Pemahaman terhadap Al Qur'an telah menjadi pusat kajian umat Islam sepanjang sejarah. Berbagai metode telah dikembangkan oleh ulama klasik dan modern untuk menggali makna dan pesan dari kitab suci ini. Kali ini, kita akan membahas metode pemahaman Al Qur'an dengan menyitir karya-karya ulama klasik dan modern, serta relevansinya dalam konteks kontemporer.
Metode Pemahaman Ulama Klasik
Ulama klasik memiliki beberapa pendekatan utama dalam memahami Al Qur'an. Salah satunya adalah metode tafsir bi al-ma’thur (tafsir berdasarkan riwayat). Metode ini mengandalkan penafsiran Al Qur'an dengan Al Qur'an sendiri, hadits Nabi, serta pendapat sahabat dan tabi'in. Imam al-Tabari (838-923 M) adalah salah satu tokoh terkemuka yang menggunakan metode ini dalam karyanya “Jami' al-Bayan fi Tafsir Al Qur'an”. Al-Tabari sangat menekankan penggunaan riwayat yang sahih untuk menjelaskan ayat-ayat Al Qur'an, memberikan otoritas yang kuat pada tafsirnya.
Metode lainnya adalah tafsir bi al-ra’y (tafsir berdasarkan penalaran). Metode ini lebih banyak mengandalkan ijtihad dan akal. Imam Fakhruddin al-Razi (1149-1209 M) menggunakan pendekatan ini dalam karyanya “Mafatih al-Ghayb” atau dikenal sebagai “Tafsir al-Kabir”. Al-Razi sering kali menggabungkan ilmu kalam, filsafat, dan sains dalam tafsirnya, menunjukkan keterbukaan terhadap berbagai disiplin ilmu dalam memahami teks Al Qur'an.
Metode Pemahaman Ulama Modern
Di era modern, ulama dan cendekiawan Muslim terus mengembangkan metode baru yang relevan dengan tantangan zaman. Muhammad Abduh (1849-1905 M) dan muridnya, Rashid Rida (1865-1935 M), dalam tafsir “al-Manar”, mencoba menghidupkan kembali semangat ijtihad serta menerapkan penafsiran yang lebih rasional dan kontekstual. Mereka menekankan pentingnya memahami Al Qur'an sesuai dengan konteks sosial dan historis serta tantangan kontemporer yang dihadapi umat Islam.
Fazlur Rahman (1919-1988 M), seorang cendekiawan Muslim asal Pakistan, juga memberikan kontribusi besar dengan metode “double movement”. Di dalam bukunya, “Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition”, Rahman menekankan bahwa pemahaman Al Qur'an harus dimulai dari konteks historis turunnya wahyu, lalu beranjak ke prinsip-prinsip moral yang universal, dan kemudian kembali ke konteks masa kini untuk menerapkan prinsip-prinsip tersebut.
Baca juga: Emomali Rahmon, “Presiden Seumur Hidup Tajikistan” Ahli Waris Sekularisme
Pendekatan Kontekstual dan Kontemporer
Cendekiawan kontemporer semisal Abdullah Saeed dalam karyanya “Interpreting the Qur'an: Towards a Contemporary Approach” menganjurkan pendekatan kontekstual dalam memahami Al Qur'an. Pendekatan ini menekankan pentingnya memahami latar belakang historis, sosial, dan budaya saat turunnya wahyu, serta menerapkannya secara relevan pada isu-isu modern.
Salah satu contoh cendekiawan modern adalah Tariq Ramadan. Di dalam berbagai karyanya semisal “The Messenger: The Meanings of the Life of Muhammad”, Ramadan menekankan pentingnya memahami Al Qur'an dan kehidupan Nabi Muhammad saw dalam konteks etika dan moral yang relevan untuk dunia modern. Pendekatannya mengedepankan dialog dan koeksistensi antar umat beragama, serta pentingnya pembaruan pemahaman Islam yang tetap berakar pada nilai-nilai inti Al Qur'an.
Khotimah
Metode pemahaman Al Qur'an telah berkembang dari era klasik hingga modern. Hal itu mencerminkan dinamika intelektual umat Islam dalam memahami teks suci ini.
Ulama klasik semisal al-Tabari dan al-Razi menekankan pentingnya riwayat dan penalaran, sementara cendekiawan modern semisal Muhammad Abduh, Fazlur Rahman, dan Tariq Ramadan menawarkan pendekatan yang lebih kontekstual dan relevan dengan tantangan masa kini. Dengan memahami berbagai metode ini, umat Islam dapat menggali makna Al-Qur'an secara lebih mendalam dan aplikatif, menjadikannya sebagai petunjuk yang hidup dalam kehidupan sehari-hari.
Nah, apakah Anda mempunyai pengetahuan tentang metode lain dan atau berbeda?
Jadilah bagian dari perjuangan Sabili
Bangun Indonesia dengan Literasi!