Setiap rakyat menginginkan pemimpin yang ideal. Ideal di sini maksudnya adalah, rakyat masing-masing mempunyai kriteria tertentu yang diharuskan ada dalam diri pemimpin tersebut. Jadi masing-masing orang punya standar ideal tentang seorang pemimpin.
Masalahnya, masing-masing orang punya kapasitas berpikir dan tingkat pendidikan yang berbeda-beda. Semakin tinggi nalar dan tingkat baca (literasi) seseorang, semakin tinggi pula standarnya. Sebaliknya, semakin rendah nalar dan minat baca sebuah masyarakat, semakin rendah pula kriteria seorang pemimpin ideal bagi mereka.
Aneh tetapi fakta, ketika seseorang ditanya kenapa kamu pilih si Fulan, lalu ia menjawab dengan jawaban remeh temeh, semisal karena punya kesamaan hobi atau karena fisik (ganteng, cute, dan sebagainya). Atau karena sekadar suka saja dengan calon pemimpinnya itu, tanpa ada alasan yang logis ilmiah.
Di sinilah terbukti benar Sunnatullah bahwa “Pemimpin itu cerminan rakyatnya”. Jadi, sekuat apa pun kita bercita-cita ingin mengubah politik, pada akhirnya para penguasa politik itu akan selalu memiliki karakter yang sama dengan karakter rakyatnya. Jika rakyatnya baik, jajaran pemerintahannya juga baik. Jika rakyatnya senang ingkar janji, maka begitu pula para pejabatnya. Berikut ini akan kami beri contoh sejarah tentang bagaimana Sunnatullah berlaku, yakni “Pemimpin = Rakyat yang dipimpin”.
Di masa Jahiliyah, Abu Jahal bisa memimpin di Mekkah, karena memang mayoritas rakyat Quraisy saat itu juga seperti Abu Jahal yang Musyrik dan kejam mempersekusi kaum Muslimin, sampai akhirnya kaum Muslimin harus mengungsi (Hijrah). Sebaliknya, di Madinah Nabi bisa leluasa memimpin dengan syariat, karena mayoritas rakyatnya adalah Muslim terbaik (Muhajirin & Anshor), di mana mereka taat kepada Allah dan Rasul-Nya, serta paling sabar menghadapi ujian. Maka, mereka pantas dipimpin oleh seorang Nabi.
Berlanjut ke masa Khulafaur rasyidin, ketika para Sahabat Nabi mendapat pemimpin semisal Abu Bakar dan Umar, karena kualitas mayoritas rakyatnya seperti Utsman dan Ali. Seperti yang dikatakan Ali kepada rakyatnya yang bertanya, “Wahai, Ali. Mengapa zaman Abu Bakar dan Umar lebih baik daripada zamanmu?” Ali menjawab, “Di zaman mereka rakyatnya seperti aku (sahabat Nabi). Di zamanku, rakyatnya seperti kamu”.
Baca juga: Iman di Atas Statistik dan Angka-Angka
Lalu ketika para Sahabat Nabi sudah banyak yang wafat, generasi berganti dan kondisi masyarakat di luar Arab saat itu baru kenal Islam. Belum lagi ditambah masih banyaknya fitnah di antara umat Islam. Maka, mereka mendapat pemimpin seperti Yazid bin Muawiyah, anak muda usia 30-an yang menjadi Khalifah, yang di masanya terjadi pembunuhan cucu Nabi (Husain bin Ali) dan kekacauan lainnya.
Zaman terus berganti, Sunnatullah tetap berlaku. Naik dan turunnya rezim lumrah terjadi. Umat Islam pernah dapat pemimpin setangguh Shalahudin Al-Ayyubi dan Muhammad Al-Fatih, karena mayoritas masyarakatnya juga tangguh-tangguh. Sampai terakhir Kekhalifahan Utsmaniyah tumbang karena masyarakat Islam kala itu ingin merdeka dan bikin negara sendiri-sendiri. Mereka pun masing-masing dipimpin oleh pemimpin yang sesuai kualitas rakyatnya.
Begitu pula yang terjadi di Indonesia. Rakyat Indonesia di awal kemerdekaan mendapat pemimpin orator handal, proklamator, yaitu Bung Karno, karena memang rakyatnya saat itu juga suka berorasi untuk melawan penjajahan. Masa berganti. Rakyat kemudian mendapat pemimpin seperti Soeharto karena mayoritas rakyatnya saat itu anti dan benci PKI, sampai PKI dengan mudah ditumpas rakyat dengan satu komando Soeharto.
Setelah 32 tahun Soeharto berkuasa dengan absolut seperti seorang raja, rakyat ingin perubahan. Maka terjadilah Reformasi yang diinisiasi oleh kaum terdidik intelektual serta mahasiswa. Maka saat Soeharto lengser, rakyat mendapat ganti pemimpin secerdas Habibie. Sebab, masyarakat reformis kala itu adalah masyarakat yang sudah mulai cerdas terdidik.
Begitulah. Perubahan politik memang idealnya dilakukan dari rakyat. Sebab, kalau rakyatnya baik, akan lahir pejabat yang baik, pemilihan pemimpin yang adil. Dan tentunya dari rakyat yang baik akan lahir pula pemimpin yang baik.
Wallahu a'lam bishowab.
Jadilah bagian dari perjuangan Sabili
Bangun Indonesia dengan Literasi!