Calon anggota legislatif (Caleg) yang gagal memperoleh kursi DPRD atau pun DPR RI dilaporkan banyak yang mengalami stres dan bahkan gangguan jiwa. Caleg stres seakan menjadi fenomena lima tahunan yang kerap mengiringi pesta demokrasi di Indonesia. Utamanya setelah hasil quick count dirilis oleh berbagai lembaga survei.
Mengutip harian Disway, RSUD Tamansari Jakarta Barat menerima 40 Caleg mendaftar dalam perawatan jiwa, sehari setelah Pemilu usai. Sementara itu di Lamongan, tiga orang Caleg dilaporkan mendatangi Yayasan Berkas Bersinar Abadi yang biasa merehabilitasi orang dalam gangguan jiwa (ODGJ), sebagaimana dilansir oleh Kompas.com. Beberapa orang dengan perilaku aneh menjadi berita viral di media sosial dengan narasi stres karena gagal jadi anggota dewan. Berita tersebut muncul di banyak daerah di tanah air.
Caleg gagal, sampai perlu mendatangi pusat rehabilitasi kesehatan mental, mungkin mengalami stres yang berat. Caleg lain yang juga gagal sudah barang tentu mengalami stres pula, tetapi tak parah. Mungkin masih cukup kuat mental dan tabungan, sehingga tetap mampu mengendalikan diri.
Bagi orang-orang yang tidak terlalu tertarik untuk berkarir sebagai politisi dan anggota dewan, serta tak terlalu berminat mengikuti info tentang intrik yang terjadi dalam proses Pemilu, fenomena Caleg stres tentu saja agak aneh. Bagaimana mungkin setelah ikut berpartisipasi dalam sebuah pesta besar kok malah stres? Lazimnya orang habis ikut pesta kan riang gembira.
Beberapa kalangan bahkan dengan sinis berkomentar, “Gagal menjadi Wakil Rakyat kok malah stres, harusnya gembira, karena menjadi Wakil Rakyat itu amanah besar, berat, dan tidak mudah pula. Banyak orang yang kapok menjadi RT atau RW karena beratnya amanah tersebut. Lah ini, gagal jadi anggota dewan malah stres?”
Tentu saja jabatan anggota dewan tak bisa disamakan dengan jabatan RT atau RW, meski sama-sama mengemban amanah untuk mengurusi orang. Jabatan RT-RW tidak ada gajinya yang pasti. Mungkin hanya DKI Jakarta yang memberi honor kepada pejabat RT-RW secara jelas dan teratur, itu pun sebenarnya nilainya tak sebanding dengan mumet-nya menjadi RT-RW di Jakarta.
Baca juga: Tumbal Pencalonan Gibran: Akankah Sebanding?
Sementara anggota DPR RI minimal bisa mengantongi 52 juta Rupiah per bulan. Belum lagi jika mereka menjabat sebagai ketua DPR, ketua fraksi, angkanya bisa bertambah. Kedudukan sebagai anggota DPR juga sangat menguntungkan secara sosial, ekonomi (baca: pendapatan), politik, jaringan, dan akses.
Menyimak hal itu, siapa sih yang tidak ngiler? Menjadi wakil rakyat memang amanah yang berat, tetapi gajinya yang besar bisa meringankan banyak persoalan hidup. Belum lagi hak-hak istimewa yang dimiliki oleh seorang anggota legislatif atas jaminan Undang-undang, itu semua bisa melambungkan seorang Caleg menjadi manusia setengah dewa, meminjam istilah musisi Iwan Fals.
Nah, tetapi itu semua tak mudah. Memang tak perlu ijazah S1 dengan predikat summa cumlaude, bahkan cukup berbekal lulus SMA atau yang sederajat, seseorang sudah boleh bermimpi menjadi anggota dewan.
Sisi tidak mudahnya ada pada beberapa aspek. Pertama, tentu harus dapat tiket untuk menjadi Caleg, berupa dukungan atau penunjukan oleh partai politik. Kedua, jika pun mendapat tiket dari partai politik, Caleg harus melobi pihak partai agar dicalonkan di nomor urut atas, kalau bisa nomor 1. Ketiga, untuk mengenalkan diri kepada masyarakat, Caleg harus keluar modal untuk membuat aneka alat kampanye, menggandeng ahli strategi, dan lain-lain. Keempat, untuk meraih dukungan yang lebih serius, Caleg juga perlu bagi-bagi sembako, membantu masyarakat membuat jalan atau rumah ibadah, dan lain sebagainya.
Intinya, untuk mendapatkan kursi DPR baik pusat maupun daerah, perlu biaya yang besar. Caleg harus siap dengan risiko menyediakan ongkos ini semua.
Mengutip rilis dari Prajna Research Indonesia (PRI), untuk lolos menjadi anggota DPR, rata-rata Caleg harus menyiapkan dana sebesar 1 – 2 miliar Rupiah. Bahkan ada yang mencapai lebih dari 5 miliar Rupiah. Untuk anggota DPRD provinsi, butuh modal di kisaran 500 juta – 1 miliar Rupiah. Sementara untuk DPRD Kabupaten/Kota, perlu biaya antara 250 juta hingga 500 juta Rupiah.
Baca juga: Bahasa Cinta dari Yang Maha Cinta
Dari mana itu semua diperoleh? Ada banyak cara. Umumnya menggadaikan aset, pinjam modal atau hutang, adanya sponsor dengan kompensasi tertentu. Entah karena terlalu nafsu atau terlalu percaya diri, banyak Caleg yang modalnya pas-pasan berani pinjam modal ke pihak lain atau menggadaikan aset terpenting mereka. Ndilalah, hasil pungutan suara tak seperti yang mereka harapkan. Hutang segede gunung, kendaraan sudah tergadai, rumah bahkan telah terjual. Kehilangan materi dalam jumlah yang sangat besar, hasil kerja bertahun-tahun, hutang menggunung pula.
Siapa yang tidak stres? Rasa stres semakin besar ketika menyadari pihak-pihak yang dikucuri dana ternyata tak memilih dirinya. Dana diambil tetapi nyoblos orang lain. Akumulasi stres, seperti tertindih jutaan metrik ton beban yang bikin lumer isi kepala dan isi hati, duh Gusti.. tak ada lagi yang tersisa.
Memanfaatkan Puasa Ramadan untuk Bangkit
Sesungguhnya selalu ada Allah. Saat banyak Caleg gagal yang berpikir tak ada lagi yang tersisa, silakan kumpulkan sisa-sisa ingatan kepada Allah, dan yakinlah di sana akan ada jalan untuk memulai segala sesuatunya. Lepas dari semua kebuntuan.
“Dan milik Allah-lah apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi, dan hanya kepada Allah segala urusan dikembalikan.” – Q.S. Ali Imran:109
Saat konsultasi pada ahli psikologi belum juga menyembuhkan luka-luka mental dan sosial, saat stres masih bisa ditahan namun luka batin akibat kegagalan masih begitu perih di kantong dan di hati, saat kepala kita tak lagi bisa setegak dulu, maka inilah saat yang tepat untuk benar-benar tunduk lebih dalam hanya kepada Allah. Bukan kepada sesama manusia.
Kiranya panggilan Ramadan dapat menjernihkan kembali ingatan kita bahwa masih ada Allah tempat mengadu yang hakiki. “Hanya kepada Engkaulah kami menyembah dan hanya kepada Engkaulah kami memohon pertolongan. Bimbinglah kami ke jalan yang lurus, (yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat, bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) orang-orang yang sesat.”
Baca juga: Warisan Peradaban Dunia Ikut Hancur oleh Kebengisan Penjajah Israel
Puasa Ramadan adalah sarana untuk “menertibkan” betapa liarnya nafsu kita. Padahal, keterpurukan adalah hasil yang pasti akan kita tuai, manakala nafsu terlalu kita perturutkan.
Syahwat politik dan nafsu berkuasa yang terlalu kita perturutkan, sehingga menomor sekiankan orientasi ruhiah dalam mengambil peran sebagai politisi, akan mengantarkan kita pada keterpurukan. Jika kita lolos sebagai anggota dewan, namun kehilangan orientasi ruhiah dan ilahiah, maka keterpurukan yang lebih buruk bisa mengintai Anda, kapan pun dan di mana pun. Jika kita gagal atau tidak lolos, maka kegagalan itu bisa menghancurkan kita dalam putus asa dan stres, akibat berkontestasi dalam Pileg dengan mengabaikan nilai ruhiah dan ilahiah.
Puasa adalah jendela hening yang akan mengantarkan kita pada jembarnya rahmat dan kasih sayang Allah. Masih ada hamparan padang pengharapan dalam naungan ridho dan ampunan-Nya.
Manfaatkanlah puasa Ramadan untuk langsung berkonsultasi kepada Raja yang Maha Memulihkan, Maha Menyembuhkan, dan Maha Mengembalikan melalui sujud dalam shalat wajib dan sunnah, dalam tadarus, dalam sedekah, dalam iktikaf, serta dalam jamaah bersama kaum muslimin. Hutang dan masalah kita mungkin tak langsung terbayar tunai, tetapi ada hati yang kembali bernyali, ada pikiran yang kembali lapang, ada jalan yang terkuak, ada jaringan penguat, dan ada kunci yang bakal kita lihat untuk keluar dari masalah. Insya Allah.
Jadilah bagian dari perjuangan Sabili
Bangun Indonesia dengan Literasi!