Penjilat, tak usah disebut namanya, pemirsa TV dan netizen di Indonesia tahu belaka sosok-sosok penjilat papan atas di jagat politik nasional. Rasanya tak cukup jari di tangan dan kaki untuk menghitung jumlah mereka yang benar-benar teridentifikasi sebagai sosok penjilat. Ya, populasi mereka cukup besar.
Fenomena penjilat dalam politik dan kekuasaan di Indonesia bukanlah barang baru. Dari era kerajaan hingga masa demokrasi modern, praktik menjilat -atau tindakan berlebihan dalam menunjukkan kesetiaan dan dukungan kepada pemimpin atau pejabat berkuasa demi keuntungan pribadi- telah menjadi salah satu cara yang sering digunakan oleh aktor-aktor politik untuk mempertahankan posisi, memperoleh kekuasaan, atau mendapatkan akses ke sumber daya negara. Fenomena ini memiliki dampak besar pada budaya politik Indonesia dan sering kali menciptakan dilema dalam tata kelola pemerintahan.
Penjilat sesungguhnya ada dan hadir disemua bidang kehidupan. Namun, habitat yang paling mencolok dan jumlah populasinya cukup banyak, ada di ekosistem kekuasaan dan politik. Para penjilat di lingkungan ini menampilkan diri mereka secara nyata. Berpenampilan klimis, bahkan memiliki jabatan yang mentereng (tentu bermodal jilatan).
Sudah barang tentu kehadiran para penjilat dalam jumlah besar dan menduduki posisi-posisi penting dalam pemerintahan berdampak buruk pada kualitas penyelenggaraan negara. Beberapa di antaranya adalah:
Pertama, penurunan kualitas kepemimpinan dan kebijakan
Penjilat sering kali mengelilingi pemimpin dengan pujian palsu, menghalangi kritik yang konstruktif. Akibatnya, pemimpin mungkin tidak mendapatkan pandangan yang jujur dan realistis tentang kebijakan yang mereka buat, sehingga kualitas keputusan pun menurun.
Kedua, berkembangnya korupsi dan nepotisme
Fenomena penjilat sering terkait dengan korupsi dan nepotisme, karena individu yang naik ke posisi penting bukan berdasarkan kompetensi, tetapi kedekatan dengan pemimpin. Hal ini dapat merusak integritas pemerintahan dan menurunkan kepercayaan publik.
Ketiga, menghilangan kepercayaan rakyat
Ketika masyarakat melihat bahwa posisi dalam pemerintahan atau akses kepada sumber daya negara lebih didasarkan pada loyalitas pribadi daripada meritokrasi, kepercayaan terhadap institusi negara dapat terkikis.
Tentu saja situasi ini membuat pihak-pihak yang masih waras merasa cemas sekaligus gemas. Orang tanpa kapasitas, bisa melejit. Sementara mereka yang benar-benar memiliki kapasitas justru tak mendapat kepercayaan. Gara-gara penjilat yang merajalela.
Penguasa Bermental Es Krim
Menarik di kulik, mengapa spesies penjilat ini bisa berkembang biak lebih subur di ekosistem kekuasaan dan politik daripada di dunia peternakan, misalnya? Tentu ada banyak penjelasan yang bisa muncul. Tergantung sudut pandang pihak yang ditanya.
Dalam teori ekonomi, suplai barang akan meningkat, jika permintannya tinggi. Ekosistem politik dan kekuasaan mungkin secara natural membutuhkan kehadiran para penjilat. Sehingga pasokan jumlah penjilat di sekitar pusat kekuasaan tak pernah kekurangan stok.
Kekuasaan, khususnya kekuasaan politik mungkin seperti es krim, terlihat segar, lembut, manis dengan sejuta kelezatan yang dijanjikan. Wajar, jika mengundang banyak lidah untuk menjilatnya. Para penjilat ramai-ramai menjulurkan lidah, demi menyesap kenikmatannya.
Semakin intens jilatan, es krim akan melumer, leleh dan mengalir hingga ke tangan-tangan para penjilatnya. Seperti itulah lezatnya kekuasaan terdistribusi dan mengalir di sela jari-jemari para penjilat. Tentu saja dari penguasa berwatak es krim!
Para penguasa berwatak es krim, adalah alasan penting dibalik suplai penjilat yang selalu berlimpah. Ia hanya mendistribusikan kekuasaan pada para penjilat. Penguasa es krim tak kenal istilah kompetensi, tak paham konsep “The right Man on The Right Place”.
Tidak pernah taklim pula, sehingga gak pernah dengar sabda Rasululah Saw, “Apabila suatu urusan diserahkan bukan kepada ahlinya, maka tunggulah terjadinya kiamat (kehancuran).” (HR. Al-Bukhari).
Tak peduli orang tersebut sedang bermasalah dengan hukum, jika rajin menjilat, loyal bongkokan kepadanya, penguasa berkarakter es krim tak segan mengucurinya dengan jabatan. Justru penguasa berwatak es krim akan memanfaatkan kesalahan sang penjilat sebagai sandera dan aset untuk melanggengkan kekuasaannya dalam jangka panjang.
Pemimpin atau penguasa berwatak es krim adalah penguasa lancung. Ia lahir dari kepalsuan, citra positif dibangun dengan buzzer dan aneka sandiwara. Menangguk simpati dan popularitas dari kepura-puraan. Ia sepenuhnya narsistik sejati, hanya cinta diri dan kroni.
Penguasa berwatak es krim hanya memandang kekuasaan sebagai capaian dan kepuasan pribadi. Untuk bersenang-senang. Yang loyal kebagian senang, yang kritis bakal diiris. Ia adalah tumbuhan inang bagi parasit dan para penjilat.
Jika Anda muak dengan polah para penjilat, jangan ambil racun tanaman untuk membasminya. Percuma, selagi batang inangnya masih ada. Agar tuntas, robohkanlah batang inangnya!
Jadilah bagian dari perjuangan Sabili
Bangun Indonesia dengan Literasi!