Ada kabar menarik. Sabili lahir kembali. Dulu bentuknya majalah cetak. Kini, Sabili bertransformasi menjadi media online dengan alamat Sabili.id. Sudah setahun lamanya uji coba. Kini, pengelola Sabili.id mantap meluncurkannya secara resmi. Acara peluncuran sebentar lagi bakal digelar di Masjid Agung Sunda Kelapa, Jakarta. Acaranya beragam. Bazar, talkshow, pameran galeri Sabili dari masa ke masa, pameran poster internasional bertema “Freedom for Palestine”, dan juga silaturahmi pembaca Sabili lintas generasi.
Tentu saya cukup senang mendengar kabar ini. Tak hanya karena dulu sempat menjadi penulis kolom di majalah Sabili, tetapi lebih dari itu. Lahirnya kembali Sabili menandakan spirit baru bermedia di tengah bertumbangannya media Islam. Itu nyali yang luar biasa.
Mengapa? Mendirikan dan mengelola media – apalagi media Islam – adalah jelas proyek rugi secara hitung-hitungan bisnis. Hanya mereka yang punya passion dan panggilan sejarah saja yang mau menjalankan bisnis media. Bahkan bisa jadi, harus bekerja mati-matian di luar bisnis media untuk membiayai media yang dikelola agar tetap hidup dan terawat dengan baik.
Sabili versi cetak tutup pada April 2013. Pemimpin redaksi terakhirnya adalah Eman Mulyatman. Sabili terus menjadi sejarah tersendiri. Ia secara tegas menjadi media Islam yang terang-terangan membela kepentingan umat Islam. Tak hanya di Indonesia. Juga berpihak kepada umat Islam di dunia. Termasuk tentu saja muslim di Palestina.
Profesor Jurnalisme di George Washington University, Janet Steele, menulis buku berjudul “Mediating Islam”. Di dalam buku itu, dia menggolongkan Sabili sebagai media perwujudan “Islam Skripturalis” yang dalam pemahaman umum lazim diartikan sebagai Islam dengan penafsiran yang hendak mencerabut nash, baik ayat Qur’an maupun hadits, dari konteksnya. Istilah lainnya, penafsiran yang literal, leterlek (letterlijk), harfiyah, dan lain-lain. Ada pandangan, skripturalisme ini bahaya. Sebab, jika diterapkan ke setiap nash, maka Qur’an bisa kacau, bahkan bertentangan satu sama lain.
Saya tentu tak setuju dengan penggolongan versi Janet itu. Sabili justru menjaga spirit Islam yang sesuai khitah-nya dengan ruh perjuangan, pembelaan kepada umat yang dipinggirkan secara struktural. Waktu itu, media mana yang benar-benar mewakili suara umat Islam? Tak lain tak bukan, Sabili representasinya. Belakangan, memang ada media lain, misalnya majalah Saksi, Tarbawi, Tatqif, walau tak bertahan lama. Yang masih bertahan versi cetaknya mungkin hanya tinggal Majalah Hidayatullah, walau semakin sulit didapatkan.
Baca juga: Ahlan Wasahlan Sabili
Sabili, konon didirikan tahun 1985, ketika Orde Baru masih bercokol, ketika umat Islam Indonesia mayoritas tetapi terpinggirkan. Tentu wujudnya tak terang-terangan. Sabili hadir sebagai media bawah tanah (underground). Beredar dari tangan ke tangan, menyebar secara door to door. Beredar dari kampus ke kampus. Pegiatnya adalah mereka yang menamakan diri sebagai Kelompok Telaah dan Amaliah Islami (KTAI). Dengan pembaca setia dari kalangan Tarbiyah.
Semuanya tak lepas dari kondisi kebangsaan saat itu. Di awal dekade 1980-an, perkembangan Islam di Indonesia ditandai munculnya fenomena meningkatnya semangat religiusitas umat yang sering dikenal sebagai lahirnya kebangkitan Islam (Islamic Revivalism). Kebangkitan Islam ini ditandai oleh munculnya gerakan Islam baru yang memiliki basis ideologi, pemikiran, dan strategi gerakan yang berbeda dengan gerakan atau ormas-ormas Islam yang telah ada sebelumnya, semisal NU, Muhammadiyah, PERSIS, Al-Irsyad, Jamaat Khair, dan sebagainya.
Munculnya semangat kebangkitan Islam di Indonesia merupakan sebuah blessing in disguise (anugerah terselubung) dari kondisi umat Islam yang sedang terpuruk akibat kebijakan Orde Baru saat itu. Salah satu gerakan revivalis Islam yang paling menonjol pada saat itu adalah banyak munculnya kelompok-kelompok pengajian Usroh. Kemunculan kelompok-kelompok Usroh ini dalam tahap pertamanya ditandai dengan pembentukan kelompok-kelompok kecil (usroh) yang banyak terdapat di kampus-kampus ternama di Indonesia pada awal 1980-an. Kelompok inilah para pegiat Majalah Sabili awal.
Edisi perdana Sabili dikerjakan antara lain oleh lima orang, yaitu Abu Fida selaku pemimpin redaksi merangkap pemimpin umum dan penanggung jawab; Ibnu Sabilil Haq (Muhammad Ishaq), Insan Amir, dan Ahmad Suhada sebagai dewan redaksi; Arifin Toat sebagai penanggung jawab distributor; serta Athwal Arifin yang mengerjakan proses setting dan lay out. Hanya terbit sekali. Tiga tahun kemudian, 1988, Muhammad Ishaq kembali menerbitkan dan membesarkan Sabili.
Majalah Sabili, dalam perkembangannya, berdiri sebagai corong Gerakan Tarbiyah. Mereka percaya, dalam kerangka dakwah di era globalisasi modern, pers Islam menjadi suatu medium gagasan yang sangat efektif untuk menyebarkan nilai-nilai ajaran Islam secara meluas ke seluruh umat manusia, khususnya untuk kalangan umat Islam sendiri. Selain itu, pers Islam juga harus memainkan peran sebagai media perlawanan terhadap propaganda-propaganda media massa Barat yang seringkali menyudutkan citra kaum muslimin.
Bagi kelompok Tarbiyah, keberadaan majalah Sabili memiliki fungsi utama sebagai sarana penyebaran dan perluasan gerakan dakwah. Melalui majalah Sabili, gagasan-gagasan pemikiran dari gerakan Tarbiyah akan dapat lebih mudah untuk didakwahkan kepada umat. Sabili berperan sebagai representasi pemikiran-pemikiran revivalis dari gerakan Tarbiyah dan juga bertugas dalam membentuk pencitraan yang positif bagi Gerakan.
Baca juga: Menangkal Para Pembisik di Akhir Kekuasaan
Setelah diterbitkan secara terbatas, baru di tahun 1991 Sabili menjadi bacaan untuk kalangan umum. Oplahnya waktu itu dari 17.000 eksemplar menjadi 60.000 eksemplar. Prestasinya, waktu itu, Sabili dinilai sudah sukses, bahkan bisa mengalahkan oplah dari Pandji Masyarakat pimpinan Hamka. Sayang, di tahun 1993, Sabili berhenti terbit karena tidak memiliki surat izin penerbitan (SIUPP). Lima tahun kemudian, Sabili kembali terbit setelah berhasil mengantongi SIUPP (Surat Izin usaha Penerbitan Pers).
Di tahun itu, 1998, Sabili bisa kembali menyapa pembaca karena berkah era reformasi. Bersamaan dengan terbitnya Majalah “Sekuler” Tempo. Tahun 2000, Sabili mencatat kesukesan yang luar biasa dengan Zainal Muttaqin sebagai pemimpin redaksi. Pembaca Mingguannya mencapai lebih dari 400.000 orang. Hanya saja, coraknya kini agak berbeda. Di awal pendirian, corak Sabili lebih ke Dakwah, dalam perkembangannya, menaruh perhatian pada Islam Politik. Eman Mulyatman, pemimpin redaksi terakhir Majalah Sabili versi cetak, menyebut salah satu pendirinya, yaitu Zainal Muttaqin sebagai “Goenawan Mohamad-nya Sabili”. Ia seorang wartawan yang mendirikan Sabili dengan terbit dua bulan sekali, setengah halaman folio, dan gaji tak tentu. Bermula dari media yang dikelola seadanya, sampai menjadi media profesional. Sukses secara oplah dan diperhitungkan banyak kalangan.
Kesuksesan Sabili tentu tidak datang begitu saja. Para pengelolanya banyak belajar dan menjadikan referensi dari media di luar negeri sebagai bahan pertimbangan. Majalah-majalah yang biasa menjadi sumber referensi Sabili di antaranya misalnya Majalah Al-Muslimun (Pakistan), Qodhoyah Daulah (Palestina), Al-Jihad (Peshawar, Pakistan), Al-Haras Al-Wathani (Saudi Arabia), Ar-Ra’ad, Liwaul Islam, Al-Bayan, Al-Insaan (Paris), Palestin Muslimah (London), serta News Week dan Times.
Namun, sebagai media, sebagai sebuah organisasi bisnis, tak terlepas dari intrik. Zainal Muttaqin sebagai pendiri sekaligus seorang jurnalis tulen tentu berpedoman bahwa media harus independen, membela keadilan dan kebenaran. Sementara pengelola lain, terutama setelah terbentuk PT Bina Media Sabili, punya pandangan lain baik dalam soal bisnis maupun politik. Rumor pun merebak. Misalnya, Sabili lewat pengelola lain itu dapat uang dari Moammar Qaddafi waktu itu, untuk membendung pengaruh Saudi, yang dinilai “Wahabi”. Pengelola lain itu punya bisnis dengan orang Arab Saudi. Keadaan menjadi runyam dan mengganggu keredaksian. Padahal, sejak awal, walau digawangi oleh aktivis Tarbiyah toh Sabili tak pernah terafiliasi dengan PKS.
Sejak tutup tahun 2013, rupanya gairah Zainal Muttaqin tak padam. Ia kembali menyalakan Sabili via Sabili.id pada 9 Februari 2023. Kini, tak lama lagi, di 9 Februari 2024, secara resmi media ini akan diluncurkan kembali. Tentu, sebuah nyali yang patut diapresiasi. Zainal Muttaqin, Bersama tim, tentu mereka punya keyakinan dan mimpi tersendiri yang kita sama-sama belum mengetahui persisnya. Yang pasti, keyakinan demikian perlu mendapatkan angin segar berupa dukungan dari berbagai pihak. Tentu banyak macamnya.
Saya sendiri berkeyakinan, insting business as usual tidak akan menolong. Oplah dan iklan tak bisa benar-benar diandalkan. Satu-satunya jalan yang akan bisa menolong dan menyelamatkan Sabili sebagai media umat adalah dengan wakaf. Wakaf media. Menyadarkan umat bahwa adanya media umat yang kuat adalah sebuah fardhu kifayah. Sebuah kewajiban, tanggung jawab bersama umat Islam. Kalau tak ada yang melakukannya, maka umat ini bisa “berdosa semua”. Hanya dengan wakaf sebagai manifestasi kepedulian umat, maka media bisa punya napas panjang. Bagaimana teknisnya? Tentu kita perlu duduk bersama.
Jadilah bagian dari perjuangan Sabili
Bangun Indonesia dengan Literasi!