Muhammad Al-Fatih, Saifuddin Qutuz, Diponegoro. Tentu kita mengenal ketiga nama tersebut. Nama mereka agung.
Jika kita sebutkan nama pertama di hadapan para pimpinan keuskupan Vatikan di Romawi Barat, pasti tatapan mata mereka menaruh cemas dan hati mereka pasti terhentak. Sebab, pemilik nama itulah yang melumpuhkan hegemoni “Romawi Timur”, dan memaksa mereka beratus tahun sulit untuk menandingi, juga menyebarkan misi mereka di belahan bumi.
Jika kita sebut nama kedua kepada bangsa Mongolia saat ini, tentu kepedihan dan kegetiran yang akan mereka rasakan. Sebab, nama itulah yang menenggelamkan adidaya dan kejamnya peradaban emas Mongolia dahulu.
Untuk nama ketiga, jika kita sampaikan pada forum-forum mimbar, pada penduduk bumi hari ini, tentu rakyat Indonesia akan menaruh bangga, sementara di belahan bumi lain – khususnya Belanda – akan terlampau banyak kenangan buruk yang membekas oleh sebab kegagahannya, ketangguhannya, komitmennya, kecerdasannya, keluhurannya, yang semuanya membuat Belanda kala itu mengalami kegoncangan. Bukan hanya dari sisi peradaban, tetapi juga keuangan, situasi politik, dan banyak lagi.
Namun, tulisan ini bukan berfokus pada dampak yang hadir dari tiga nama besar di atas. Tetapi pada peradaban yang terbangun. Sebab, dampak yang besar tentu hadir dari sebab yang dahsyat dan kematangan persiapan oleh ketiga nama tersebut.
Tariq Ramadhan dalam buku-bukunya dan banyak mimbar intelektual sangat fokus menyoroti mengapa peradaban Islam saat ini terkesan stagnan. Hipotesis Tariq Ramadhan mengatakan, umat ini terjebak pada teks dan belum menuju konteks. Sederhananya, sebagian individu muslim masih menyembunyikan kedahsyatan dan kenikmatan ayat-ayat Al Qur'an hanya untuk dirinya saja. Sehingga, pada sisi praktikal hanya terhenti di diri individu tersebut.
Sementara, tiga nama dahsyat di atas senantiasa menghadirkan nilai-nilai Al Qur'an bukan hanya untuk pribadi. Namun juga disampaikan melalui perbuatan, ucapan, kepribadian. Sehingga, masyarakat umum dengan tangan terbuka menerima Islam secara Syumul.
Baca juga: Ketika Ingatan Umat Islam pada Keagungan Peradaban Islam Dihapus
Sumbangsih yang ditinggalkan oleh Al-Fatih, Saifuddin Qutuz, dan Diponegoro untuk umat ini berawal dari perubahan kecil yang mereka persiapkan terlebih dahulu. Untuk itu, mari kita selami persiapan-persiapan orang besar sebelum mereka mengubah kaumnya.
Pertama, meyakini betul bahwa Al Qur'an ini tidak ada keraguan di dalamnya. Sebagaimana Allah berfirman,
“Kitab (Al Qur’an) ini tidak ada keraguan padanya” – QS. Al-Baqarah:2
Syarat pertama ini menjadi mutlak. Sebab, inilah yang menjadi pembuka seorang Hamba untuk menuju keagungan di dunia juga akhirat. Ini juga menjadi keyakinan orang-orang besar dalam catatan sejarah peradaban Islam.
Kedua, melaksanakan Risalah 'Udzma (misi agung). Ada seorang makhluk yang Allah gambarkan dalam salah satu ayat, Dhaifan. Sebagaimana Allah berfirman,
“Dan manusia dijadikan bersifat lemah” – QS. An-Nisa:28
Namun, Allah juga sampaikan di ayat yang sama, bahwa kita diberikan pula kemudahan untuk menutupi kelemahan-kelemahan yang kita miliki sebagai Al-Insan Dhaifan. Di antara jalan untuk menutupi kelemahan-kelemahan seorang makhluk itu adalah mentadaburi sekaligus menjalankan misi agung seorang hamba di dunia. Sebagaimana Allah berfirman,
“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku” – QS. Az-zariyat:56
Ketiga, Istiqomah di jalan-jalan kebaikan. Apa yang menjadi sebab baginda Rasulullah cepat beruban, di antaranya ketika turun ayat perintah untuk istiqamah pada jalan yang lurus?
Baca juga: Tujuh Hak Pekerja dalam Islam
Ibnu ‘Abbâs Radhiyallahu anhuma berkata:
“Tidaklah ada satu ayat pun yang diturunkan kepada Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang lebih berat dan lebih susah daripada ayat ini. Oleh karena itu, ketika beliau ditanya, ‘Betapa cepat engkau beruban’, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada sahabatnya, ‘Yang telah membuatku beruban adalah surat Hûd dan surat-surat semisalnya”.
Kabar baiknya, ketika seorang hamba kemudian dengan sekuat tenaga, pikiran dan semua kemampuan nya untuk tetap istiqamah dalam jalan-jalan kebaikan, Allah menjamin hamba tersebut dengan effect combo (kebaikan di dunia dan kekekalan di akhirat). Allah berfirman,
“Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: ‘Tuhan kami ialah Allah’, kemudian mereka tetap istiqamah, maka tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan mereka tiada (pula) berduka cita” – QS. Al-Ahqaf:13
“Mereka itulah penghuni-penghuni surga, mereka kekal di dalamnya; sebagai balasan atas apa yang telah mereka kerjakan” – QS. Al-Ahqaf:14
Keempat, perubahan itu dimulai dari diri sendiri kemudian ke kaumnya. Budaya keizen nippon (budaya yang menjadi cara orang Jepang melawan kemalasan) atau referensi buku Atomic Habits atau Ikigai. Budaya dan referensi bacaan yang menuntun seseorang kepada kesimpulan jika manusia sebagai individu atau kelompok ingin membuat sebuah pencapaian yang besar, ia harus dimulai dari perbaikan-perbaikan kecil, kemudian meningkat, dan berlangsung secara kontinu.
Baca juga: Delapan Hal yang Tak Bisa Diminta di Surga
Tetapi, sebelum budaya itu muncul, atau lahir suatu pemikiran dan gagasan dari penulis buku Atomic Habbits, Allah telah memberikan kita pelajaran dari satu ayat di dalam Al Qur'an.
“Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri” – QS. Ar'd:11
Maha benar Allah dengan segala firman-Nya.
Setelah keempat syarat itu terlaksana, maka kunci berikutnya adalah terus berikhtiar secara konsisten. Tentang hasil, ada dua kemungkinan. Pertama, tertunda akan tetapi harus diyakini secara utuh bahwa janji Allah itu pasti ditunaikan, sebagaimana salah stu kaidah yang berbunyi:
"Di waktu yang pas menurut-Nya, bukan waktu yang pas menurut kita"
Kedua, Allah akan memberikan ganjaran yang melebihi ekspektasi kita. Allah berfirman:
“Dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya” – QS. An-Najm:39
“Dan bahwasanya usaha itu kelak akan diperlihatkan (kepadanya)” – QS. An-Najm:40
“Kemudian akan diberi balasan kepadanya dengan balasan yang paling sempurna” – QS. An-Najm:41
Wallahu a’lam bishawab.
Jadilah bagian dari perjuangan Sabili
Bangun Indonesia dengan Literasi!