Allah Ta’ala berfirman:
“Di antara orang-orang mukmin itu ada orang-orang yang menepati apa yang telah mereka janjikan kepada Allah. Di antara mereka ada yang gugur dan di antara mereka ada (pula) yang menunggu-nunggu. Mereka sedikit pun tidak mengubah (janjinya).” – QS. Al-Ahzab:23
Setelah kaum mukminin melihat pasukan Ahzab di Perang Khandaq, maka mereka semakin yakin akan janji Allah sebagaimana telah kita bahas dalam tadabbur ayat 22 surah Al-Ahzab ini. Kemudian, Allah Ta’ala mengungkapkan sesuatu yang tadinya tak banyak diketahui, yaitu bahwa ada segolongan orang di kalangan mukminin yang bersumpah mati akan bertahan dalam jihad. Mereka bernadzar dan ketika masa itu datang mereka pun memenuhi nadzarnya. Ada dari mereka yang telah gugur dan ada pula yang masih menunggu. Dan selama masa itu tak satu pun dari mereka bergeser dari perjanjian mereka dengan Allah.
Sifat itu adalah kebalikan dari kaum munafik dan yang di hatinya ada penyakit di mana mereka juga berjanji kepada Allah tidak akan lari dari medan pertempuran, tetapi faktanya mereka malah lari dengan menyodorkan alasan yang dibuat-buat seperti digambarkan di ayat 12-13 surah Al-Ahzab ini, lalu mereka berjanji kepada Allah tak akan mundur, tetapi mereka mangkir sebagaimana diterangkan dalam ayat 15.
Kaum mukminin yang berjanji dari memenuhi janjinya kepada Allah itu bahkan benar telah mencium bau surga di Bukit Uhud, seperti yang dialami Anas bin Nadhr, paman dari Anas bin Malik, di mana dia tak ikut dalam Perang Badar dan itu jadi penyesalan buatnya, sehingga dia berjanji tak akan lagi ada perang bersama Rasulullah saw kecuali dia akan ikut di dalamnya. Maka, ketika pasukan kaum mukminin mulai terdesak dan banyak yang kocar-kacir akibat serangan balik Quraisy di bawah komando Khalid bin Walid, Anas bin Nadhr malah merangsek masuk dan ketika berpapasan dengan Sa’d bin Ubadah, ia mengatakan bahwa dia telah mencium bau surga di Bukit Uhud. Kisah lengkapnya diriwayatkan oleh Ath-Thabari dalam tafsirnya dan juga ada dalam musnad Imam Ahmad.
Penciuman Anas itu bukan ilusi tetapi benar-benar fakta yang hanya dia yang bisa merasakan sebagai salah satu karomah dari Allah, hingga akhirnya dia benar-benar menemuinya. Seperti itulah yang dirasakan oleh para mujahid di jalan Allah, sehingga mereka sedemikian berani, seakan sudah melihat surga di depan mata dan mereka songsong kesyahidan itu. Orang yang melihat menjadi ngeri karena banyaknya luka di tubuh mereka, tetapi mereka yang merasakan sebenarnya sedang menikmati.
Ayat ini memberikan kita contoh bagaimana generasi teladan yaitu salafus shalih menjalani hidup di atas syariat. Setiap orang pada hakikatnya menjalani syariat sesuai situasi, kondisi, dan domisilinya. Apa pun kondisi itu kita sejatinya tetap dalam perjanjian dengan Allah, yaitu setia menjalankan agama-Nya sesuai tuntutan. Jika dalam kondisi aman maka kita beribadah dan menjauhi maksiat, dalam kondisi musibah maka kita bersabar, dalam kondisi jihad maka kita wajib berjihad meski harus mengorbankan harta dan nyawa. Begitulah iman. Tidak seperti kaum munafik yang hanya mau enaknya saja tetapi tak mau mengorbankan apa pun demi kepentingan akhirat.
Begitulah para mujahidin. Mereka telah berjanji kepada Allah untuk teguh dalam jihad sampai mereka menang atau mati syahid. Ujung ayat ini menjadi kunci, yaitu kata (وَما بدلوا تبديلا) (mereka tidak mengubah sedikit pun janji itu), artinya mereka sama sekali tidak bergeser dari tekad mereka di jalan jihad itu walau apa pun yang menimpa. Pantang menyerah dan tak pernah gentar seberapa pun kekuatan musuh, karena toh tujuan utama mereka bukan memenangkan pertempuran tetapi menjalankan tugas dan janji kepada Allah untuk membela agama.
Yang bisa membuat teguh seperti ini tidak lain adalah tarbiyah ruhiyyah yang mendalam. Kalau tidak, maka betapa banyak yang akan berguguran di jalan jihad maupun dakwah, seperti halnya kaum munafik dan kaum lemah iman yang mereka bukan munafik tetapi iman mereka lemah sehingga mereka merasa lebih baik menyerah. Intinya satu hal, keikhlasan niat adalah yang utama. Kalau orang sudah berniat hanya karena Allah, maka dia tak akan peduli apa pun yang menimpa, karena dia yakin jalan yang dia tempuh itu diridhai Allah. Itu didapatkan dari pengetahuan atau ilmu agama yang dipelajari, sehingga dia bisa tahu mana jalan yang diridhai Allah dan mana yang tidak.
Tarbiyah ini memerlukan penempaan tazkiyatun nufus yang mendalam. Salah satu yang bisa merusaknya adalah maksiat. Kalau orang sering bermaksiat, maka imannya pun akan berkurang sehingga hatinya mudah goyah dengan ujian. Jika cepat futur, buruk sangka kepada Allah, maka itu pertanda iman lemah yang biasanya disebabkan adanya maksiat baik yang disadari maupun tidak.
Di situlah perlunya tazkiyatun nafs dengan memperbanyak amal Zahir semisal shalat malam, puasa sunnah, shalat Dhuha, sedekah Subuh, tilawatil Qur`an setiap habis shalat dan zikir mandiri. Sebab, amalan Zahir itu akan menguatkan amalan batin sehingga menjadi benteng dari godaan bermaksiat.
Jadilah bagian dari perjuangan Sabili
Bangun Indonesia dengan Literasi!