Ada keributan, kemarahan, kegelisahan, kekhawatiran, hingga ketakutan, yang melanda dunia kesehatan dan kedokteran akhir-akhir ini. Hal itu terkait dengan kebijakan dan regulasi belakangan ini yang sudah pasti akan berdampak pada masa depan mereka. Bagi yang berpikir waras, tentu sudah terbayang betapa suram masa depan dunia kesehatan dan kedokteran. Suram secara materi dan suram secara tanggung jawab keilmuan.
Kelihatan agak aneh kalau dibilang suram. Tetapi segera keanehan itu akan hilang jika kita paham sekiranya ada apa di balik kebijakan dan regulasi di dunia kesehatan dan kedokteran itu.
Dulu ada yang bilang, dan memang benar juga apa yang dibilang, jika dokter salah kasih obat maka satu jiwa kemungkinan melayang, tetapi kalau ulama salah kasih fatwa maka se-Nusantara bisa sesat semuanya. Yang satu berhubungan dengan keselamatan jiwa, sedang satu lagi berhubungan dengan keselamatan beragama. Sama-sama menjadi kunci keselamatan, berarti sama-sama memiliki tanggung jawab berat dan besar di masyarakat. Pendeknya, keduanya memiliki peran penting dan kunci di ranah publik.
Maka satu pertanyaan saja kita coba lempar: Apa jadinya jika terjadi benturan kepentingan antara orang-orang yang memilik peran kunci di ranah publik dengan orang-orang yang memiliki kekuatan dan kekuasaan?
Jawabannya sudah sangat mudah terbaca. Pihak yang tak punya kuasa akan selalu kalah dan dikalahkan, walau pun memiliki peran kunci penyelamat jiwa dan agama sekalipun. Sebab, memang dalam dunia kekuasaan tak pernah ada harga buat nyawa dan agama.
Bahwa jika kekuatan kepentingan tertentu harus dijalankan, maka segala rintangan juga harus dihilangkan. Coba kita ingat-ingat sekarang, kepentingan apa yang terancam terhalang oleh peran dokter dan ulama? Artinya, secara dasar keilmuan di bidang kesehatan dan agama, kepentingan tersebut dianggap sangat membahayakan. Ada yang tahu?
Ya, tak lain dan tak bukan adalah kepentingan propaganda perilaku menyimpang kaum berbendera pelangi. Di dalam dunia kedokteran dan agama, perilaku kaum tersebut adalah penyimpangan. Belum ada satu pun dokter dan ulama di dunia ini yang menyatakan bahwa perilaku kaum tersebut tidak menyimpang. Semuanya masih sepakat bahwa itu penyimpangan. Di sinilah terjadi benturan itu. Maka, jalan terakhir jika dunia kedokteran dan agama tak mau mengalah adalah dikalahkan.
Bagaimana caranya? Peran kunci mereka di ranah publik harus dilucuti, atau mereka dibuat mengalah.
Coba tengok sekarang, masih adakah ulama yang lantang menentang dan menantang secara terbuka propaganda perilaku menyimpang tersebut dengan basis keilmuan agamanya? Jawabannya, sudah hampir tak terdengar. Bahkan meski pun para ulama tersebut mempunyai wadah ormas sekalipun.
Hampir tak terdengar bukan berarti sama sekali tidak ada. Ada, tetapi tak ada pengaruh apa pun. Peran mereka dan wadah mereka sudah dilucuti. Hanya sekadar bicara fatwa tetapi fatwa mereka boleh untuk tidak diikuti. Artinya, tak akan ada dampak hukum apa pun jika publik secara serentak sekalipun tidak mengikuti fatwa mereka.
Berarti ancaman penghalang dari orang-orang yang memiliki peran kunci di bidang agama sudah terlewati. Tinggallah satu lagi ancamannya, yaitu para dokter.
Memang ada sedikit kerumitan menghadapi para dokter, karena peran kunci mereka adalah di nyawa, bukan agama. Kalau ada orang tersesat agamanya, maka publik pun kebanyakan berpikiran “bomat”, alias bodo amat, mau sesat mau nggak terserah dia, yang penting secara fisik sehat dan nyawa tak hilang. Tetapi kalau urusannya hilang nyawa, maka orang sesat pun akan pasang badan.
Maka, di satu sisi inilah para dokter masih lebih didengar suaranya daripada ulama. Dan boleh jadi jika para dokter masih lantang menentang dan menantang kepentingan kaum berperilaku menyimpang itu, maka dampaknya akan berat buat pemilik kepentingan. Maka, jalan satu-satunya adalah mengalahkan mereka dengan kebijakan yang memberatkan, hingga akhirnya mereka tunduk dan bungkam. Menyerah.
Dunia kedokteran adalah dunia berbiaya tinggi. Maka, wajar memang jika mereka mendapatkan hak yang setara dengan biaya tinggi yang sudah dikeluarkan, baik karena menuntut ataupun tidak. Semua bisa paham hal ini. Apalagi jika mengingat tugas kemanusiaan yang harus mereka emban. Belum lagi keharusan update dan upgrade keilmuan yang senantiasa berkembang seiring perkembangan zaman. Maka, inilah dia celah lumayan menganga yang bisa dimanfaatkan oleh lawan.
Bayangkan jika masa depan finansial mereka disuramkan, dan di saat yang sama mereka harus berjibaku dengan tugas berat kesehatan dan berkelahi dengan tugas kemanusiaan. Ada pilihan, memang: mundur teratur dari dunia kesehatan alias banting setir atau tetap bertahan meski pun berat. Sama-sama pilihan susah, apalagi jika mengingat tanggung jawab keilmuan mereka.
Jika harus banting setir dan alih profesi, maka itu artinya harus ikhlas merelakan sekian waktu, tenaga, pikiran, dan biaya yang sudah banyak terkuras, seakan dan serasa terbuang percuma. Tetapi bukan itu yang beratnya. Justru beratnya adalah banting setir berarti boleh jadi memulai hal baru dari nol lagi. Apalagi banting setir ke profesi baru. Memang, akhirnya boleh jadi bisa bersuara ketika sudah alih profesi, tetapi tetap nyaris tak terdengar.
Jika harus bertahan, maka siap-siap bertahan di bawah aturan yang boleh jadi tak searah dan sejalan dengan hati nurani, dan bahkan tak sesuai dengan dasar ilmu dan profesi mereka di dunia kedokteran. Pilihannya adalah menyerah.
Di sini hampir sama persis dengan dunia pengajaran agama yang banyak melibatkan ulama, kiai, dan guru. Saat dunia finansial mereka dibuat suram, maka mereka akan sibuk bekerja mencari nafkah buat keluarga, dan pada akhirnya tak lagi punya waktu buat mengajar dan membina umat, apalagi berpikir akan perjuangan menyuarakan kebenaran dengan lantang melawan propaganda kaum menyimpang. Toh faktanya sekarang seperti itu, sudah banyak yang tak bersuara.
Jadi, benteng terakhir sekarang ini untuk melawan kekuatan kepentingan kaum menyimpang adalah para dokter. Jika mereka menyerah, atau bahkan mau menabrak dasar ilmu kedokteran mereka untuk menyatakan bahwa perilaku kaum sesat itu bukan penyimpangan, maka perjuangan telah selesai. Musuh telah menang.
Jadilah bagian dari perjuangan Sabili
Bangun Indonesia dengan Literasi!