Suatu siang di ibukota Damaskus, panas matahari terik seperti biasanya. Semilir angin bertiup lembut. Hiruk pikuk kehidupan mulai menggeliat. Masing-masing sibuk dengan aktifitasnya. Tapi di dalam istana khalifah suasanya tak lazim. Sunyi sepi, seakan tak berpenghuni.
“Assalamu’alaikum wahai pemimpin!” tiba-tiba terdengar suara dari sudut istana dengan setengah membentak. “Assalamu’alaikum wahai pelayan” suara lain menimpali, tapi dengan intonasi yang lebih tenang dan teratur. “Assalamu’alaikum wahai pemimpin!” teriak seseorang di sudut lain, membuat seisi ruangan terhenyak. “Cukup. Biarkan Abu Muslim memanggilku demikian. Karena tidak mungkin ia sembarang bicara” jawab khalifah Mu’awiyah bin Abu Sufyan dengan nada rendah. Sontak, seisi istana terkelu.
Abu Muslim Al-Khaulani melanjutkan, “Sesungguhnya kedudukanmu (Mu’awiyah) sama seperti seseorang yang bekerja di sebuah peternakan. Tuannya memberi dia tugas untuk memerah susu dan mencukur bulu hewan ternak. Maka, jika pekerja tadi melakukan pekerjaannya dengan baik, si tuan akan memberinya upah, bahkan memberinya bonus. Akan tetapi jika pekerja tadi berleha-leha bahkan menelantarkan tugasnya, tentu si tuan akan marah dan menghukumnya dengan memotong gajinya”. Seketika khalifah Mu’awiyah Bin Abu Sufyan berkata dengan penuh keinsyafan, “Masya Allah”.
Kisah di atas merupakan cuplikan percakapan antara pejabat pemerintahan dengan level tertinggi kala itu, yaitu jabatan khalifah dengan seorang warga negara biasa. Antara Mu’awiyah bin Abu Sufyan dengan Abu Muslim Al-Khaulani.
Abu Muslim memang warga biasa, tapi kedalaman ilmu dan hikmahnya mampu menyadarkan kembali Khalifah akan hakikat jabatan dan relasi antara pejabat dengan rakyat. Pejabat sejatinya adalah pekerja (pelayan) rakyat. Mereka diberi jabatan dan tunjangan semata-mata untuk memberikan pelayanan prima kepada tuannya, tak lain adalah rakyat.
Namun, saat ini kondisi seakan terbalik. Gila sanjungan, fasilitas mewah, koleksi mobil dan barang kelas atas serta kesemena-menaan menjadi wajah utama dari “pelayan rakyat” hari ini. Rakyat secara sadar atau tidak dipaksa untuk melayani para pejabatnya. Tidak sedikit porsi APBD atau APBN yang dianggarkan untuk membuat nyaman para pejabat. Dengan alasan protokoler, pejabat selalu menjadi prioritas. Padahal fasilitas dan tunjangan yang di dapat oleh para pejabat mayoritasnya bersumber dari pajak, yang dipungut dari "keringat" rakyat. Sungguh nahas.
Belum hilang dalam ingatan publik, bagaimana Hatta, seorang wakil presiden pertama RI tidak mampu membeli sepatu “Bally” yang kala itu merupakan merek terkenal. Hatta harus menabung bertahun-tahu dengan harapan suatu ketika bisa membelinya. Tapi, sampai akhir hayatnya tabungannya tak pernah cukup.
Demikian pula dengan M. Natsir yang kala itu menjabat sebagai perdana menteri, kala bertemu dengan George McTurnan Kahin, guru besar universitas Cornell Amerika Serikat, Natsir memakai jas yang penuh tambalan. Sangat jauh dari kesan mewah, apalagi hedon.
Nampaknya bapak bangsa, H. Agus Salim memahami betul potensi kesemena-menaan para pejabat di republik ini sehingga ia menasihatkan, “Leiden is Lijden, memimpin adalah menderita”. Ya, menderita karena di pundaknya digantungkan hajat jutaan manusia. Karena di pundaknya bangsa ini diarahkan kemana akan berlabuh.
Dalam sistem demokrasi pancasila yang dianut oleh Indonesia, dimana kedaulatan ada di tangan rakyat, sudah seharusnya para pejabat selaku pemangku amanah memahami betul posisinya. Bahwa mereka adalah mandatoris rakyat. Atau dengan kata lain mereka adalah pelayan rakyat dalam institusi negara Indonesia (dalam bahasa umum disebut sebagai abdi negara). Sehingga sebagai pelayan dan abdi, tindak tanduknya haruslah berorientasi kepada kepentingan tuannya. Sehingga tentu segala pikiran, tenaga, waktu dan jiwa ia dedikasikan untuk kesejahteraan dan kemakmuran rakyatnya. Nabi saw bersabda,
“Pemimpin suatu kaum adalah pelayan mereka.” (HR Ibnu Asakir, Abu Nu’aim)
Jadilah bagian dari perjuangan Sabili
Bangun Indonesia dengan Literasi!