Pada 1 Januari 2024, Future Perfect telah menerbitkan prediksinya untuk tahun 2024. Banyak hal menjadi tema perkiraannya. Dari jumlah unggas yang akan dimusnahkan karena flu burung hingga film mana yang akan memenangkan Oscar sebagai film terbaik dalam ajang Academy Award. Namun, tidak ada satu pun topik di dunia ini yang lebih penting untuk diprediksi selain siapa yang akan memenangi pemilu tahun ini.
Pasalnya, tahun 2024 akan menjadi tahun pemilu terbesar sepanjang sejarah dunia. Warga di lebih dari 60 negara yang mewakili lebih dari setengah populasi dunia akan memberikan suara mereka pada tahun 2024. Sekitar 4 milyar orang akan memberikan suara mereka dalam pemilihan presiden, legislatif, dan kepala daerah. Pemilu (pemilihan umum) tersebut akan berkisar mulai dari pemilu legislatif yang berlangsung beberapa hari di India (dan ini merupakan yang terbesar di dunia), pemilihan presiden di Indonesia yang dilaksanakan dalam satu hari (juga merupakan yang terbesar di dunia), hingga pemilu presiden di Makedonia Utara dengan populasi 2,1 juta penduduk.
Pemilu tahun 2024 akan mencakup pemungutan suara yang bebas dan terbuka, semisal pemilu presiden Islandia yang akan diadakan di negara paling demokratis ketiga di dunia, menurut Economist Intelligence Unit. Lalu, ada negara-negara dengan pemilu yang kurang bebas, semisal Korea Utara. Di antara kedua negara tersebut adalah sisa pemilu yang akan dilaksanakan pada akhir tahun 2024. Termasuk pemilihan Presiden Amerika Serikat. Pemilu di mana pemenang suara terbanyak sebenarnya ternyata kalah dalam dua pemilu dari enam kampanye terakhir. Pertaruhan dalam pemilu tahun 2024 juga akan sangat besar, tidak hanya bagi negara-negara yang akan melakukan pemilu, namun juga bagi dunia secara keseluruhan.
Demokrasi dalam Pemungutan Suara
Akankah Taiwan, yang akan mengadakan pemilu pada tanggal 13 Januari 2024, mengambil risiko meningkatkan kemungkinan perang dengan Tiongkok? Akankah Kongres Nasional Afrika, partai Nelson Mandela, akhirnya kehilangan kekuasaan di Afrika Selatan pasca-apartheid? Akankah Parlemen Eropa terus melihat peningkatan jumlah partai sayap kanan? Dan, ketika Donald Trump dan Joe Biden berhadapan lagi di AS, seperti yang diharapkan, apakah hasilnya akan berbeda dibandingkan tahun 2020?
Namun, AS bukanlah satu-satunya negara yang merasa bahwa tidak hanya tarif pajak atau kebijakan luar negeri yang akan dipertimbangkan pada tahun 2024, namun juga demokrasi itu sendiri. Pemilu pertama tahun 2024, yaitu pemilu parlemen di Bangladesh pada tanggal 7 Januari, bahkan tidak menampilkan partai oposisi utama, yang memboikot kampanye tersebut karena klaim bahwa pemilu tersebut akan dikompromikan.
Baca juga: Prof. Dr. Din Syamsuddin: “Dari Debat Pilpres Tampak Perbedaan Watak Pemimpin”
Dua pemilu terbesar tahun ini akan ada di India dan Indonesia. Proses pemilu di dua negara tersebut akan dibayangi oleh para pemimpin yang dipilih secara demokratis di negara-negara tersebut, yang konon katanya semakin otokratis dalam pemerintahannya. Menurut laporan Keadaan Demokrasi Global dari International IDEA, setengah dari seluruh negara telah mengalami penurunan setidaknya dalam satu indikator demokrasi selama lima tahun terakhir.
Anggap saja hal ini sebagai paradoks demokrasi. Meskipun pada tahun 2024 akan semakin banyak orang yang melakukan tindakan paling mendasar dalam demokrasi (memberikan suara), namun demokrasi itu sendiri tak jarang malah terasa lebih rentan. Seperti yang dikatakan oleh pemenang Nobel Perdamaian dan jurnalis investigasi, Maria Ressa, kepada Politico baru-baru ini. “Kita akan tahu apakah demokrasi hidup atau mati pada akhir tahun 2024,” ujarnya.
Namun, sebelum kita menulis batu nisan demokrasi, ada baiknya kita menyadari betapa luar biasa dan gegap gempitanya milyaran orang di seluruh dunia karena akan memiliki kesempatan untuk membantu memilih pemimpin mereka.
Demokrasi Masih Berada pada Tahap Awal
Melansir dari laman Our World in Data, hampir separuh negara di dunia merupakan negara demokrasi elektoral, yang berarti negara tersebut menyelenggarakan pemilu multi-partai, bebas, dan adil. Dari negara-negara tersebut, hanya 10 negara yang telah menjadi negara demokrasi selama 91 tahun atau lebih. Dua kali lipat jumlah negara yang telah menjadi negara demokrasi selama 18 tahun atau kurang.
Hal itu berarti bahwa banyak pemilih yang akan memberikan suara pada tahun 2024 telah menghabiskan setidaknya beberapa tahun mereka di bawah pemerintahan otokrasi. Termasuk di negara-negara semisal Indonesia, Afrika Selatan, dan Meksiko. Menurut Our World in Data, lebih banyak negara yang menganut paham demokrasi dibandingkan otokrasi.
Jika kita kembali ke masa lalu, kita akan menyadari betapa mutakhirnya segala bentuk pemerintahan demokratis. Pada tahun 1800, tidak ada negara demokrasi yang sejati, dan kurang dari 4 persen negara yang termasuk dalam “otokrasi elektoral”, yang berarti pemilu memang sudah ada, namun dibatasi dengan cara yang sekarang ini kita anggap sebagai “tidak bebas”.
Baca juga: TikTok Jadi Media Kampanye yang Efektif untuk Memikat Suara Generasi Muda
Misalnya AS. Meskipun sudah ada pemilu sejak didirikannya negara itu, pemilu di Amerika Serikat pada tahun 1800 sebagian besar hanya terbatas pada orang kulit putih yang memiliki harta. Dan baru setelah revolusi hak-hak sipil pecah pada tahun 1960-an, AS bisa dianggap sebagai negara demokrasi yang benar-benar bebas.
Gagasan bahwa manusia mempunyai hak untuk memilih pemimpin mereka sendiri adalah gagasan yang jauh lebih baru daripada yang kita sadari. Gagasan tersebut masih jauh dari sempurna. Sama halnya dengan negara-negara demokrasi yang seringkali gagal mencapai cita-citanya. Dan mengingat banyaknya kemunduran demokrasi yang terjadi saat ini, baik di negara-negara demokrasi baru seperti Indonesia, maupun di negara-negara demokrasi lama seperti Amerika Serikat, hal ini berisiko memberikan pengalaman tentang kemunduran yang lebih parah lagi di masa depan.
Jadilah bagian dari perjuangan Sabili
Bangun Indonesia dengan Literasi!