota polisi, jumlahnya tidak manusiawi. Sementara kasus yang ditangani Sup berkaitan dengan puluhan milyar Rupiah.
Tintin Surtini, Biro Jasa Penjualan, menjadi saksi dalam kasus ini. Beliau perempuan, yang secara fitrah rendah daya tahan. Dampaknya, Tintin selalu memenuhi apa yang diminta Sup. Tintin harus serahkan 413 juta Rupiah, USD 300, tiga HP Nokia 9500, dan 24 tasbih. Tintin juga terpaksa membeli mobil Atoz keluaran 2004 milik Sup dengan harga 100 juta Rupiah. Padahal, harga pasarannya diperkirakan hanya 60 juta Rupiah. Akhirnya, Tintin melapor ke Direktorat Pengaduan Masyarakat KPK.
KPK Bertindak Tegas
Ketika aku membaca berita pemerasan Penyidik KPK kepada seorang saksi. Jiwaku bergejolak. Ada rasa malu. Aku juga marah. Malu karena apa yang saya dan kawan-kawan perjuangkan di KPKPN, justru terjadi di KPK. Marah karena mengapa pimpinan meloloskan calon pegawai yang tidak memenuhi standar KPK.
Perasaan malu dan marah mendorongku menuju kantor Pimpinan KPK. Waktu itu, kantor Pimpinan KPK dan Deputi Penindakan masih menumpang di salah satu gedung Setneg, jalan Veteran. Kujumpai Ketua KPK. Mengingatkan, sebagai purnawirawan jenderal polisi, pak Taufiequrachman Ruki punya tanggung jawab moral menyelamatkan nama institusi kepolisian. Kuminta, jika Sup ditangkap, KPK menunjukkan jati diri sebagai lembaga independen yang bertugas memberantas korupsi terhadap siapa pun. Tindakan ini sekaligus menyelamatkan citra KPK.
Saya gembira. Sebab, pak Taufiequrachman dengan tegas menyatakan, Pimpinan KPK serius terhadap masalah ini. Beberapa hari kemudian, Tim yang dipimpin Deputi PIPM menangkap Sup. Penyidik KPK ditangkap dan diperiksa oleh sesama penyidik. Kawan sendiri. Itulah KPK. Bertidak tegas, namun tetap profesional.
Tragisnya, KPK sekarang setelah diobok-obok Presiden dan oligarki, kehilangan jati diri. Luntur integritas. Profesionalisme menjadi oportunis. Semoga Ketua KPK, Firli, membaca artikel ini, lalu langsung menangkap Harun Masiku. Mereka juga segera membongkar pidana pokok pejabat Kemenkeu yang mengakibatkan ada 349 triliun pencucian uang oleh anak buah Sri Mulyani. Semoga!!!
Baca Juga:
Jadilah bagian dari perjuangan Sabili
Bangun Indonesia dengan Literasi!