Ramadanku, Ramadanmu, Ramadan Kita

Ramadanku, Ramadanmu, Ramadan Kita
Ramadanku, Ramadanmu, Ramadan Kita / Sabili.id

Alhamdulillah, tamu yang lama dinanti itu akhirnya tiba. Ramadan, syahrul qur'an, syahrul mubarak, syahrul khoiri wal ghufran, kini datang menyapa umat Islam di seluruh penjuru dunia. Kita berharap, kedatangan Ramadan dengan segenap kemuliaan di dalamnya itu mengantarkan kita menjadi Muttaqin. Orang yang menempatkan kecintaan kepada Allah dan Rasul-Nya di atas segala-galanya. Orang yang percaya penuh kepada kekuasaan dan rahmat Allah. Tidak ada suatu apa pun yang terjadi di dunia ini kecuali karena izin dan kehendak-Nya. Pahit atau manis, suka atau tidak suka, senang atau sedih, menang atau kalah, orang yang bertaqwa percaya dan yakin semuanya itu pasti membawa kebaikan. Karena Allah Yang Maha Baik tidak menginginkan untuk hamba-Nya kecuali juga kebaikan.

Tahun ini, perbedaan awal Ramadan kembali mewarnai umat Islam di tanah air. Pemerintah dan umumnya ormas Islam lain, menetapkan 1 Ramadan 1445 H jatuh pada Selasa, 12 Maret 2024. Salah satunya adalah Persis, ormas Islam yang berpusat di Bandung dengan tokohnya yang terkenal yaitu Ustadz A.Hassan. Kalender Hijriyah Persis sudah sejak awal menetapkan 1 Ramadan tahun ini jatuh pada hari Selasa, 12 Maret 2024. Menurut hisab ijtima' (konjungsi) akhir Sya'ban terjadi pada hari Ahad, 10 Maret 2024 sekitar pukul 16.22 WIB. Di titik ini, kalender Hijriyah semua Ormas Islam besar di Indonesia relatif sama. Jika pun ada perbedaan, hanya hitungan menit. Dengan demikian, Ahad 10 Maret itu saat magrib di wilayah Indonesia, bulan baru sudah datang. Namun, karena umur bulan baru sekitar satu jam 50 menit, ketinggiannya masih berada di 0°18' 57" s.d 0°51' 38" dengan jarak elongasi 2° 14' 49" s.d 2°41'57".

Di sinilah titik perbedaan muncul. Persis dan sejumlah Ormas Islam lain, juga pemerintah, memadukan antara Hisab dengan Ru'yat yang disebut dengan metode imkanul ru'yat(kemungkinan bulan bisa dilihat). Mengapa begitu? Sebab, hadits Nabi saw tegas menyatakan, “Puasalah kalian karena melihat bulan dan berbukalah (Idul Fitri) karena melihat bulan. Jika bulan terhalang (hujan, awan, dan sebagainya), maka genapkanlah bilangannya tiga puluh hari”.

Dengan ketinggian bulan maupun elongasi yang masih amat tipis di hari Ahad, 10 Maret 2024 itu, hilal tidak memungkinkan terlihat. Apalagi di sejumlah tempat ru'yatul hilal cuaca mendung atau turun hujan. Maka, Sya'ban digenapkan menjadi 30 hari, sehingga  1 Ramadan jatuh hari Selasa.

Berbeda dengan Muhammadiyah yang seratus persen berpegang pada hisab dan mengabaikan metode  Imkanul ru'yat. Bagi Muhammadiyah dan kelompok umat Islam lain yang sepaham, yang berlaku adalah wujud hilal hakiki. Meski hilal tidak mungkin bisa dilihat, pada hakikatnya saat maghrib Ahad 10 Maret itu bulan baru sudah datang. Maka, 1 Ramadan jatuh pada hari Senin, 11 Maret 2024. Tanggal yang sama juga ditetapkan oleh negara-negara yang berada di barat Indonesia, semisal Saudi Arabia dan kawasan Timur Tengah. Saat di Indonesia sudah masuk waktu magrib, di sana baru sekitar jam dua siang. Maka, ketika mereka masuk waktu magrib, hilal relatif sudah tinggi dan bisa dilihat.

Baca juga: Catatan Pemilu 2024 (Bagian 2): Hak Angket VS Rekonsiliasi

Selama perbedaan metodologi penetapan awal bulan hijriyah di antara Ormas Islam – juga pemerintah – belum ada titik temu, maka selama itu pula perbedaan awal dan akhir Ramadan, Idul Fitri (juga Idul Adha) akan sering terjadi.  Titik temu biasanya muncul jika ijtima' akhir Sya'ban terjadi malam atau pagi hari sebelum jam 11 siang. Saat itu, waktu magrib tiba, umur bulan baru sudah lebih dari 7 jam, sehingga hilal sudah relatif tinggi dan mungkin untuk dilihat.

Namun, ada pelajaran berharga dari seringnya kita mengalami perbedaan awal Ramadan, Idul Fitri, maupun Idul Adha. Yakni, umat semakin dewasa dan toleran dalam menyikapi perbedaan. Perbedaan bukan ajang perselisihan, ketidak samaan pandangan bukan untuk beradu kekuatan. Masing-masing kembali kepada keyakinan dan akal sehat. Apalagi, perbedaan itu berada di ranah fiqhiyah furu'iyah, bukan pada masalah aqidah dan asasiyah.

Muhammadiyah (berdiri 1912 di Yogyakarta), Al Irsyad Al Islamiyah (berdiri 1914 di Jakarta), Mathlaul Anwar (MA) (berdiri 1916 di Menes, Banten), Persis (berdiri 1923 di Bandung), Nahdhatul Ulama (berdiri 1926 di Surabaya), Persatuan Tarbiyah Islamiyah (Perti) (berdiri 1928, di Candung Bukittinggi), dan banyak ormas Islam lainnya telah ada sebelum Indonesia merdeka. Meski latar belakang pendiriannya berbeda-beda, namun mereka diikat oleh satu cita-cita yang sama: Merdeka dari penjajahan Belanda.

Itulah sebabnya, meski secara fiqhiyah ubudiyah, antara NU, Muhammadiyah, Persis, Al Irsyad, MA, dan lain-lain, berbeda-beda – bahkan tak jarang bertolak belakang – mereka kompak mengusung kemerdekaan Indonesia. Bahkan, dalam musyawarah pada 18-21 September 1937, semuanya bergabung menjadi satu dalam Majelis Islam A'la Indonesia (MIAI). MIAI kemudian dibubarkan saat Jepang datang tahun 1942 dan dibentuk lagi dengan nama Majelis Syura Muslimin Indonesia (Masyumi) pada Oktober 1943. Setelah Indonesia merdeka, Masyumi dideklarasikan sebagai Partai politik pada Munas Umat Islam di Yogyakarta, 7-9 November 1945 dan menghimpun semua kekuatan umat islam.

Pengalaman panjang menjalani perbedaan dan teladan para founding fathers di atas, seharusnya mendidik dan mendorong kita untuk selalu mengedepankan ukhuwah islamiyah, ketimbang ananiyah dan ta'ashub hizbiyah. Bukankah Allah telah memanggil kita, “Berpegang teguhlah kamu semua pada tali Allah dan jangan bercerai berai...” – QS. Ali Imran:103

Baca juga: Catatan Pemilu 2024: Pejah Gesang Nderek Kiai (Bagian 1)

Hal ini amat penting diperhatikan dan diimplementasikan, lantaran pengabaian terhadapnya berkonsekuensi memunculkan rasa takut, kelemahan, kekalahan, dan kehancuran. “Dan Taatilah Allah dan Rasul-Nya dan janganlah kalian berselisih, sehingga membuat kalian jadi gentar dan hilang kekuatan. Bersabarlah kalian semua, sungguh Allah bersama orang yang sabar.” – QS. Al Anfal:46

Para ulama dan sesepuh bangsa ini memegang kuat peringatan Allah di atas. Karenanya, seberapa pun perbedaan yang terjadi di antara mereka, yang dikedepankan adalah tasamuh dan ukhuwah Islamiyah,  dengan menjunjung tingi akhlakul karimah. Maka, tidak pantas dan tidak boleh lagi terjadi pelarangan pengajian seorang ustadz atau siapa pun hanya karena perbedaan fiqhiyah furu'iyah. Apalagi dengan cara menggeruduk membawa-bawa label organisasi. Jika tidak sepaham, tak perlu hadir atau mendengarkan. Atau jika mau lebih elegan, adakan forum diskusi, muzakarah, atau apa pun namanya, untuk membahas hal-hal yang berbeda itu dengan dalil dan akal sehat. Maka, kita akan tumbuh sehat menjadi umat yang cerdas, sekaligus dewasa dan toleran.

Begitu pun menyikapi perbedaan pandangan dan pilihan politik, menyusul hasil pemilu yang belum tuntas. Tuduhan pelanggaran dan kecurangan yang disuarakan banyak kalangan terjadi secara terstruktur, sistematis, dan masif, harus disikapi secara jernih dan dewasa. KPU dan Bawaslu sebagai lembaga negara yang diberikan amanah melaksanakan dan mengawasi jalannya pemilu harus benar-benar berpandu pada hati nurani dan nilai-nilai kebenaran.

Suasana Ramadan adalah momentum terbaik untuk melipat gandakan amal kebajikan. Tak terbayangkan ganjaran kebaikan yang diberikan Allah kepada segenap anggota KPU dan Bawaslu, jika mereka berpegang pada hati nurani, kejujuran, dan keadilan. Dengan berlaku jujur dan adil itu, mereka telah menyelamatkan bangsa Indonesia dari ancaman perpecahan dan pertikaian. Mereka yang menang mendapatkannya secara elegan dan terhormat. Mereka yang kalah akan menerimanya dengan legawa dan lapang dada. Bangsa Indonesia pun akan fokus menatap masa depan yang lebih gemilang, menyongong Indonesia Berkah sebagai negara yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur, dalam limpahan rahmat Allah saat satu abad kemerdekaan. Begitu pun sebaliknya. Pengabaian terhadap nilai kebenaran, kejujuran, dan keadilan, merupakan dosa besar yang akan mengundang datangnya azab dan bencana.

Seruan yang sama kita sampaikan kepada para Anggota DPR yang terhormat maupun para politikus. Biarkanlah Hak Angket sebagai proses politik di DPR bergulir. Tidak perlu dicurigai, apalagi dihalang-halangi. Jika pun itu dipandang sebagai perlawanan dari mereka yang “kalah”, cara itu jauh lebih elegan dan lebih baik, ketimbang perlawanan itu berlangsung di jalanan. Sekeras apa pun perdebatan di DPR, niscaya jauh lebih intelek dan santun, tanpa caki-maki  dan umpatan kotor. Ditambah ruangan yang nyaman dan sejuk, sehingga tidak mengganggu kenikmatan berpuasa.

Tetapi jika perlawanan itu terjadi di jalanan, maka potensi terjadinya berondongan umpatan, caci maki, dan kata-kata buruk lain, sulit dihindari. Ini tentu mengancam rusaknya nilai puasa para demonstran. Ditambah suasana jalanan yang panas terik, bisa membuat mereka batal puasa.

Ramadan adalah bulan mulia. Di dalamnya terdapat Lailatul Qadar yang nilainya lebih baik dari seribu bulan. Semoga kita semua tidak menyia-nyiakan momentum emas yang hanya datang setahun sekali ini. Marhaban ya Ramadan.


Komentar Anda:

Anda telah berhasil berlangganan di Sabili.id
Selanjutnya, selesaikan pembayaran untuk akses penuh ke Sabili.id
Assalamu'alaikum! Anda telah berhasil masuk.
Anda gagal masuk. Coba lagi.
Alhamdulillah! Akun Anda telah diaktifkan sepenuhnya, kini Anda memiliki akses ke semua artikel.
Error! Stripe checkout failed.
Alhamdulillah! Your billing info is updated.
Error! Billing info update failed.