Pendidikan pesantren merupakan bagian tak terpisahkan dari sistem pendidikan nasional. Sehingga, penyusunan standardisasi mutu harus mengacu kepada Sistem Pendidikan Nasional. Maka, penyusunan standar mutu harus sesuai dengan UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, yang dirinci dalam PP Nomor 57 Tahun 2021 tentang Standar Nasional Pendidikan dan PP Nomor 4 Tahun 2022 tentang Perubahan atas PP Nomor 57 Tahun 2021 tentang Standar Nasional Pendidikan.
Selain itu, Pondok pesantren harus mengakomodasikan empat mata pelajaran umum setelah mendapat pengakuan penuh dari pemerintah dan resmi menjadi bagian integral dari Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas). Dan akan menjadi standar kompetensi kognitif dasar santri. Hal itu sebagaimana tertuang dalam Peraturan Menteri Agama Nomor 31 Tahun 2020 tentang Pendidikan Pesantren. Mata pelajaran umum tersebut adalah Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan, Bahasa Indonesia, Matematika, dan IPA/IPS.
Hal itu terungkap dalam acara Sosialisasi UU Nomor 18 Tahun 2019 tentang Pesantren, yang diadakan di Pondok Pesantren Al-Hikmah 2 Benda, Sirampog, Brebes, Jawa Tengah, 26 Oktober 2023. Sosialisasi bertema "Profil Santri Indonesia, Dewan Masyayikh, dan Rancangan Sistem Penjaminan Mutu Pendidikan Pesantren" itu menyebutkan, empat mata pelajaran umum yang sifatnya dasar itu harus diakomodir oleh pesantren untuk menunjang kompetensi dasar kemampuan nalar santri dan juga menanamkan rasa kebangsaan. Namun, acara yang diinisiasi Majelis Masyayikh ini menegaskan, untuk menjaga ciri khasnya, pesantren tetap bebas menyusun kurikulum independen berbasis kitab kuning.
Di kesempatan itu, Ketua Majelis Masyayikh, KH Abdul Ghofarrozin, menjelaskan, tujuan utama pendidikan adalah memberikan pengetahuan akademik dan keterampilan yang relevan dalam lingkup kurikulum. Untuk itu, mata pelajaran yang terkait dengan aspek kognitif dasar, semisal matematika, sains, bahasa, dan ilmu sosial, sangatlah penting. "Selama ini sebagian besar pesantren telah mengakomodir mata pelajaran ini," tandasnya.
Baca Juga : Ada Pendidikan Qiraatul Kutub Metode Sidogiri di Pesantren At Taqwa 03 Babelan, Bekasi
Lebih lanjut, pria yang biasa disapa Gus Rozin itu menambahkan, pesantren juga menetapkan sistem penjaminan mutu, yang masih disusun oleh Majelis Masyayikh. Penetapan mutu pesantren dinilai urgent karena pesantren harus memastikan bahwa hak pendidikan para santri terpenuhi. Selain itu, standardisasi mutu relevan dengan dukungan dari pemerintah dan pihak lainnya, agar setiap lulusan pesantren dapat berkhidmat di mana saja tanpa kecuali.
"Majelis Masyayikh akan bermitra dengan Dewan Masyayikh di tingkat pesantren untuk menyusun standar baku mutu pendidikan yang mengacu pada kompetensi kitab kuning," imbuh pengasuh Pesantren Maslakul Huda, Kajen, Pati, Jawa Tengah itu.
Majelis Masyayikh adalah lembaga induk penjaminan mutu pesantren yang dibentuk berdasarkan UU Nomor 18 tahun 2019 tentang Pesantren dan Keputusan Menteri Agama Nomor 1154 Tahun 2021 tentang Majelis Masyayikh dan menetapkan 9 orang anggota dari unsur pesantren di Indonesia. Pembentukan Majelis Masyayikh menjadi konsekuensi dari pengakuan pemerintah sepenuhnya terhadap pesantren, sehingga pesantren harus dapat menjaga mutunya secara mandiri.
Pondok pesantren secara tradisional telah menggunakan kitab kuning sebagai silabus pembelajaran. Untuk itu, kitab kuning diposisikan sebagai bahan ajar utama yang menjadi sumber segala rumpun pengetahuan di pesantren.
Sebagaimana tertuang dalam UU Nomor 18 Tahun 2019, satuan pendidikan pesantren dijalankan melalui dua jalur. Pertama, pengajian kitab kuning secara berjenjang dan tidak berjenjang. Kedua, jalur terintegrasi dengan pendidikan umum. Keduanya tidak akan berjalan tanpa ukuran yang jelas.
Sementara itu, Pengasuh Pondok Pesantren Miftahul Huda, Manojaya, Tasikmalaya, Jawa Barat, KH Abdul Aziz Affandy, menambahkan, mekanisme penjaminan mutu itu bukan memaksakan ukuran pusat kepada pesantren, akan tetapi memberikan kewenangan dan kebebasan bagi pesantren untuk mengatur, mengelola, dan mengembangkan program pendidikan nonformal mereka sendiri. Dengan demikian, pesantren dapat memiliki peran yang lebih sentral dan punya fleksibilitas dalam menyusun kebijakan guna memastikan kualitas pendidikannya.
“Dewan Masyayikh berkewajiban mengurus kurikulum pesantren. Meski pun demikian, Majelis Masyayikh tidak boleh mengatur Dewan Masyayikh dalam hal kurikulum, karena hal itu menjadi bagian dari otonomi pesantren. Peran yang akan diambil Majelis Masyayikh adalah memberikan pendapat terkait hal ini,” kata ulama yang juga anggota Majelis Masyayikh itu.
Jadilah bagian dari perjuangan Sabili
Bangun Indonesia dengan Literasi!