Menilik Pemikiran Pendidikan Mohammad Natsir, Autokritik untuk Kampus Natsir

Menilik Pemikiran Pendidikan Mohammad Natsir, Autokritik untuk Kampus Natsir
Menilik Pemikiran Pendidikan Mohammad Natsir, Autokritik untuk Kampus Natsir / Foto Istimewa

Pengkajian terhadap pemikiran Natsir memang tidak ada habisnya. Sangat banyak hasil riset tentang pemikiran Natsir yang dapat kita akses di berbagai media, baik media cetak, digital, lokal-nasional, atau bahkan internasional. Melimpah ruahnya hasil riset itu, tentu saja, karena luasnya pemikiran Natsir yang melingkupi berbagai sektor: da'wah, pendidikan, dan politik.

Para peneliti yang meriset pemikiran Natsir selalu berkelindan dalam tiga sektor di atas. Sebab, Natsir memang dikenal sebagai seorang da'i, pengajar atau pendidik, sekaligus politisi dan negarawan. Kesuksesan karir Natsir pada tiga bidang itu menjadi titik obyek analisis terhadap pemikirannya. Dan salah satunya dilakukan oleh Dr. Wildan Hasan, melalui disertasinya yang mengkaji pemikiran Natsir dari aspek Pendidikan, yang telah berhasil dibukukan beberapa waktu lalu.

Pemikiran Natsir tentang pendidikan yang diimplementasikan olehnya dengan mendirikan Pendis (Pendidikan Islam), kendati pun secara temporal telah jauh terlewati oleh periodisasi waktu dan kepemimpinan politik, akan tetapi oleh sebab ke-universal-an ide dan gagasan Natsir, menjadikannya tetap relevan untuk diaplikasikan di era kekinian. Tentu saja sesuai dengan zeitgeist (semangat zaman) saat ini. Sayang sekali jika studi pemikiran-pemikiran Natsir ini hanya dijadikan ajang untuk romantisme masa lalu tanpa ada implikasinya terhadap masa kini.

Namun sayangnya, ideologi pendidikan yang digagas oleh Natsir itu belum optimal dan merata dalam usaha mengartikulasikannya di Indonesia, khususnya sekolah dan perguruan tinggi Islam. Lebih disesalkan lagi, problem ini ditemukan di perguruan tinggi yang menyandang titel Mohammad Natsir. Sekolah Tinggi Ilmu Da'wah (STID) Mohammad Natsir, misalnya.

Tampaknya terdapat inkoherensi antara cita-cita serta konsep pendidikan Natsir dengan aplikasinya di kampus Natsir. Di dalam kesempatan ini, insya Allah saya akan mencoba mendedahkannya dengan cara melakukan amplifikasi terhadap buku “Pemikiran Pendidikan Mohammad Natsir: Dalam Pengembangan Pendidikan Islam di Indonesia 1932-1942” yang ditulis oleh Dr. Wildan Hasan (Eks Dosen STID Mohammad Natsir).

Integral, Universal, atau Doktrinal?

Yang masyhur dari pemikiran pendidikan Natsir adalah memadukan seluruh elemen keilmuan menjadi konsep pendidikan, konsep integral, dan universal, sangat khas dan inheren pada pemikiran Natsir, bukan saja untuk aspek pendidikan, namun dalam konteks politik pemerintahan pun ia menerapkannya. Konsep pendidikan integral ini sebagai antitesis terhadap konsep pendidikan dikotomis yang umum terjadi di sekolah-sekolah kolonial.

Secarik Catatan Singgung atas Sapiens
Tuhan ingin menciptakan khalifah bagi diri-Nya di bumi. Dia harus memilih bahan yang paling berharga dan suci. Tetapi, Dia memilih yang paling dasar. Yaitu tanah liat (seperti tembikar) dan lumpur.

Ideologi pendidikan Natsir merekonstruksi pendidikan dikotomis yang memisah-jauhkan “pendidikan agama” dengan “pendidikan umum” atau “non-agama” melalui konsep integral, universal, dan harmonis. Paradigma pendidikan dikotomis semacam itu juga merupakan warisan kolonial yang dibentuk sesuai dengan semangat kolonialisme.

Universalitas konsep yang ia populerkan menegasikan konsep rigiditas dalam pendidikan, pola rigid dalam mendidik atau membentuk kader menghambat progresivitas dan menafikan keindahan tasamuh dalam kemajemukan kultur pemikiran keagamaan, terutama pada ranah ikhtilaf-fiqhiyah. Keragaman pemikiran ini seharusnya disikapi secara dewasa dengan rendah hati, bukan malah ditanggapi dengan sikap angkuh dan menghukumi. Amat kejauhan jika justifikasi terhadap perbedaan pandangan fiqih itu mengarah kepada suatu konsekuensi terberat dalam hidup, semisal “jika mengamalkan itu akan masuk neraka”, dan “harus begini supaya masuk surga”. Milik siapakah surga dan neraka itu?

Konsep pendidikan integral dan universal Natsir sudah terlampau maju. Ia telah berdamai dengan isu-isu fiqih-ikhtilaf. Pola pikir Natsir yang progresif tidak mau lagi direpotkan dengan hal-hal seperti itu. Jelas sekali, Natsir menolak eksklusivisme dan konservatisme dalam pendidikan (Wildan Hasan, 2024: 148).

Problem yang dihadapi Natsir saat itu adalah dikotomisasi pendidikan yang dipisah-pisah menjadi dua hal yang sama sekali berbeda:

(i)   Pendidikan umum yang dipandang kebarat-baratan, sehingga riskan untuk diaplikasikan di pesantren, dan

(ii) Pendidikan agama, yang dianggap kontradiktif dengan ilmu-ilmu humaniora sehingga enggan diterapkan di sekolah-sekolah umum. Saat ini, di kampus Natsir problemnya adalah dikotomisasi urgensitas dakwah kepada kalangan elit dan kelompok pedalaman. Di samping itu, ada juga masalah manhaj yang belum juga selesai, pengajaran yang mengarahkan mahasiswa kepada corak pemahaman tertentu, membuat mahasiswa kaku saat harus berhadapan dengan keberagaman.

Paradigma mahasiswa yang dibentuk melalui cara pendidikan doktrinal akan memberikan implikasi yang rumit saat berdakwah di lingkungan eksternal, yang sama sekali berbeda saat belajar di asrama atau kampus. Semestinya, integral dan universal sebagai konsep pendidikan menjadi framework berpikir mahasiswa. Adanya mahasiswa yang anti dengan filsafat atau yang bernuansa Barat adalah contoh hasil dari pendidikan doktrinal. Padahal, Natsir dalam Capita Selecta-nya banyak menyoal masalah filsafat dan mengutip pemikiran para filsuf. Seyogianya, dimasukkannya mata kuliah Filsafat Komunikasi ke dalam kurikulum pendidikan untuk Prodi (Program Studi) Komunikasi Penyiaran Islam di STID Mohammad Natsir sudah menjadi dilalah (signifikasi) bagi persoalan boleh-tidaknya mempelajari filsafat.

Pendekatan Ulama Klasik dan Modern dalam Metode Memahami Al Qur’an
Metode pemahaman Al Qur’an telah berkembang dari era klasik hingga modern. Hal itu mencerminkan dinamika intelektual umat Islam dalam memahami teks suci ini.

Model pendidikan doktrinal yang diajarkan sejak dari semester awal ini kemudian akan membentuk suatu paradigma yang rigid. Dampak lainnya dapat mengeliminasi keharusan hidup guyub dalam perbedaan fiqih. Sudah saatnya civitas akademica STID Mohammad Natsir untuk berunding, bermubahatsah, membicarakan arah dan manhaj kaderisasinya sesuai dengan konsep pendidikan Natsir dan Khittah Da’wah Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia yang merupakan induk dari institusi perguruan tinggi ini. Tentu saja hal ini harus melibatkan para kader sebagai basis sosiologis, agar tak terkesan minim partisipasi.

Harmonis, Dinamis, atau Statis?

Kemampuan manusia untuk berpikir secara aktif membuat kehidupannya dinamis, selalu berhasrat akan perubahan, dan anti kemapanan (status quo).  Pun demikian dengan pendidikan sebagai suatu elemen yang melekat dalam kehidupan, setiap makhluk yang berakal meniscayakan perubahan. Keharusan dinamisasi pendidikan telah disinggung sedari awal dalam karya Dr. Wildan Hasan yang mutakhir ini. Bahkan sejak dari bagian Kata Pengantar yang disampaikan oleh Dr. Jeje Zaenuddin (Ketua Umum PP Persatuan Islam/Dosen Tetap STID Mohammad Natsir).

Pemikiran Natsir sangat fleksibel, sehingga lebih adaptif terhadap perkembangan zaman. Suatu proses pendidikan, mulai dari instrumen, metode, atau bahkan isi materinya (bila perlu), membutuhkan harmonisasi dengan konteks sosio-kultural masyarakat yang ada, seperti Natsir (dahulu) begitu konsentrasi dan memberikan perhatian penuh untuk agenda dakwah pedalaman, dan masih tetap relevan sampai saat ini. Akan tetapi, memaku orientasi pada satu konsentrasi juga bukanlah hal bijak dan tentunya inkoheren dengan karakter beripikir Natsir.

Karena dakwah harus digalakkan ke segala arah, maka ragam segmen kehidupan tidak boleh ada yang lepas dari tujuan pengkaderan. Artinya, kaderisasi jangan dipersempit hanya untuk dakwah pedalaman. Sebab, orientasi tunggal itu bukan levelnya perguruan tinggi, apatah lagi menyandangkannya kepada nama besar sekaliber Mohammad Natsir, yang memiliki pemikiran pendidikan integral, universal, dan harmonis.

Penutup

Perubahan adalah fitrah manusia serta inheren dengan cita-cita dan ajaran Islam. Namun, menggalakkan perubahan juga harus dilakukan berikut dengan evaluasinya, jangan dipandang secara spekulatif seolah semuanya sudah mencapai taraf kesempurnaan. Pendidikan yang integral, universal dan harmonis sebagai basis dalam kaderisasi dapat menjadi instrumen yang kompatibel untuk mengakomodir seluruh kepentingan dakwah. Dengan tiga konsep dasar tersebut, maka orientasi tunggal bukan sesuatu yang dicita-citakan. Kampus Natsir harus mampu menyiapkan kader untuk berdakwah—bukan hanya kepada kelompok pedalaman—tetapi juga kepada kalangan elit pemerintahan, selebihnya mudah-mudahan dapat menjadi da’i yang elit sebagaimana dahulu dilakukan Natsir.

Wallahu a’lam.

Google News

Komentar Anda:

Anda telah berhasil berlangganan di Sabili.id
Selanjutnya, selesaikan pembayaran untuk akses penuh ke Sabili.id
Assalamu'alaikum! Anda telah berhasil masuk.
Anda gagal masuk. Coba lagi.
Alhamdulillah! Akun Anda telah diaktifkan sepenuhnya, kini Anda memiliki akses ke semua artikel.
Error! Stripe checkout failed.
Alhamdulillah! Your billing info is updated.
Error! Billing info update failed.