Pada pertengahan tahun 2023 Pilpres dipastikan tetap dilaksanakan pada 2024. Pilpres 2024 bisa jadi Pilpres yang “tak diinginkan” bagi kalangan tertentu. Berawal dari rencana penundaan pemilu, wacana perpanjangan masa jabatan presiden, hingga presiden 3 periode, dengan alasan penyelamatan kondisi negara dan menyerap aspirasi rakyat yang terekam dalam big data analysis.
Untuk mendukung hal itu, ragam pengerahan massa dilakukan. Puncaknya, seluruh Kepala Desa di bawah koordinator Apdesi dikumpulkan di Istora Senayan. Deklarasi dukungan presiden 3 periode pun disuarakan, dengan imbalan para Kepala Desa pun diberikan kompensasi yang sama.
Namun, skenario dukungan itu gagal berlanjut. Gagal dengan skenario tersebut, Presiden pun membuat gerakan cawe-cawe capres, dengan alasan Pilpres kali ini sangat penting dibandingkan Pilpres sebelumnya. Lembaga penegak hukum dan anti korupsi juga dilibatkan untuk menekan para pihak agar bergabung dalam satu kubu.
Capres potensial dan ketua partai yang “bandel” disidik oleh penegak hukum hingga di-KPK-kan. Kasus hukum untuk pemasungan lawan politik. Ketika semua sudah “patuh”, dibuat aturan bahwa kejaksaan menutup kasus bagi para politisi yang terjun dalam Pemilu 2024. Bagi yang “tidak mempan” dengan upaya tersebut, kasus hukum bergulir ke tingkat lanjut. Maka, kasus hukum para menteri mitra koalisi dibuka kembali.
Baca juga: Dua Wajah Jokowi?
Koalisi yang paling kuat justru paling telat mengumumkan cawapresnya. Ternyata itu karena menunggu keputusan Mahkamah Konstitusi tentang gugatan usia cawapres. Setelah usia cawapres boleh di bawah 40 tahun asal memiliki pengalaman di pemerintahan, maka deklarasi capres dan cawapres segera dilakukan.
Sebelum pengumuman MK, baliho pasangan itu sudah menyebar di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Di sana ketika itu baliho sudah massif terpasang, seakan sudah tahu hasil keputusannya. Keputusan ini mengorbankan Ketua MK yang merupakan paman cawapres dan ipar sang presiden. Sebab, Majelis Kehormatan yang dibentuk MK lantas menunjukkan adanya “permainan” dalam keputusan itu.
Manuver selanjutnya kini mengejar kemenangan dalam satu putaran. Bagaimana agar pasangan ini bisa menang dalam satu putaran? Pemberitaan di media massa tentang hal ini cukup massif. Tujuannya untuk pembentukan opini. Bukankah para pemilih cendrung memilih calon yang terkuat? Tidak hanya itu, muncul sinyalir ada potensi ketidaknetralan penguasa dalam proses Pilpres 2024.
Apa saja indikasinya? Ketua umum partai pengusung dan ketua pemenangannya merupakan anggota kabinet. Lalu beredar video bahwa salah satu wakil menteri berorasi untuk pemenangannya. Tiba-tiba muncul Bansos untuk 22 juta keluarga penerima manfaat (KPM). Semula, program ini disalurkan dari September hingga Nopember 2023, tetapi lantas diperpanjang hingga Juni 2024.
Manuver lain yang disinyalir untuk “mengamankan” Pemilu 2024 adalah dengan merekrut “Geng Solo”. “Pengamanan” secara nasional itu dengan pengukuhan Jenderal TNI Agus Subiyanto sebagai Panglima TNI. Sebelumnya, Jenderal Listyo Sigit Prabowo telah diangkat sebagai Kapolri. Sedangkan “pengamanan” Jawa Tengah dilakukan dengan pengangkatan PJ Gubernur, Kapolda, dan Pangdam IV/Diponegoro.
Apa pengaruh dari semuanya? Bermunculan opini tentang potensi kecurangan dalam proses Pilpres 2024.
Jadilah bagian dari perjuangan Sabili
Bangun Indonesia dengan Literasi!