Mantan Perdana Menteri Israel, Ehud Barak, pada Ahad (15/12/2024), menyatakan, pemerintahan Benjamin Netanyahu - saat ini - sedang menyeret Israel menuju kudeta paksa akibat pembantaian Palestina. Dia pun memeringatkan dampak berbahaya bagi demokrasi Negara Israel.
Pernyataan Ehud Barak disampaikan melalui wawancara dengan salah satu pejabat The Israeli Public Broadcasting Corporation (IPBC). Mantan Menteri Luar Negeri Israel itu mengritik keras upaya pemerintah yang melakukan perubahan komposisi panitia penunjukan hakim. Di sisi lain, Netanyahu menerima kritikan keras atas upaya melakukan pemecatan Jaksa Agung, Gali Beharav Miara. Hal itu akan menggerogoti demokrasi di negara Israel dari dalam.
“Seharusnya sistem demokrasi mampu memertahankan diri dari pihak-pihak yang mengeksploitasi kebebasan - untuk melemahkan kekuasaan. Tindakan ini yang pemerintah sedang lakukan,” ujar Barak.
Wacana “Reformasi Peradilan”
Pernyataan-pernyataan tersebut muncul saat meningkatnya kekhawatiran mengenai pemberlakuan kembali rencana “reformasi peradilan” yang kontroversial. Yaitu membatasi kekuasaan Yudikatif dan hanya mendukung lembaga Legislatif dan Eksekutif.
Surat kabar Israel, Maariv, pada Ahad (15/12/2024) melaporkan, Netanyahu berdiskusi dengan para pemimpin koalisi pemerintah terkait proposal untuk mengubah komposisi komite pengangkatan hakim, sehingga memberikan kuasa yang lebih kepada politisi dalam proses pengangkatan hakim. Pertemuan tersebut membahas permintaan Menteri Pertahanan Nasional ekstremis, Itamar Ben Gvir, untuk memberhentikan Jaksa Agung, Miara, yang telah mendapat kritik keras dari kelompok ekstrem kanan, karena berulang kali menentang arahan pemerintah, dan menuduh dia menghalangi jalannya pemerintahan.
Kebijakan Berdasarkan “Pandangan Kiri”
Pekan lalu, Knesset (Parlemen Israel) menyetujui proposal pemecatan Miara dalam sesi pemungutan suara yang diboikot oleh pihak oposisi.
Sejak awal tahun 2023, Israel telah menghadapi protes luas terkait rencana “reformasi peradilan”, yang dianggap oleh lawan-lawannya sebagai “sikap otoriter”. Sedangkan pemerintah Israel menggambarkan hal itu sebagai cara untuk memulihkan keseimbangan di antara ketiga otoritas tersebut (legislatif, eksekutif, yudikatif).
Dengan pecahnya perang di Gaza, kritik semakin kuat bahwa pemerintah menggunakan krisis keamanan untuk melaksanakan agenda politik internalnya. Dan penjajah Israel semakin terpecah belah.
(Sumber: Al Jazeera Mubasher)
Jadilah bagian dari perjuangan Sabili
Bangun Indonesia dengan Literasi!