Para tokoh nasional yang terhimpun dalam Gerakan Kembali ke UUD 1945 Asli (G-45) menggelar konferensi pers di Jakarta, Rabu (6/12/2023). Gerakan tersebut menuntut agar bangsa ini segera kembali kepada UUD 1945 asli.
Presidium G-45, Din Syamsuddin, menilai, sejak menggunakan UUD 2002 atau UUD 1945 yang diamandemen kali keempat kali, bangsa ini telah meninggalkan nilai-nilai luhur yang terkandung dalam Pancasila. Dampaknya antara lain adalah kian suburnya praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN).
“Sejak Masa Reformasi, diubahnya UUD 1945 Asli (diberlakukannya UUD 2002) yang membuka jalan bagi liberalisasi politik dan ekonomi, praktik KKN (korupsi, kolusi, dan nepotisme) tidak hilang tetapi semakin subur dan merajalela. Praktik KKN menyebar ke daerah dan bahkan di sekitar pusat kekuasaan,” katanya.
G-45 menyoroti, sejak Masa Reformasi telah terjadi kasus-kasus korupsi besar yang merugikan negara hingga triliunan rupiah. Misalnya Kasus Bank Century dan Kasus Hambalang. Apalagi, pada Rezim Pemerintahan di bawah kepemimpinan Presiden Joko Widodo, praktik korupsi merajalela hingga ke daerah-daerah. Ditunjukkan dengan terlibat dan terjeratnya sejumlah gubernur dan bupati/walikota.
“Memprihatinkan adalah dugaan tindak pidana korupsi terjadi di sekitar pusat kekuasaan. Yang paling akhir, berkembang dugaan korupsi di Kemenkominfo, Kementan, e-KTP, BTS. Nestapanya, praktik korupsi dalam bentuk tuduhan pemerasan melibatkan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi itu sendiri,” tuturnya.
Baca Juga : Din Syamsuddin: Kembali Ke Undang-undang Dasar 1945 Asli Adalah Solusi
G-45 juga menilai bahwa kondisi korupsi di Indonesia sudah demikian memprihatinkan. “Korupsi di Indonesia telah menjadi State Captured Corruption, yakni dilakukan oleh negara itu sendiri. Hal ini dimungkinkan karena sistem ketatanegaraan Indonesia yang berubah membuka peluang bagi munculnya oligarki politik dan oligarki ekonomi yang terlibat dalam persekongkolan jahat. Keadaan demikian membuat politik Indonesia menjadi politik berbiaya tinggi (high cost politics), yang menyebabkan seseorang pejabat legislatif maupun eksekutif tampil karena sponsorship sehingga pada akhirnya dia harus ‘membalas budi’ dengan memberi konsesi tertentu,” urai Dien.
Menurut dia, saat ini demokrasi konstitusional di Indonesia telah berkembang ke arah liberal dan liar. Hal itu memunculkan kalangan yang mereka sebut “kaum kleptokrat”.
“Demokrasi konstitusional bersifat liberal dan liar, sehingga memberikan jalan lahirnya kleptokrasi dan politik dinasti yang mengkhianati cita-cita reformasi. Dengan kekuasaan yang terpusat dan rekruitmen politik yang dipengaruhi eksekutif, serta didukung oleh produk hukum/perundang-undangan yang dikendalikan oleh eksekutif, kalangan eksekutif dapat menguasai aset negara. Maka, tidak mengherankan jika ada pejabat yang ikut berbisnis dan menguasai aset negara (kaum kleptokrat). Itu semua disebabkan tidak efektifnya pengawasan dari lembaga perwakilan, dan tiadanya pertanggung jawaban Presiden kepada rakyat melalui Majelis Permusyawaratan Rakyat,” jelasnya.
Menurut G-45, sistem politik dan ketatanegaraan Indonesia hasil produk UUD 2002 rentan dan telah memunculkan kekuasaan politik yang cenderung mengakumulasi kekuasaan dan melanggengkan kekuasaan. Baik untuk berkuasa lagi maupun demi mewariskan kekuasaan kepada kroni atau famili. Sistem itu juga cenderung menciptakan kediktatoran konstitusional (constitutional dictatorship), yaitu dengan merekayasa hukum bagi kepentingan dirinya dan kroninya.
“Hal demikian disebabkan oleh adanya legitimasi semu, dan budaya politik memiting lawan (muzzling approach), seperti penyanderaan terhadap elit politik sehingga partai politik tidak berdaya dalam mengambil keputusan politik strategis. Hal ini ditambah dengan tiadanya pertanggung jawaban Presiden kepada lembaga tertinggi negara/MPR, maka seorang Presiden bertindak semena-mena dan menyalah gunakan jabatan. Akhirnya kedaulatan rakyat runtuh dan demokrasi tercabik-cabik,” katanya.
Baca Juga : Novel Baswedan: Korupsi Adalah Pengkhianatan kepada Negara
G-45 adalah gerakan moral yang digawangi sejumlah tokoh nasional, di antaranya Nurhayati Assegaf, ekonom Anthony Budiawan, M. Hatta Taliwang, dan beberapa aktivis lainnya. Mereka menyatakan, kondisinya saat ini sangat mendesak, agar bangsa ini kembali kepada rumusan awal pendiri bangsa yang tertuang dalam UUD 1945 asli.
“Saatnya untuk dilakukan penyelamatan Indonesia dengan Kembali ke UUD 1945 Asli. UUD 1945 Asli menjamin kedaulatan berada di tangan rakyat, yaitu melalui MPR sebagai lembaga tertinggi negara, sehingga tidak memberi peluang terjadinya pembajakan negara (state capture) dan kepemimpinannya oleh oligarki dan atau oleh keserakahan, egoisme, dan nepotisme,” ucapnya.
Dien pun menegaskan perlunya mengembalikan kembali peran MPR sesuai UUD 1945 Asli. “Kepemimpinan MPR sebagai lembaga tertinggi negara itu dengan keanggotaan yang meliputi juga Utusan Golongan dan Utusan Daerah meniscayakan lahirnya demokrasi berdasarkan musyawarah mufakat dan hikmat kebijaksanaan sebagaimana amanat Pancasila. Dengan semua kewenangan otoritatif yang dimiliki MPR sebagai lembaga tertinggi negara itu, maka korupsi, kolusi, dan nepotisme, tidak akan berkembang liar dan tidak tertangani. Karena setiap pelanggaran etik dan hukum yang mengancam Indonesia bisa diatasi dan dikoreksi dengan mudah,” pungkasnya.
Jadilah bagian dari perjuangan Sabili
Bangun Indonesia dengan Literasi!