William F. O’neil dalam buku ideologi-ideologi pendidikan, memosisikan John Dewey sebagai ilmuwan pendidikan yang langka. Kelangkaan itu terlihat dari pengaruh pemikiran John Dewey dalam bidang pendidikan yang ternyata mampu melahirkan dua ideologi pendidikan yang berbeda sekaligus, yakni progresif kontemporer dan rekonstruksionisme pendidikan.
Para guru dan pendidik umumnya mengenal sosok John Dewey, sebagai pemikir pendidikan. Setidaknya para guru akan bersentuhan dengan pemikiran John Dewey pada saat mereka membahas atau mempraktikkan konsep belajar dari pengalaman. Meski sebenarnya konsep belajar dari pengalaman bukan dia seorang aktor-nya, namun tidak bisa dipungkiri John Dewey-lah yang membuat konsep belajar dari pengalaman memiliki kerangka teoritik dengan basis eksperimen, sehingga bisa digunakan di kelas-kelas formal.
Konsep paling mendasar dalam filsafat Dewey adalah pengalaman. Bagi Dewey, pengalaman merupakan sesuatu yang bersifat personal dan dinamis, dimana terjadi relasi antar individu dalam suatu komunitas tertentu. Menurutnya, tidak ada pengalaman yang bergerak terpisah. Akumulasi dari semua pengalaman itu akan membentuk suatu kompleksitas sistem yang organik. Pemikiran manusia berpangkal dari pengalaman-pengalaman dan menuju pengalaman-pengalaman baru.
Dalam jabaran tentang konsep pengalaman ini, Dewey memiliki pandangan yang sangat menarik. Menurutnya, pengalaman dan subjek yang mengalami adalah suatu kesatuan yang bersifat utuh, tak terpisahkan. Dewey memberi istilah “pemikiran atas pengalaman” pada kasus terpisahnya pengalaman dan yang mengalami. Pandangan ini menjadi titik tolak pemikirannya dalam mengkritisi tujuan filsafat. Menurutnya filsafat mestinya bertujuan memberikan garis-garis pengarahan bagi suatu tindakan di dalam kenyataan hidup. Filsafat tidak boleh tenggelam di dalam pemikiran-pemikiran metafisis yang tidak bermanfaat, sehingga filsafat mampu menjelma sebagai dasar dan fungsi sosial.
Di dalam pemikiran filsafat, pengalaman atau eksperimentalisme yang diyakini Dewey, menjadi pondasi penting bagi gagasan filsafat instrumentalisme yang kemudian di gagasnya. Filsafat instrumentalisme memiliki pandangan dasar bahwa pengetahuan berpangkal dari pengalaman-pengalaman dan bergerak kembali menuju pengalaman.
Pemikiran Pendidikan.
Sesungguhnya kiprah Dewey dalam bidang pendidikan sangatlah luas. Ia berkonstribusi bukan hanya pada aspek filsafat pendidikan. John Dewey selain masuk di ranah filosofis, juga mendobrak praktik pendidikan di sekolah seperti peran guru dan bagaimana memosisikan anak didik di dalam semesta pendidikan.
Pendidikan modern yang dimiliki oleh Amerika Serikat hari ini sesungguhnya adalah kontribusi besar dari pemikiran Dewey. Ia memulai petualangannya dalam merombak sistem pendidikan di Amerika dengan pertama-tama melakukan kritik tajam atas praktik pendidikan di Amerika. John Dewey menilai praktik pendidikan yang sedang berjalan di Amerika ketika itu, sebagai pendidikan tradisional yang bersifat determinatif.
Beberapa ciri yang kemudian diidentifikasi oleh Dewey sebagai corak dari pendidikan tradisional adalah:
Pertama, peran guru yang terlalu dominan di kelas-kelas pendidikan. Dominasi ini kerap diperparah oleh adanya kekerasan pada siswa dan bentuk bentuk indoktrinasi yang dinilai Dewey mematikan nalar.
Kedua, siswa kurang diberi ruang untuk terlibat di dalam sistem pendidikan. Padahal siswa atau peserta didik mestinya yang paling mengerti apa yang mereka butuhkan sebagai siswa.
Berikutnya, atau yang ketiga menurut Dewey, pendidikan tradisional memiliki model kurikulum yang bersifat top-down. Sehingga baik guru maupun siswa seperti menjadi objek dari kurikulum tersebut.
Kritik Dewey atas praktik pendidikan di Amerika ia jawab sendiri dengan model belajar yang partisipatif dan berbasis pada pengalaman. Pikiran Dewey mendapatkan tempat yang semestinya. Pengambil kebijakan di Amerika ketika itu mendukung eksperimen Dewey sehingga model pendidikan yang di gagasnya mampu mengubah budaya dan sistem kemasyarakatan di Amerika.
Seiring dengan suksesnya program nasional Amerika, model belajar yang dikembangkan Dewey dinilai sukses menginspirai perubahan sosial di Amerika. Gagasan pendidikan Dewey pun menjadi kajian banyak kalangan dari berbagai bangsa di dunia.
Aktivis sosial umumnya lebih adaptif terhadap ide-ide Dewey, ketimbang pemerintah di suatu negara. Aktivis lembaga swadaya masyarakat dari berbagai kalangan di dunia umumnya berinteraksi dengan filsafat pendidikan Dewey dalam rangka mengembangkan efektifitas pelatihan yang mereka rancang untuk community development dan capacity building bagi para pekerja sosial. Pendekatan belajar dari pengalaman Dewey ternyata memang lebih efektif dirasakan oleh para aktivis LSM untuk pendidikan atau pelatihan dengan target utama perubahan perilaku.
Pemikiran Demokrasi.
Pemikiran demokrasi Dewey memang tidak bisa lepas dari pandangan-pandangannya tentang pendidikan. Ia bahkan menuliskan sebuah buku yang berjudul Democracy and Education pada tahun 1916 yang merangkum pemikirannya terkait hubungan demokrasi dengan pendidikan.
Dalam pandangannya, demokrasi adalah sebuah keniscayaan bagi terselenggaranya mekanisme pemerintahan yang baik. Dimana partisipasi masyarakat tinggi, pemerintahannya akuntabel, dan transparan. Pemerintahan itu akan menjamin hak-hak dasar masyarakat secara serius, termasuk jaminan bagi adanya pendidikan yang dapat diakses oleh semua rakyat. Gambaran negara seperti itu, dalam pandangan Dewey hanya bisa muncul dalam wujud negara demokratis.
Sementara itu, pendidikan sangat penting dilakukan dalam rangka mendidik masyarakat agar tumbuh tingkat partisipasinya. Nilai-nilai demokrasi universal akan tumbuh dan menjadi sikap, manakala nilai tersebut disampaikan kepada masyarakat melalui jalur pendidikan. Dengan demikian, demokrasi dalam artian nilai (bukan sistem pemerintahan) menurut Dewey mesti tumbuh terlebih dahulu di sekolah-sekolah, sebelum menjadi nilai setiap warga negara yang kemudian menjelma menjadi nilai dalam bernegara.
Pemikiran demokrasi Dewey yang kental dengan semangat kependidikannya terangkum dalam statemennya yang legendaris: “unless freedom of action (is guided) by intelligence, its manifestation is almost sure to result in confusion and disorder” (Dewey, 1935, dalam Wraga, 1998). Statemen ini menunjukkan pandangan Dewey yang memaknai demokrasi tidak sekedar kebebasan dalam bertindak belaka, namun harus dimaknai pula sebagai kebebasan kecerdasan.
Masyarakat demokratis dalam pandangan Dewey setidaknya memiliki ciri sebagai berikut:
Pertama, kemampuan memutuskan masalah berdasarkan kesepakatan bersama. Ciri ini ia sebut dengan popular sovereignity atau kedaulatan rakyat.
Kedua, freedom, prinsip ini dimaknai dengan kebebasan bertindak yang dilandasi oleh kebebasan berpikir.
Ketiga, prinsip equality, adanya kesetaraan antar individu di dalam kelompok.
Demokrasi Indonesia yang belum matang, sehingga kerap kali menunjukkan sikap kalap, menunjukkan satu hal penting jika di lihat dari pandangan Dewey tentang demokrasi, yakni: kebebasan bertindak – yang saat ini telah kita rasakan–belum dibarengi dengan kebebasan berpikir. Wajar jika sering kalap dan berubah menjadi onar, karena tindakannya belum dipikirkan masak-masak.
Jadilah bagian dari perjuangan Sabili
Bangun Indonesia dengan Literasi!