Pekan lalu, Kamis pagi menjelang siang, saya kedatangan tamu, seorang tokoh muslimah senior. Bersama suaminya, seorang purnawirawan TNI, kami ngobrol gayeng soal-soal umat. Khususnya dakwah kaum hawa.
Obrolan menghangat ketika menyerempet soal pilkada. Apa lagi kalau bukan soal “Penjegalan Anies” menjadi Cagub Jakarta, setelah melihat gelagat PKS bakal berpaling ke yang lain? Obrolan semakin seru ketika menyenggol Pilkada Sumut, di mana Partai Dakwah itu secara resmi mengusung Bobby. Padahal, sebelumnya santer terdengar PKS akan mengusung Edi Rahmayadi.
Gelontoran kekesalan, kekecewaan, dan kemarahan terhadap PKS pun meluncur deras. Sikap yang sejatinya mewakili banyak kalangan umat Islam. Hal itu terekam jelas di banyak WAG, rumpian warung kopi, maupun saat saya mengisi kajian di berbagai masjid dan komunitas. Kekesalan dan kemarahan itu semakin seram tatkala dibumbui kutipan Al Qur'an atau Hadits, semisal “Tanda orang munafik itu ada tiga. Jika berkata berdusta, jika berjanji mengingkari, dan jika dipercaya berkhianat”. Pokoknya seram dan gawat pisan.
Sama dengan banyak rakyat Jakarta, saya juga kecewa berat Anies gagal berlayar. Aspirasi warga Jakarta yang menginginkan dia kembali memimpin Jakarta berhenti pada sekadar survey. Realitas politik berkata lain. Deklarasi 12 partai yang mengusung pasangan RK dan Suswono sebagai Cagub dan Cawagub Jakarta di JCC Senin sore hampir memastikan hal itu. Andai pun PDIP – yang menggenggam 15 kursi DPRD Jakarta – mengusung Anies, tak memenuhi syarat pencalonan.
Namun, asa yang hampir pupus sempat menyala kembali seiring keputusan MK yang merevisi aturan Pilkada pada Selasa kemarin. Bukan saja memotong drastis syarat partai atau gabungan partai untuk mencalonkan Kepala Daerah, MK juga membolehkan partai non parlemen mengusung calon sepanjang memenuhi syarat. Syarat pencalonan yang semula 20 % kursi DPRD atau 25 % suara pemilih dikorting menjadi 10 %; 8,5 %; 7,5 %; dan 6,5 % suara pemilih dari DPT di provinsi dan kabupaten/kota, tergantung besarnya jumlah DPT masing-masing. Keputusan MK itu membuat peluang Anies – atau siapa pun – maju ke pencalonan kembali terbuka.
Namun sayang, harapan itu cuma jadi mimpi semalam. Keputusan Baleg DPR yang membahas RUU Pilkada menganulir keputusan MK. Keputusan MK itu hanya berlaku untuk partai non parlemen, sedangkan partai dengan kursi di DPRD tetap berlaku ketentuan lama. Keputusan yang benar-benar aneh dan menabrak akal sehat. Namun di Indonesia, cerita aneh tetapi nyata memang bukan barang baru. Saking kecewanya rakyat dengan keputusan aneh Baleg DPR, sejak pagi marak berseliweran seruan aksi demo mengawal MK dan melawan keputusan Baleg DPR. Aksi yang akan digelar hari ini berlangsung di Jakarta, Bandung, Yogya, Makassar dan kota-kota lain. Apakah Anies bisa tetap maju atau tidak, mari kita tunggu.
Tetapi apakah wajar dan tepat menimpakan kesalahan dan kemarahan atas kegagalan Anies Nyagub di Jakarta kepada PKS? Begitu juga terhadap sikap PKS mendukung menantu Pak Lurah di Sumut? Ada baiknya kita tafakkur sejenak, mengambil nafas sembari menata hati.
Pada Pileg 2024 kemarin, PKS memenangkan kontestasi di Jakarta untuk kali kedua, setelah tahun 2004. Sehingga, dengan gagah para petinggi PKS menetapkan kadernya harus menjadi Cagub/Cawagub. Keinginan yang wajar. Sementara itu, DPW PKS Jakarta terang-terangan telah lebih dulu menyebut Anies sebagai jagoan yang bakal diusung. Kita semua tahu, pada 25 Juni – dua bulan sebelum masa pendaftaran paslon – PKS dengan gagah mengumumkan pasangan AMAN (Anies-Sohibul Iman) sebagai kandidat.
Menurut penuturan Sohibul Iman (SI), namanya muncul setelah Presiden PKS Ahmad Syaikhu (AS) bertemu Ketua Umum Nasdem Surya Paloh (SP) sebagai partai yang sejak awal menyatakan akan mengusung Anies. Menyambut ketetapan PKS yang akan mengusung kadernya mendampingi Anies, konon Bang Brewok menyebut dua nama, yakni Mardani Ali Sera dan Sohibul Iman. Rupanya omongan SP ini ditangkap AS sebagai persetujuan, sehingga serta merta mengumumkan pasangan AMAN ke publik.
Di sinilah seni berpolitik PKS diuji. Majelis Syura PKS sebagai lembaga tertinggi beranggotakan 99 orang dengan komposisi 50 % disiplin syariah, 25 % disiplin fanniyah (teknik), dan 25 % ilmiyyah (sains) sejatinya komposisi ideal untuk menetapkan langkah politik yang sesuai nilai Islam sekaligus piawai memenangkan pertarungan. Namun, kali ini untuk kesekian kalinya PKS dipaksa menelan pil pahit.
AS tampaknya terjebak omongan manis Bang Brewok, sehingga PKS buru-buru mendeklarasikan pasangan AM AN. Mereka lupa, politik itu bukan sekadar melihat apa yang tersurat dan terucap, tetapi apa yang ada di baliknya. PKS lupa reputasi SP sebagai King Maker yang terbiasa menentukan dan mendikte, bukan ditentukan dan didikte. Satu-satunya yang bisa mengatur – mungkin mendikte – SP adalah Jokowi. Maklum, seperti diakuinya sendiri, Jokowi menggenggam erat data intelijen partai politik. Tentu saja termasuk kasus-kasus hukum para elite. Bahkan data itulah yang boleh jadi dijadikan Jokowi sebagai alat menyandera banyak elite sehingga terpaksa manut kepadanya. Ketika ada yang coba melawan, segera ditebang habis, seperti terjadi pada Airlangga Hartarto (AH) dan Golkar. Maka, tak salah jika Ketum baru Golkar, Bahlil Lahadalia, mengingatkan, jangan coba-coba melawan Raja Jawa, karena akan celaka.
Contoh paling jelas betapa liciknya SP terlihat saat pilpres lalu. Setahun lamanya Nasdem, PKS, dan Demokrat menjalin kerja sama di Koalisi Perubahan. Bahkan, ketiga partai itu mengirim orang-orang pilihan membentuk Tim Kecil yang rutin bertemu untuk merumuskan dan mematangkan strategi. Bahkan, Anies juga terlihat sering ngobrol dan rayan-ruyun dengan AHY yang santer bakal diusung jadi Cawapres.
Namun rayan-ruyun itu tak berujung deklarasi pasangan Anies-AHY. Waktu deklarasi ditetapkan pun beberapa kali batal. Setiap kali ditanya wartawan apakah karena dirinya tak setuju AHY, SP tak pernah menjawab dengan tegas. Ia bahkan kerap memuji AHY sebagai orang muda yang hebat dan calon pemimpin masa depan. Sampai tiba-tiba terjadi tsunami hebat, ketika Sekjen Demokrat Teuku Rifki Harsya pada Rabu, 30 Agustus 2023 siang, menyatakan Anies secara sepihak telah berpasangan dengan Ketua Umum PKB, Muhaimin Iskandar. Penetapan sepihak itu diinisiasi SP yang malam sebelumnya bertemu Cak Imin. Kesepakatan itu tanpa mengajak diskusi PKS dan Demokrat.
Hebatnya, saat esoknya, Kamis, 31 Agustus, awak media mengonfirmasi kebenaran hal itu, Bang Brewok masih menepisnya. Ia berkilah, hal itu masih kemungkinan dan perlu menunggu satu-dua hari ke depan. Padahal, Sabtu tanggal 2 September sudah ditetapkan bakal ada deklarasi pasangan AMIN di Surabaya. Saat deklarasi itu, SP berpidato dengan gagah dan berapi-api. Namun, tak terucap kata maaf kepada PKS dan Demokrat atas tindakan sepihaknya itu. Ujungnya kita semua tahu, lantaran tak punya pilihan lain, PKS terpaksa tetap bergabung di koalisi perubahan. Sementara Demokrat hengkang dan bergabung dengan pasangan Prabowo-Gibran.
Langkah sepihak SP kembali terjadi hanya lima hari setelah pemungutan suara. Ketika para pendukung Paslon 01 masih galau dan geram dengan data Sirekap yang dinilai penuh kecurangan, SP sudah mengobrol dengan Jokowi di istana. Tak lama setelah itu, SP mengakui menggelar karpet merah untuk Prabowo-Gibran. Keutuhan bangsa dan persatuan nasional jadi narasi sakti untuk melegalkan tindakan itu.
Hal yang sama terjadi pada gelaran pilkada akhir tahun ini. Meski sejak awal bersuara lantang menjagokan Anies, namun Nasdem tak kunjung mengeluarkan surat keputusan resmi. Semuanya sekadar omon-omon. Padahal, jika Nasdem – juga PKB – serius, apa susahnya mengeluarkan surat dukungan resmi? Apalagi, Anies adalah salah seorang pendiri Ormas Nasdem (sebelum berubah menjadi parpol). Melihat gelagat Nasdem dan PKB yang tak kunjung mendukung pasangan AMAN, PKS menawarkan kepada Anies untuk memakai jaket putih PKS. Dengan menjadi kader PKS, Anies bisa mencari pasangan dari partai lain (PKB/Nasdem) supaya bisa berlayar. Karena tambahan kursi yang dibutuhkan hanya empat (4) kursi. Jika salah satu dari Nasdem (11 kursi) atau PKB (10 kursi) mendukung, pencalonan itu bakal mulus. Anehnya, Anies menolak dengan alasan ingin tetap netral.
Sebenarnya tidak sulit membaca arah politik Nasdem dan PKB. Gelagat yang dipertontonkan usai pilpres lalu menegaskan langkah mereka bergabung di KIM. Apalagi, baik Nasdem maupun PKB tidak punya pengalaman menjadi oposisi. Bahkan, gara-gara dukungan mati Nasdem kepada Jokowi, Metro TV milik SP kerap diplesetkan oleh para aktivis 212 menjadi Metro Tivu.
Dari sini, jelas sudah siapa yang menyebabkan Anies terganjal nyagub di Jakarta. Anehnya, sasaran tembaknya justru PKS. Padahal, PKS rela memberi tiket Anies maju Pilgub DKI 2017 dan Pipres 2024 sedangkan Anies bukan kader PKS dan tidak pernah terlibat dalam membangun PKS. Saat Pilgub DKI 2017, PKS rela menarik kadernya, Mardani Ali Sera, untuk memberi jalan buat Anies maju. Begitu pula ketika Anies bertindak slonong boy menggandeng Cak Imin tanpa mengajak ngomong PKS.
Keanehan ini perlu kita cermati dengan seksama. Setidaknya ada dua faktor penyebab, yakni eksternal dan internal. Entah siapa yang bermain, secara eksternal tampak jelas ada upaya sistematis untuk membonsai kekuatan Islam dalam sepuluh tahun terakhir ini. Khususnya kekuatan Islam di ranah sosial, politik, dan ekonomi. Upaya itu semakin nyata sejak munculnya fenomena gerakan 212 delapan tahun yang lalu.
Berawal dari meruntuhkan marwah ulama, baik sebagai pribadi maupun lembaga. Secara kelembagaan dimulai dengan mendegradasikan MUI dengan cara meledek bahkan melecehkan pandangan dan fatwa-fatwa MUI. Di era Soeharto, betapa pun umat tahu MUI dibentuk oleh rezim Orba dan kadang tak berani bersikap tegas, namun marwah MUI tetap terjaga. Pandangan dan fatwa yang dikeluarkan MUI tetap dihormati dan diikuti. Misalnya fatwa soal haram hukumnya mengucapkan Selamat Natal yang dikeluarkan MUI di bawah kepemimpinan Buya Hamka. Bandingkan dengan pandangan dan fatwa MUI terakhir yang melarang muslim mengucapkan salam agama lain. Penolakan datang bukan saja dari orang awam, tetapi bahkan dipertontonkan Menteri Agama, Yaqut C Qoumas.
Di ranah pribadi, sejumlah ulama kondang juga tak luput dari penghinaan dan bullying. Sebut saja kasus AA Gym saat ia menikah lagi dengan Teh Rini. Kisah kawin-cerai ulama kondang asal Bandung itu dengan isteri pertamanya, teh Ninih, ramai menghiasi media. Juga seputar perceraian UAS dengan isterinya serta pernikahannya kembali dengan gadis muda alumni Gontor. Begitu pula dengan UAH yang ramai dirujak kelompok tertentu terkait pandangannya tentang musik. Masih banyak lagi yang lain.
Langkah berlanjut dengan mendegradasi Habaib, salah satu kelompok yang dimuliakan sebagian umat Islam. Khususnya kalangan tradisionalis. Saling bully dan saling hujat antara habaib dengan sejumlah Kyai Nahdhiyyin yang dipelopori KH Imanuddin Al Bantani terus berlangsung sampai saat ini. Hal yang tak pernah terjadi sejak penulis menjadi aktivis pada 45 tahun lalu. Habaib umumnya Nahdhiyyin dan kaum Nahdhiyyin memuliakan habaib.
Dan kini, serangan diarahkan kepada PKS, partai yang selama 25 tahun keberadaannya tidak disukai oleh lawan politiknya. Berbagai upaya membonsai partai dakwah ini tak kunjung berhasil. PKS tetap lolos PT dan kini bahkan perolehan kursinya melebihi Demokrat dan PAN. Di Jakarta, PKS bahkan berhasil menumbangkan kedigdayaan PDIP dan menjadi juara dengan merebut 18 kursi. Sukses yang seharusnya mengantarkan PKS ke tempat lebih tinggi itu justru menjadi bumerang.
Seharusnya, kader PKS paham keberadaan mereka sejatinya tidak disukai lawan politik. Patut dingat-ingat nasihat Snock Hourgronje kepada penguasa VOC, yaitu; Pertama, biarkan umat Islam beribadah. Jika perlu, difasilitasi. Kedua, jika berbisnis, awasi, supaya tidak menguasai sumber-sumber ekonomi. Karena itu, VOC memberikan privilege kepada etnis Tionghoa sebagai warga negara Timur Asing untuk menjadi perantara relasi bisnis VOC dengan bumiputera. Ketiga, jika berpolitik, habisi. Itulah sebabnya, penjajah Belanda memberangus upaya kekuatan sosial politik.
Upaya menghabisi Islam politik tidak cuma terjadi di Indonesia, tetapi juga di seluruh penjuru dunia. Lihatlah apa yang tejadi dengan Mujahidin dan Taliban di Afghanistan, HAMAS di Palestina, FIS di Aljazair, dan lain-lain.
Dengan tantangan eksternal sehebat itu, mestinya politikus PKS terus mengasah kepiawaian bermain politik. Sayang yang terjadi sebaliknya. Petinggi PKS justru terjebak dalam genderang yang ditabuh lawan. Contoh paling telanjang adalah pilkada Jakarta. Ketika Anies tak kunjung berhasil mencari kawan koalisi sampai dengan deadline yang dberikan, para jubir dan petinggi PKS dengan enteng berulang kali menyatakan kemungkinan pindah ke lain hati. Sementara, pada saat yang sama petinggi Nasdem dan PKB justru mengambang. Mereka selalu berargumen masih panjang waktu untuk membangun kesepahaman dengan partai lain.
Pernyataan serupa berulang kali dari politikus dan petinggi PKS sepanjang 5-14 Agustus di berbagai media, membangun opini publik bahwa PKS-lah yang meninggalkan Anies. Padahal, yang sesungguhnya terjadi, Nasdem dan PKB-lah yang tak serius atau Anies yang gagal mencari mitra koalisi. Jika saja Anies bersedia pakai jaket putih PKS, maka PKB dan atau Nasdem tentu akan tertarik bergabung. Kecuali jika ada tekanan dari pihak yang memegang rahasia parpol.
Ditambah lagi ucapan Presiden PKS yang meminta Prabowo mengajak PKS bergabung di pemerintahan Prabowo-Gibran, kesan meninggalkan Anies dan takut beroposisi pun semakin tampak. Di tengah kesan buruk seperti itu, PKS lagi-lagi terjebak ikut deklarasi 12 partai mendukung RK pada Senin, 19 Agustus, hanya karena kadernya, Suswono, dijadikan Cawagub. Sebagai politikus, mestinya mereka tahu bahwa MK akan bersidang pada Selasa, 20 Agustus, ihwal gugatan Partai Gelora dan Buruh tentang Parliamentary Threshold di Pilkada serentak 2024. Dengan mengetahui amar keputusan MK yang bersifat final dan mengikat, langkah politik PKS lebih leluasa.
Jika pun ingin menangkap peluang Suswono menjadi Cawagub RK di pilkada Jakarta, PKS bisa negoisasi deklarasi dilakukan sebelum tanggal 27 Agustus. Dengan amar keputusan MK seperti itu, PKS bisa lebih jernih memutuskan tetap mengusung AMAN atau pilihan lain. Begitu juga halnya dengan pencalonan di Sumut dan lainnya. Apalagi suara mayoritas pendukung PKS di Jakarta, Sumut, dan banyak tempat lain, sejatinya ingin PKS beroposisi dan menjadi pengontrol kekuasaan. Apalagi, di koalisi Prabowo-Gibran sudah ada Partai Gelora yang “satu guru-satu ilmu” dengan PKS.
Pada posisi seperti itu, PKS bisa mengkapitalisasi sekitar 41 juta pemilih AMIN sebagai pendukungnya pada pemilu 2029 mendatang. Dengan 12,7 juta di antaranya pemilih PKS, berarti ada 28 juta pemilih AMIN non PKS. Jika PKS berhasil meraih simpati separuh atau sepertiganya saja, maka pada pemilu mendatang PKS bisa menjadi juara atau runner up.
Namun, nasi telah menjadi bubur. PKS gagal menjalankan komunikasi politik yang piawai dan ciamik. Semangat menggebu dan rasa percaya diri yang berlebihan membuat PKS menari di atas genderang yang ditabuh pihak lain. Lengkap sudah nasib nelangsa PKS. Oleh lawan politik ia dijauhi, bahkan pendukungnya yang marah memplesetkan menjadi “Partai Keluarga Solo”. Kawan-kawan aktivis yang bosan melihat tokoh PKS semakin menua dan itu-itu juga yang duduk di kursi parlemen memplesetkannya sebagai Partai Kader Sepuh. Kini, akronim PKS bertambah lagi dengan Partai Kasihan Sekali.
Namun, jalan lempang tidak berarti telah tertutup. Perhatikan firman Allah “Orang-orang yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti yang paling baik di antaranya. Mereka itu orang yang mendapat petunjuk dari Allah dan mereka itulah orang yang berakal” – QS. Az-Zumar:19
Jadilah bagian dari perjuangan Sabili
Bangun Indonesia dengan Literasi!