Rasulullah bersabda "Diantara tanda-tanda dekatnya kiamat adalah kalian berbangga-bangga dengan (keindahan) Masjid" (HR Nasa'i).
Hadits tersebut adalah salah satu nubuwah (berita masa depan) yang kebenarannya menjadi bukti kenabian rasulullah saw. Dengan jumlah muslim terbesar di dunia, Indonesia menjadi negara yang memiliki masjid terbanyak. Data dari Dewan Masjid Indonesia (DMI), setidaknya ada 800.000 masjid dan mushola yang tersebar dari sabang sampai merauke. Tidak sedikit dari masjid tersebut yang besar dan megah, bahkan menjadi obyek wisata.
Dari fakta di atas timbul sebuah pertanyaan yang menggelitik pikiran, sudah seberapa jauh dampak masjid tersebut dalam membangun peradaban? Masihkah masjid menjadi pusat perubahan (center of exxecelent)?
Ibnu Abbas berkata, Nabi saw bersabda "Sungguh kalian akan meniru Yahudi dan Nasrani dalam menghias tempat ibadah" (H.R. Bukhari).
Jika kita menilik kaum Yahudi, mereka sangat senang menghias rumah ibadahnya, Sinagoga. Begitu pun kaum Nasrani. Coba lihat Vatikan, disana gereja dibangun megah, Basilika St Petrus contohnya. Umat agama lain juga kerap membangun rumah ibadah secara besar-besaran seperti kuil, candi, piramida dsb.
Baca Juga : Masjid Quba dan Awal Peradaban Islam
Fenomena berlomba dalam membangun masjid agar semakin megah serta indah menjadi pemandangan sehari-hari. Tak jarang dalam pembangunannya melibatkan infaq dari para jamaah. Tentu semangat untuk memakmurkan masjid secara fisik patut diapresiasi, tapi nahasnya kerap kali kemegahan masjid berbanding terbalik dengan jumlah shaf dan aktifitas yang digaungkan oleh masjid tersebut. Alih-alih dana yang dikumpulkan dari urunan dan infaq itu digunakan untuk menunjang kegiatan yang mendkatakan masyarakat dengan masjid.
Untuk apa mempercantik masjid dengan kaligrafi indah sementara masih banyak pemuda di sekitarnya yang tidak bisa membaca Qur'an? untuk apa menggantung lampu kristal mewah di bawah kubah, padahal masjid tutup seba'da isya? untuk apa menambah menara tapi warga sekitar tidak memenuhi panggilan adzan? untuk apa membuat gapura masjid yang besar tapi anak-anak malas ke masjid karena marbotnya galak? untuk apa mengganti motif keramik padahal di sekitar masjid banyak janda dhuafa, ibu-ibu terjebak hutang riba, para suami di PHK, anak muda susah kerja? Pantaskah menghias fisik masjid padahal warga sekitar banyak yang tidak shalat, tidak berjilbab bahkan anak mudanya berzina? apakah estetika lebih dipentingkan daripada esensi masjid sebagai tempat ibadah dan membangun peradaban Islam? pertanyaan-pertanyaan tersebut perlu direnungkan.
Padahal, tanpa ada kaligrafi pun masjid tetap nyaman untuk shalat. Tanpa ada gapura pun masjid tetap bisa dipakai jum'atan. Tanpa menambah menara, adzan masih terdengar dengan speaker. Tinggal kita yang mengedukasi masyarakat untuk datang memenuhi panggilan adzan, itu esensinya kan? Kalau yang difokuskan adalah pembangunan fisiknya, maka masjid seolah jadi tempat penitipan kotak amal. Seyogyanya yang dibangun adalah dakwah serta manfaat bagi warga sekitar, maka otomatis warga akan mencintai masjidnya, akan bahu membahu membantu operasionalnya. tanpa perlu membuat barikade pembatas di tengah jalan dan menjulurkan jaring untuk mengumpulkan infaq pembangunan.
Kalau ada yang berkata, bukankah Masjid al-Haram dan Masjid Nabawi juga bagus serta indah?" Kita jawab. Pertama, keindahan 2 masjid tersebut setara dengan pelayanannya dan warga sekitar masjid bukan warga yang kondisi sosialnya seperti kita. Kedua, hal tersebut juga bisa dikritik, apa kontribusi pemerintah Saudi kepada tetangganya, Palestina? Bukankah Saudi punya cukup power sebagai pemakmur Masjid al-Haram dan Masjid Nabawi, serta punya kewajiban yang sama dalam memakmurkan Masjid al-Aqsha di Palestina? ketiga, ada hadits yang menyebutkan bahwa Dajjal datang di saat Masjid Nabawi dibuat layaknya istana putih. Ya, Dajjal datang di saat Masjid Nabawi menjadi megah dan mewah seperti istana putih, tapi umat di akhir zaman sedang berantakan seperti buih di lautan.
Baca Juga : Masjid Agung Baiturrahman, Refleksi Kehidupan Beragama di Pulau Morotai
Boleh membuat nyaman Masjid
Kritik di atas bukan berarti tidak boleh membuat masjid menjadi nyaman.
Umar bin Khatab berkata "Tutupilah Masjid dari hujan, silahkan cat Masjid tapi jangan pakai warna merah agar manusia tidak terfitnah".
Sah-sah saja mengecat dinding masjid atau memberinya lantai keramik supaya mudah dibersihkan. Atau membuat toilet dan tempat wudhu jadi bersih dan tidak menjijikan. atau boleh juga memasang AC agar tidak panas. untuk kenyamanan jama'ah sangat dibolehkan. Karena berbeda antara mempercantik dan membuat nyaman. Mempercantik lebih kepada tampilan estetika, sedangkan membuat nyaman itu lebih kepada fungsi.
Kesimpulan
Abu Darda berkata, Nabi saw bersabda "Jika kalian sudah mulai mempercantik Mushaf Al-qur'an dan masjid, tunggulah kehancuran kalian" (riwayat Ahmad)
Allah mencintai yang indah serta Islam agama yang mencintai keindahan. Sudah seyogyanya tampilan estetika masjid yang indah dibarengi dengan fungsi dan esensi dari masjid itu sendiri. Bagaimana islam menjadikan solusi atas segala problematika umat manusia. Wallahu a'lam bishowab.
Jadilah bagian dari perjuangan Sabili
Bangun Indonesia dengan Literasi!