Di dalam suatu struktur masyarakat sosio-politik (an-naas) perbedaan atau perselisihan (ikhtilaaf) dalam pemahaman dan sikap terhadap masalah-masalah sosial dan politik adalah suatu keniscayaan. Segala perbedaan yang terjadi itu hanya dapat diselesaikan dengan pedoman yang bersifat valid yang bersumber dari Yang Maha Menciptakan dan Maha Mengatur segala urusan.
“Sesungguhnya Rabb kalian adalah Allah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, kemudian Dia bersemayam di atas ʻArasy (seraya) mengatur segala urusan. Tidak ada seorang pun pemberi syafaat, kecuali setelah (mendapat) izin-Nya. Itulah Allah, Rabb kalian. Maka, mengabdilah (ibadah) kepada-Nya! Apakah kamu tidak mengambil pelajaran?” – QS. Yunus:3
“Apa pun yang kamu perselisihkan, keputusannya (hukumnya terserah) kepada Allah. (Yang memiliki sifat-sifat demikian) itulah Allah Rabb-ku. Hanya kepada-Nya aku bertawakal dan hanya kepada-Nya aku kembali.” – QS. Asy Syura:10
“Manusia (an-naas) itu (dahulunya) ummat yang satu. (Setelah timbul perselisihan,) lalu Allah mengutus para nabi (untuk) menyampaikan kabar gembira dan peringatan. Allah menurunkan bersama mereka Kitab yang mengandung kebenaran untuk memberi keputusan di antara manusia tentang perkara yang mereka perselisihkan. Tidak ada yang berselisih tentangnya, kecuali orang-orang yang telah diberi (Kitab) setelah bukti-bukti yang nyata sampai kepada mereka, karena kedengkian di antara mereka sendiri. Maka, dengan kehendak-Nya, Allah memberi petunjuk kepada mereka yang beriman tentang kebenaran yang mereka perselisihkan. Allah memberi petunjuk kepada siapa yang Dia kehendaki ke jalan yang lurus (berdasarkan kesiapannya untuk menerima petunjuk).” – QS. Al Baqarah:213
Di dalam struktur sosio-politik, mekanisme penyelesaian perselisihan tersebut ditempuh melalui hakim (pemutus hukum), yang dalam sistem (ad-dien) al-Islam merupakan kewenangan ulil-amri (yang memiliki legalitas memegang urusan Masyarakat atau umat = pemerintah Islam). Maka, ulil-amri-lah yang akan memutuskan apakah perbedaan-perbedaan itu dibolehkan (ditolerir) dalam batasan-batasan tertentu atau tidak.
Lihat misalnya:
- QS. Sad:26, Dawud sebagai Rasul/Khalifah (eksekutif) memutuskan hukum di antara an-naas.
- QS. An Nisa:83, Masalah yang menyangkut al-amn dan al-khauf (yang berpotensi atau berakibat terhadap keamanan dan kecemasan/ketakutan di dalam masyarakat), istinbath hukumnya (official) diserahkan kepada Rasul dan Ulil Amri.
Kapasitas ulil-amri dalam hal ini haruslah 'alim (faqih) dalam memahami Kitabullah dan berkedudukan di dalam majelis para ‘alim (‘ulama). Sebab, yang benar-benar khasyyah kepada Allah hanyalah ‘ulama (QS. Fatir:28)
“Dan di antara an-naas, dan makhluk bergerak yang bernyawa, dan hewan-hewan ternak, ada yang bermacam-macam warnanya/jenisnya. Di antara hamba-hamba Allah yang takut kepada-Nya, hanyalah al-’ulama. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Pengampun. – QS. Al Furqan:38
Dan haruslah memenuhi kriteria seperti yang dicantumkan dalam QS. Asy Syura:37-39, yaitu:
- Menjauhi dosa-dosa besar dan perbuatan fahisyah
- Memiliki kecerdasan emosional (pemaaf)
- Bersegera memenuhi perintah-perintah Allah, termasuk penegakan shalat (penegakan tiang ad-dien)
- Urusan-urusan diputuskan dengan musyawarah (syura bainahum)
- Menginfakkan rezeki yang mereka peroleh
- Dapat memertahankan/membela (istanshoro) hasil keputusan syuro (mufakat) terhadap pembangkangan/penolakan (al-baghy).
Selama sistem dan mekanisme ini tidak terpenuhi, maka niscaya akan ditemukan semakin banyak ikhtilaaf, bahkan perbedaan/perselisihan yang menyimpang dari syariat akan menjadi pilihan-pilihan (selera) hukum bagi masyarakat dalam suatu struktur sosio-politik (an-naas).
Wallahu a'lam bishawwab.
Jadilah bagian dari perjuangan Sabili
Bangun Indonesia dengan Literasi!