Haji Sudirman tak pernah menyangka, hari tuanya harus dilalui dengan ironi. Tokoh masyarakat Rempang itu lahir, besar, dan dewasa di situ. Maka, ia pun ingin mati dan dimakamkan di Pulau Rempang tanah kelahirannya itu, seperti juga kakek buyutnya yang lahir, hidup, dan dimakamkan di situ. Menurut catatan sejarah, sejak tahun 1834 Pulau Rempang sudah dihuni suku Anak Laut, Anak Darat, dan Melayu. Lebih dari satu abad sebelum Indonesia Merdeka. Bahkan mereka tetap hidup aman dan tenteram di situ ketika era penjajahan Belanda sekalipun.
Namun, ironi, justru setelah 78 tahun Indonesia Merdeka, Haji Sudirman dan ribuan rakyat penghuni 16 Kampung Tua di Rempang harus menderita kepedihan tiada kepalang. Mereka harus ditendang dari kampung halamannya atas nama pembangunan Rempang Eco City rancangan pialang, pedagang, dan pemegang kekuasaan, berselimut undang-undang. Menurut Menko Polhukam, Mahfud MD, sejak tahun 2001 pemerintah telah memberikan hak kepada PT MEG untuk menguasai dan mengelola kawasan Rempang.
"Jadi ini bukan penggusuran, tetapi pengosongan lahan untuk diberikan kepada pemegang hak," kata profesor hukum yang digadang-gadang bakal menjadi cawapres Ganjar itu.
Sungguh aneh. Pakar hukum tetapi bicaranya ngelantur. Mungkin karena keinginan jadi wapres yang tak kepalang, sehingga akal sehat dan hati nurani pun hilang. Pengosongan itu kalau tanah itu kosong melompong, tak ada manusia yang menghuni, kecuali jin, dedemit, dan binatang. Namun, faktanya di situ telah beranak pinak ribuan orang dari Suku Anak Laut, Anak Darat, dan Melayu, sejak tahun 1834. Mereka mendiami 16 Kampung Tua di sana. Salah satunya adalah Haji Sudirman.
Jika warga 16 Kampung Tua itu digusur karena tidak memiliki sertifikat, itu bukan kesalahan mereka. Coba tanya kepada Presiden Jokowi, atau Mahfud, Bahlil, Luhut, dan semua petinggi pemerintah, apakah kakek buyut mereka dulu mendiami rumah dan pekarangan atau memiliki sawah dan kebun karena mereka punya sertifikat? Jawabnya pasti tidak. Di masa lalu, orang menguasai dan memiliki tanah, sawah, dan kebun, karena membeli dari pemilik sebelumnya secara lisan atau menggarap dan mengolahnya sedikit-sedikit jika kawasan itu kosong tak bertuan. Batas tanah pun umumnya berupa pepohonan semisal Hanjuang, Duren, Asem, dan lain-lain. Kalau pun ada bukti tertulis, biasanya Verponding ala pemerintah kolonial Belanda atau girik.
Baca Juga : Kasus Rempang, Muhammadiyah Nilai Pemerintah Gagal Laksanakan Mandat Konstitusi
Sertifikasi adalah kewajiban dan tugas negara guna memperkuat dan memastikan hak seseorang atas tanahnya. Baik yang diperoleh melalui jual-beli maupun karena membukanya dari sejak hutan rimba atau kawasan gersang tak bertuan. Karenanya, menjadi kewajiban pemerintah untuk memberi sertifikat atas lahan yang dimiliki warga Rempang secara turun temurun. Apalagi menurut CNN.com, saat kampanye Pilpres 2019 lalu, Jokowi berjanji bahwa dalam waktu tiga bulan akan memberikan sertifikat tanah bagi warga kampung tua Pulau Rempang, jika ia memenangkan Pilpres. Jangankan ditepati, bahkan di ujung masa jabatannya ia malah hendak menggusur warga Rempang dari kampungnya. Seperti bunyi syair sebuah lagu dangdut, "Kau yang Berjanji Kau yang Mengingkari".
Seharusnya warga Kampung Tua Rempang mendapat sertifikat atas tanah yang sudah turun menurun mereka diami, bukan malah direlokasi semena-mena. Maka, wajar kalau rakyat Rempang meradang dan berjuang mempertahankan haknya sampai mati. Yang mereka alami bukan pengosongan lahan, tetapi pengusiran. Bahkan, PBNU menyebutnya sebagai perampasan yang hukumnya haram. Karenanya, PBNU meminta pemerintah menyetop dan menghentikannya. Sementara LKH PP Muhammadiyah menyatakan, pengusiran itu mencerminkan ketidakmampuan pemerintah menjalankan amanat konstitusi. Sebab, sesuai bunyi UUD ’45, bumi dan air serta apa yang dikandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Maka, menggusur rakyat untuk kepentingan investor – bahkan juga oknum pejabat – adalah pelanggaran serius terhadap konstitusi.
Di dalam pandangan mantan Ketua Komnas HAM, Prof. Dr. Hafid Abbas, tindak pengusiran paksa rakyat Rempang itu masuk kategori Pelanggaran HAM berat. Pemerintah secara sadar sengaja menggunakan alat-alat negara untuk melakukan kekerasan terhadap rakyat yang semestinya dilindungi.
Kini, kasus Rempang telah menyentuh identitas Melayu dan kesadaran kolektif nasional. Seluruh puak Melayu dan masyarakat lintas golongan ramai-ramai menggugat tindakan represif aparat pemerintah. Demo anarkis warga Rempang pada Senin, 11 September 2023, memang tak bisa dibantah. Tetapi hal itu lebih sebagai akibat dari tindakan represif aparat TNI AL dan Polri kepada warga Rempang pada Kamis, 7 September 2023. Yang lebih mengerikan lagi adalah ancaman dari Panglima TNI yang akan memiting mereka yang dianggap menghambat relokasi. Lebih seram lagi teror yang dilontarkan Menteri "Segala Urusan", Luhut B. Panjaitan. Katanya, ia akan membuldozer siapapun yang dianggap menghambat pembangunan Rempang Eco City.
Segala bentuk ancaman dan intimidasi para petinggi pemerintah semakin menegaskan siapa dan bagaimana watak penguasa. Alih-alih sadar dan berempati kepada rakyat miskin Rempang, sikap itu justru menegaskan kesombongan dan rasa jumawa yang tak terperi. Sesuatu yang tak sepantasnya ada, karena bukan memberi solusi, tetapi semakin memantik bara api perlawanan. Hal ini tentu tidak kondusif dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Karenanya, penting setiap kita merenungkan peringatan Allah dalam Al Qur'an,
"Mereka berlaku sombong di bumi dan membuat rencana jahat. Padahal rencana jahat itu tidak akan menimpa kecuali kepada perancangnya sendiri. Mereka sesungguhnya sedang menunggu ketentuan Allah yang sudah menimpa umat terdahulu dan kamu tidak akan mendapati perubahan atas ketentuan Allah dan tidak akan juga mendapati pergeseran atasnya" – QS Fatir:43.
Kita tentu tak ingin kasus Rempang ini memicu dan memacu sentimen yang lebih luas. Karenanya, perlu pendekatan lebih humanis kepada warga Kampung Tua di sana, didasari kasih sayang dan rasa keadilan. Akan sangat indah, seandainya anggaran yang disediakan untuk memberi tanah 500 m, rumah tipe 45 dan uang 120 juta rupiah untuk setiap KK yang mau direlokasi, dialihkan menjadi anggaran untuk menata kawasan Kampung Tua menjadi kawasan yang indah, menarik, dan dipenuhi usaha produktif. Dengan demikian, warga tidak saja tetap tinggal di kampung halamannya, tetapi juga mendapatkan kehidupan sosial ekonomi yang lebih baik.
Baca Juga : Pernyataan Sikap LAM Kepri: Batalkan Relokasi Warga Rempang
Ke depan, Kampung Tua bahkan bisa menjadi nilai tambah bagi Rempang dengan menjadi kampung wisata di tengah kawasan industri. Ini akan menjadi win-win solution. Bahkan bisa jadi model penataan kawasan industri di masa depan.
Yang diperlukan hanyalah kerendahhatian dan rasa empati yang tinggi terhadap nasib rakyat Rempang. Manusia memang tempat salah dan dosa. Tidak akan hina jika mengakui kesalahan dan kekeliruan dalam membuat kebijakan lantas memperbaikinya. Justru hal itu menunjukkan sikap ksatria dan bertanggung jawab.
Namun, jika watak sombong dan jumawa terus dipertontonkan disertai pengingkaran terhadap janji, bukan mustahil Rempang menjadi pemantik yang akan menggelamkan rezim ini dalam kubangan.
Wallahu a'lam bishawwab.
Jadilah bagian dari perjuangan Sabili
Bangun Indonesia dengan Literasi!