Tanya:
Assalaamualaikum Ustadz. Mohon pencerahan. Saya menghutangkan atau meminjamkan uang kepada kawan saya sejak 2017. Sejumlah Rp. 11 juta dan sampai sekarang, hutang tersebut belum lunas. Dia orang yang baik, menjaga shalat berjamaah dan mengerti agama. Sebenarnya kemampuan dia untuk bayar hutang memang kurang. Dia punya keluarga yang bisa dibilang berada, tetapi dia menghindari bantuan orang tua, apalagi warisan. Dugaan saya, ada semacam hubungan kurang baik dengan sang ayah (semoga sekarang baik). Dalam hal ini, bolehkan saya membayar zakat mal saya dengan cara menganggap lunas semua/sebagian uang saya yang masih sama kawan saya tersebut (piutang)?
Hamba Allah, Jakarta.
Jawab:
Waalaikum salam warahmatullah wabarakatuh.
Masalah seperti ini ada khilafiyah di kalangan para ulama.
Pendapat mayoritas ulama adalah, piutang tidak bisa dijadikan zakat. Ini adalah pendapat resmi yang dipegang dalam madzhab yang empat.
Al Imam An-Nawawi mengatakan dalam kitab Al-Majmu’
“Jika seseorang punya piutang terhadap orang yang kesulitan membayar, kemudian dia melunaskan piutangnya itu dan mengatakan pada yang berutang, “Sudah tidak usah bayar, anggap saja itu zakat dari saya”, maka dalam madzhab Syafi’i ada dua wajah dan yang paling shahih adalah itu tidak berlaku sebagai zakat". Ini sama dengan madzhab Abu Hanifah dan Ahmad.
Alasannya karena zakat berada dalam tanggungan sehingga tidak akan lepas tanggungan itu sampai dia serahkan (fisiknya) ke orang lain.
Wajah (versi pendapat dalam madzhab) kedua, itu sah (sebagai zakat). Ini adalah pendapat Hasan Al-Bashri dan ‘Atha. Alasannya, kalau dia memberikan zakat itu kepada orang yang berutang tadi, lalu orang itu membayar utangnya dengan uang itu lagi kepadanya maka itu sah, maka begitu pula kalaupun dia tidak memberikannya (langsung potong utang saja –penerj), sebagaimana kalau dia punya uang dirham sebagai titipan lalu dia bayarkan sebagai zakat maka itu sah, baik dia sempat menyerahkan (kepada mustahiq) maupun tidak.
Namun bila ia membayar zakat kepada debiturnya itu dengan syarat dia harus membayar utangnya, maka ini tidak sah sebagai zakat. Tapi kalau mereka berdua tidak ada niat untuk itu dan tidak mensyaratkan di awal maka itu sah menurut kesepakatan ulama madzhab (Syafi’i).
Kalau debitur (orang yang berutang) ini berkata kepada krediturnya, “Sini bayarkan zakat anda kepada saya biar saya gunakan itu untuk membayar utang saya kepada anda”, maka itu sah sebagai zakat. Si debitur langsung memiliki uang zakat itu kala diserahkan kepadanya dan dia tidak berkewajiban membayar utangnya dengan uang itu. Tapi kalau dia membayarnya dengan uang itu juga maka sah sebagai zakat.”
(Selesai dari Al-Majmu’ jilid 6 hal. 210-211).
Kemudian mari kita lihat paparan dari Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah dalam masalah ini:
“Kreditur (orang yang mengutangi) tidak boleh menjadikan pengguguran piutangnya atas diri debiturnya yang faqir dan kesusahan hidup dan tak punya apa-apa untuk membayar utang sebagai zakat malnya. Kalau dia melakukan itu maka tidak sah sebagai zakat. Ini adalah pendapat madzhab Hanafi, Hanbali, Maliki dan wajah yang ashah (versi kesimpulan madzhab yang paling kuat) dalam madzhab Syafi’i, serta pendapat Abu ‘Ubaid.
Alasan pelarangan menurut mereka adalah bahwa zakat itu hak Allah, maka manusia tidak boleh memperlakukannya demi kepentingan dirinya sendiri, atau untuk mengganti hartanya, atau melunasi piutangnya.”
(Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah 23/299).
Inilah pendapat yang lebih selamat dan lebih baik untuk diikuti sehingga jangan menjadikan pengguguran utang sebagai zakat kita kepada debitur yang belum mampu membayarnya.
Wallahu a’lam bis shawaab.
Dijawab oleh Ustadz Anshari Taslim, Lc. / Mudir Pesantren Bina Insan Kamil - DKI Jakarta
Bagi pembaca setia Sabili.id yang ingin mengajukan pertanyaan seputar kaidah hukum Islam, silahkan mengirimkan pertanyaannya ke meja redaksi kami melalui email: [email protected]
Jadilah bagian dari perjuangan Sabili
Bangun Indonesia dengan Literasi!