Baru saja kita melewati peringatan Hari Pahlawan, 10 November 2023. Tidak libur, tetapi Hari Pahlawan tetap diperingati. Tetapi entah apakah karena tidak libur itu, peringatan Hari Pahlawan kemarin terasa sepi-sepi saja. Kerumunan hanya terjadi sesaat, di Taman Makam Pahlawan di berbagai kota di Indonesia. Untuk upacara dan nyekar bagi keluarga pahlawan.
Lalu apa yang tersisa dari peringatan itu? Hanya setumpuk ucapan “Selamat Hari Pahlawan” yang jejaknya bisa kita scrool dari gawai. Ada untaian doa, ucapan selamat, ada quotes kata-kata para pahlawan, tentu dalam berbagai format digital yang serba meriah, puitis, warna-warni, dan tak ketinggalan pula ajakan untuk bersyukur dan merenung.
Setelah itu, berbagai tumpukan pesan lain bermunculan di gawai. Alhasil, pesan-pesan Hari Pahlawan itu dengan sangat cepat tertimbun oleh pesan lain. Seperti momen-momen penting lainnya, semuanya terlewati hanya dalam bentuk tulisan, video, flyer, meme, dan lain sebagainya. Setelah itu, teronggok dalam folder memori gadget.
Lantas, untuk meringankan beban momeri gadget, dalam beberapa minggu ke depan, aneka pesan itu harus dihapus, agar tidak mengganggu kinerja gawai yang cepat mengalami ketersendatan akibat penuhnya memori dengan aneka pesan. Termasuk pesan-pesan indah di Hari Pahlawan yang pada akhirnya lenyap tanpa bekas.
Baca Juga : Kini, Kamulah Pahlawan Itu!
Ya, seperti itulah nasib pesan, seruan, imbauan moral, di era gadget hari ini. Sekadar memunculkan kreatifitas untuk membuat sebuah pesan agar indah dan mudah dinikmati. Memacu orang untuk ikut rajin share sehingga beberapa pesan lantas menjadi viral. Lalu pesan-pesan itu akan hilang begitu saja dalam hitungan hari.
Untuk kepentingan teknis, tak mengapa jika pesan-pesan itu harus kita hapus. Masalahnya, banyak pesan di Hari Pahlawan kemarin yang bahkan tak berjejak sama-sekali di hati dan pikiran kita. Jejak digital telah dihapus, dan tak terekam pula di memori ingatan dan sanubari kita masing-masing. Pesan kepahlawanan itu pun berlalu, seperti debu halus yang terbang entah ke mana, dihembus tiupan angin tengah hari.
Memperingati Hari Pahlawan dan hari besar yang lainnya sesungguhnya memiliki tujuan yang sangat agung. Peringatan Hari Pahlawan, misalnya, tujuan utamanya adalah demi mengingat jasa, perjuangan, dan keteladanan para pahlawan. Agar generasi Indonesia paham bahwa kemerdekaan ini ditebus dengan pengorbanan dan perjuangan yang taruhannya nyawa. Agar generasi Indonesia paham untuk mewarisi nilai-nilai kepahlawanan, semangat berkorban, dan sikap mengutamakan kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan pribadi, keluarga dan golongan.
Nilai kepahlawanan adalah kristal bening yang mestinya mengendap di dasar sanubari dari setiap peringatan Hari Pahlawan yang kita lakukan. Tetapi apa lacur, alih-alih mengristalkan nilai kepahlawanan, peringatan Hari Pahlawan bahkan tak membuat kita lebih apresiatif terhadap nilai-nilai kepahlawanan.
Pamrih politik, materi, ketenaran, dan seterusnya, lebih menjadi penggerak dasar perilaku hidup kita hari ini, daripada nilai-nilai kepahlawanan yang sejati. Ironis memang, jiwa pengorbanan, ketulusan, dan sikap tanpa pamrih justru jadi dagangan dengan pamrih ekonomi dan politik!
Para politisi dan pejabat yang diberi amanah untuk mengurus tanah air warisan para pahlawan telah terputus dari visi kepahlawanan para founding father. Mereka berbuat bukan lagi dalam kerangka kemakmuran bersama, tetapi lebih sering diniati untuk investasi politik dan upaya pelanggengan jabatan kekuasaan. Sumbangannya kecil, tetapi baliho poster dirinya besar-besar, agar masyarakat yang dibantu membalas budi dan mengingat dirinya saat musim coblosan tiba. Pamrih politik.
Baca Juga : Musim Politik Tak Seindah Musim Kopi
Rindu Ketulusan
Di pertengahan bulan pahlawan ini, diam-diam kita rindu pada ketulusan. Seperti dahulu para tetangga yang tanpa pamrih membantu tetangga yang lainnya untuk saling meringankan beban dalam semangat gotong-royong tanpa berharap imbal jasa. Itu khas Indonesia dan warisan original para pahlawan kemerdekaan.
Di tengah peringatan hari pahlawan ini pula, kita jerih membayangkan hilangnya ketulusan. Seperti mutiara yang menyelinap di antara rerimbun belantara pamrih-pamrih. Betapa massif-nya seruan untuk mabuk pujian, bahkan tanpa beban melakukan eksploitasi nilai kepahlawanan untuk sekadar menjadi tontonan demi mengundang viewer untuk berkerumun yang berujung pada kenaikan pendapatan. Pamrih ekonomi.
Nilai-nilai kepahlawanan begitu banyak. Ketulusan adalah salah satunya. Mungkinkah, setidaknya kita mampu menyemai kembali benih ketulusan di ladang batin kita masing-masing, di tengah kencangnya badai pamrih yang saban detik menimpa kehidupan kita hari ini?
Jika kita semua rindu ketulusan, jangan pernah berharap ketulusan dari orang lain. Sebab, kemarau ketulusan itu melanda pula hati saudara kita. Tetapi, mari bersama-sama kita membudi dayakan lagi butir-butir ketulusan yang masih tersisa di hati, agar menjadi rerimbunan taman, yang menebarkan kembali aroma wangi ketulusan.
Mungkinkah?
Jadilah bagian dari perjuangan Sabili
Bangun Indonesia dengan Literasi!