Masjid Agung Cianjur, Ikon Religi di Kota Santri

Masjid Agung Cianjur, Ikon Religi di Kota Santri
Masjid Agung Cianjur, Kabupaten Cianjur / Yogi W. (Sabili.id)

Cianjur adalah sebuah kabupaten di provinsi Jawa Barat. Ibu kotanya berada di kecamatan Cianjur Kota. Kabupaten Cianjur adalah kabupaten dengan wilayah terluas kedua di Pulau Jawa setelah Kabupaten Sukabumi. Ada sejumlah julukan yang disematkan pada Kabupaten Cianjur. Di antaranya adalah “Kota Santri”. Cianjur dikenal sebagai "kota santri" karena selama ratusan tahun terdapat tradisi mengaji (di dalam bahasa setempat disebut Ngaos, red) di wilayah ini.

Diperkirakan, sejak tahun 1677, para ulama dan santri telah merintis Cianjur untuk menjadi tempat mengembangkan syiar Islam. Salah satu jejaknya terlihat pada banyaknya pondok-pondok pesantren di daerah itu. Bahkan, di masa perjuangan merebut dan mempertahankan kemerdekaan, kekuatan perjuangan rakyat Indonesia juga tumbuh dari pondok-pondok pesantren di sana.

Julukan “kota santri” untuk Cianjur pun selaras dengan keberadaan Masjid Agung Cianjur. Masjid besar yang berada di pusat Kecamatan Cianjur Kota itu berdiri megah di alun-alun kota. Itulah salah satu sebab mengapa Masjid Agung Cianjur lantas menjadi ikon religi yang khas di kota santri.

Ya, Masjid Agung Cianjur memang tepat berada di alun-alun kota. Posisinya persis di depan Kantor Bupati Cianjur dan dekat dengan pasar kota Cianjur (warga setempat menyebutnya Pasar Bojong Meron, red). Tepatnya, Masjid Agung Cianjur beralamat di Jalan Siti Jenab nomor 14, Kelurahan Pamoyanan, Kecamatan Cianjur Kota, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat.

Kini, Masjid Agung Cianjur kian terlihat megah di antara taman kota, gedung pemerintahan Kabupaten Cianjur, dan pasar. Di area sekitar masjid pun lantas dibuat taman kota dengan kolam air mancur berukuran besar yang tetap memberikan kesejukan ketika mentari sedang bersinar terik di tengah hari. Anak-anak terlihat senang bermain di sekitarnya. Maka, masjid bersama alun-alun dan taman kota serta kolam air mancur itu pun menjelma menjadi satu kesatuan ikon wisata religi khas Cianjur. Selain, tentu saja, fungsi utamanya sebagai tempat ibadah umat Islam.

Sejak awal, masjid ini memang sengaja dibangun dengan posisi lebih tinggi di antara medan alun-alun Cianjur yang menurun (tanahnya miring ke arah timur, red). Masjid Agung Cianjur dibangun dengan posisi lebih tinggi itu bukan tanpa sebab. Hal itu sebagai simbolisasi derajat kegiatan peribadatan bagi masyarakat Cianjur yang lebih tinggi dibandingkan kegiatan-kegiatan lain.

Baca juga: Catatan Perjalanan: “Beneran Sampai Mekah!”

Bukan sekadar tempat ibadah. Masjid Agung Cianjur yang diperkirakan dibangun tahun 1810 Masehi itu kini kian beranjak sebagai salah satu destinasi wisata religi yang ada di Kabupaten Cianjur. Bahkan di Jawa Barat.

Di awal berdirinya, Masjid Agung Cianjur yang tahun ini diperkirakan usianya mencapai 214 tahun itu punya ukuran bangunan 20 x 20 m atau luasnya 400 m2. Ketika itu, ukuran tersebut terbilang cukup luas untuk sebuah masjid. Selama 10 tahun sejak awal dibangun, masjid seluas itu memang sudah cukup untuk menampung seluruh kegiatan peribadatan masyarakat Cianjur. Namun, dengan bertambahnya jumlah jamaah, daya tampung masjid dinilai sudah tak lagi cukup. Maka, dilakukanlah perluasan masjid hingga 2.500 m2.

Kini, dengan luas 2.500 m2, Masjid Agung Cianjur dapat menampung kurang lebih 4.000 jamaah. Bagian selasar masjid juga dapat digunakan untuk tempat shalat ketika jamaah sedang membludak.

Pembangunan masjid seluas itu dimungkinkan, karena ada tanah wakaf dari Nyi Raden Siti Bodedar. Nyi Raden Siti Bodedar adalah putri dari Raden Sabirudin yang lebih dikenal sebagai Raden Adipati Wira Tanu Datar IV. Raden Adipati Wira Tanu Datar IV adalah Bupati keempat Cianjur yang menjabat tahun 1727 sampai 1761.

Yang menarik, Masjid Agung Cianjur punya ciri khas awal yang paling kentara. Yaitu tiga menara yang menjulang tinggi di tiga sisi bangunan utama yang atapnya berbentuk kerucut khas rumah joglo atau dalam bahasa Sunda disebut nyungcut. Bentuk atap nyungcut itu pula yang menjadikan masjid itu dulu kerap dijuluki Balai Nyungcut.

Konon, Masjid Agung Cianjur telah mengalami tujuh kali renovasi. Namun, tiga menara masjid tetap dipertahankan sesuai bentuk awalnya. Itu pula yang menjadi kekhasan bangunan Masjid Agung Cianjur.

Baca juga: Pendaki Perempuan Remaja Indonesia Sukses Kibarkan Bendera Merah Putih di Puncak Aconcagua

Ada lagi ciri khas Masjid Agung Cianjur. Bagian pinggir menara masjid dihiasi ram kaca patri. Di bagian atasnya juga dihiasi lampu malo, khusus untuk menerangi kalimat Allah yang dilingkari bulan sabit. Kaca-kaca patri juga menjadi ornamen khas di dinding masjid.

Ruang utama masjid merupakan ruangan utama tempat berlangsungnya ibadah. Ia merupakan ruang induk yang dibatasi pintu dan ram kaca. Penataannya memadukan gaya arsitektur khas Jawa Barat dengan Timur Tengah. Ruang utama masjid itu berlantai dua. Lantai dua ruang utama memiliki area persegi yang melingkar bagian tengahnya. Detail ornamen khas Islam menghias dengan sangat indah area itu.

Di bagian depan ruang utama, terdapat mihrab masjid dan mimbar yang dibuat permanen dengan bahan baku kayu jati berwarna natural cokelat muda melamik. Di bagian atas mihrab terdapat bentuk seperempat kubah yang berwarna kuning dengan ornamen tulisan lafadz Allah di kaca patri beraneka warna. Bentuknya persis seperti yang ada di depan pintu masuk masjid.

Di sisi kanan dan kiri mihrab, terdapat kaligrafi indah yang menjadi detail dinding berbahan granit. Lampu kristal besar menggantung di tengah-tengah ruang induk yang selalu dinyalakan di setiap malam hari. Di bagian depan masjid, tampak lengkungan-lengkungan bercorak seni arsitektur Timur Tengah dan unsur-unsur daerah.

Keberadaan Masjid Agung Cianjur pun kian selaras dengan denyut hidup masyarakat Cianjur. Sebab, Cianjur dikenal punya tiga hal utama yang melatari setiap pola hidup masyarakatnya. Yaitu ngaos, mamaos, maenpo.

Ngaos adalah kata dalam bahasa Sunda yang berarti mengaji. Ngaos menunjukkan betapa religiusnya masyarakat Cianjur sebagai kota santri. Ngaos adalah tradisi mengaji yang telah ada sejak lama di wilayah kabupaten ini.

Baca juga: Masjid Bani Ghifar di Bukit Sila

Mamaos adalah Tembang Sunda Cianjuran yang merupakan bagian dari kehidupan masyarakat dan budaya Cianjur. Tembang ini adalah seni suara Sunda yang diiringi instrumen musik tradisional semisal kecapi, suling, dan rebab.

Maenpo adalah salah satu unsur dari seni beladiri pencak silat. Cianjur sendiri memang terkenal sebagai tempat lahirnya seni beladiri pencak silat. Maenpo membuat Cianjur dikenal luas sebagai salah satu pusat pencak silat di tanah air. Berbagai aliran pencak silat terkenal semisal silat Cimande dan silat Sabandar berasal dari Cianjur.

Dan yang menarik, Masjid Agung Cianjur telah sering dinobatkan sebagai “Masjid Terbaik” tingkat kabupaten se-Jawa Barat. Terbaik bukan hanya dalam hal kemegahan arsitekturnya semata, tetapi juga dalam hal pengelolaannya. Nah, jika kapan-kapan Anda berkunjung ke Kabupaten Cianjur, sempatkanlah datang dan shalat di Masjid Agung Cianjur.


Komentar Anda:

Anda telah berhasil berlangganan di Sabili.id
Selanjutnya, selesaikan pembayaran untuk akses penuh ke Sabili.id
Assalamu'alaikum! Anda telah berhasil masuk.
Anda gagal masuk. Coba lagi.
Alhamdulillah! Akun Anda telah diaktifkan sepenuhnya, kini Anda memiliki akses ke semua artikel.
Error! Stripe checkout failed.
Alhamdulillah! Your billing info is updated.
Error! Billing info update failed.