Penulis: Asep Setiawan (Jurnalis)
"Yuk kita mulai, nderes dulu" demikian perintah Ustadz Diding usai shalat Tarawih berjamaah di Langgar.
Sambil memegang tasbeh meneruskan bacaan "hizibnya", Ustadz Diding tampak begitu khusyu’. Dengan suara lirih dan mata terpejam, sesekali melirik sambil memperhatikan kami yang langsung disambut dengan suara keras, berlomba cepat membaca hafalan surat-surat pendek; qulhu, qulya, aroayta, alam taro, lam yakunil dll.
Demikian tradisi nderes masa kecil kami dahulu di kampung, atau tadarrusan bahasa sekarang.
Setelah dewasa baru kami faham, bahwa tadarrusan itu bukan sekedar membaca atau membunyikan bacaan Al Qur'an, atau memperbanyak bacaan Quran baik sendiri di rumah atau selepas shalat Taraweh di masjid, sebagaimana yang marak dikala Ramadhan, karena "pahalanya berlipat-lipat dibanding bulan-bulan lain, seperti bonus gede-gedean," demikian kata salah satu ustadz dalam kultumnya.
Ternyata makna tadarrus yang sesungguhnya, lebih sebagai aktifitas intelektual berupa mempelajari, memahami, merenungi, meneliti, memikirkan, men-tadabburi, dll. Mungkin juga dulu pak ustadz Diding telah memberi tahu itu, tapi maklum kami para anak didiknya yang bandel, tidak mengingatnya lagi.
Dalam bahasa arab, tadarrus berasal dari akar kata darosa درس dan mendapatkan perubahan wazan تفعل - تدرس.
Dimana dari kata dasar ini muncul berbagai kata lain yang menggambarkan aktifitas, pelaku, objek serta tempat yang berhubungan dengan aktifitas memahami seperti درس belajar, درسا pelajaran, دراسة/تدريس studi/kajian, مدرس guru, مدرسة sekolah, dan masih banyak kata lain yang semakna.
Bahkan, kata dasar ini tampaknya bukan asli bahasa Arab tapi akulturasi dari bahasa rumpun semitik (Arami/Ibrani). Seperti dikutip dari wikipedia, di mana muncul kata Midrash dalam kitab suci Yahudi yaitu Midras, Ibrani: מדרש, midrasy atau midrash; bentuk jamak midrashim, yang berarti "cerita" dari "mempelajari" atau "meneliti", etimologi midras dari "Qal" kata kerja Yahudi darash (דָּרַשׁ) "mencari, mempelajari, menanyakan".
Begitupula dalam Al Qur'an penggunaan kata درس digambarkan sebagai aktifitas intelektual, memahami, berpikir dan menyimpulkan.
Dengan demikian seharusnya ummat Islam saat ini selain memperbanyak tadarrusan dengan arti sekadar membaca, seharusnya lebih digaungkan pula semangat untuk memahami kandungan Al Qur'an.
Hanya dengan cara seperti inilah mungkin kita akan lebih bisa memahami fungsi Al Qur'an sebagai penuntun hidup kita (huda), bukan sekadar jadi bacaan sakral yang hanya dibaca kadang-kadang saja atau ketika Yasinan saat malam Jum'at atau saat ziarah kubur.
Atau jadi mahar karena dianggap menambah sakralitas akad nikah. Setelah itu seumur-umur Qur'an tidak pernah dibaca. Disimpan rapih di atas lemari, karena memang tak bisa membaca Qur'an, tidak pernah belajar Quran sejak kecil atau kalau belajar hanya sampai "Iqro”.
Ayo kita giatkan tadarrusan Al Qur'an. Yang baru belajar Iqro tidak usah malu. Mumpung masih sehat dan ada umur, mumpung lagi ada bonus gede-gedean seperti kata pak ustadz tadi.
Jadilah bagian dari perjuangan Sabili
Bangun Indonesia dengan Literasi!