Jika tak mampu berjihad, maka semangati jihad. Bukan mencela mujahid. Setidaknya begitulah yang dipahami dari pernyataan Abdurrahman As-Si'di ketika menafsirkan surah At-Taubah ayat 91-92 dalam Tafsirnya yang terkenal, Taisir al-Karim Ar-Rahman.
Beliau mengatakan, "Mereka (yang lemah tak mampu jihad ini) tidak berdosa, dengan syarat mereka menginginkan kebaikan untuk Allah dan Rasul-Nya. Tetapi mereka harus jujur dalam imannya dan mereka sungguh berniat kalau mampu akan ikut jihad. Serta Hendaknya Mereka Melakukan Apa yang Mereka Mampu Berupa Menganjurkan, Men-support dan Menyemangati Jihad". (Taisir Karim Ar-Rahman atau Tafsir As-Si’di, tahqiq Abdurrahman Al-Luawaihiq, terbitan Darus Salam, halaman 398).
Sebelumnya ada Ibnu Katsir yang menafsirkan ayat ini juga dengan menyebutkan hal senada. Beliau berkata, “Kemudian Allah Ta’ala menjelaskan pemilik uzur yang tidak mengapa mereka tak ikut berperang. Disebutkan di sana ada hal yang memang melekat pada seseorang tak terpisah darinya, yaitu kelemahan dalam tubuh membuatnya tak mampu berjihad seperti buta, pincang, dan lainnya. Makanya Allah memulai dengan penyebutan itu.
Serta ada pula uzur yang baru datang seperti sakit yang menghalanginya keluar di jalan Allah, atau karena miskin tak punya persiapan untuk perang. Mereka tidak berdosa tak ikut jihad asalkan mereka menginginkan kebaikan pada saat duduknya mereka. Tidak Menakuti Orang dengan Kekalahan Mujahidin (Irjaf) dan Tidak Pula Menggembosi Mereka (Tatsbith). Mereka selalu berbuat baik meski tidak ikut perang.” (Tafsir Ibnu Katsir terbitan Dar Ath-Thiibah jilid 4 halaman 198).

Lalu bagaimana dengan yang sehat tetapi menghina jihad dan para mujahidin dengan mengatakan mereka jihad di jalan setan, penyebab kehancuran, pengacau kawasan dan lain sebagainya, padahal mereka menjalani fardhu 'ain atas diri mereka karena musuh telah memasuki dan menjajah wilayah mereka? Mereka jelas mengamalkan sikap orang-orang munafik persis seperti yang diceritakan Allah dalam banyak ayat di surah At-Taubah dan Al-Ahzab.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mencurahkan isi hatinya berdasarkan tadabbur ayat-ayat itu demi melihat sendiri sikap seperti itu terjadi di masanya ketika negeri kaum Muslimin hendak diserang oleh Tartar. Di dalam Majmu’ Fatawa-nya, ulama kelahiran tahun 661 Hijriyyah bertepatan 1263 Masehi ini mendeskripsikan kepanikan yang terjadi di Damaskus setelah berita Tartar akan menyerang. Ibnu Taimiyah curhat dengan tadabbur surah Al-Ahzab, di ayat 19 Allah menggambarkan munafik itu mengecam kaum mukminin dalam para peristiwa Khandaq atau Ahzab dengan lisan yang keras (سَلَقوكُمْ بِأَلْسِنَةٍ حِداد).
Ibnu Taimiyah mengatakan, "Kadang munafik ini mengatakan kepada kaum mukminin, 'Ini yang terjadi pada kita lantaran kesialan kalian, kalianlah yang mengajak orang pada agama ini dan berperang karenanya, lalu sekarang kalian menyelisihi mereka'. Inilah perkataan orang munafik kepada para sahabat.
Kadang pula mereka mengatakan, 'Kalianlah yang telah mengisyaratkan kepada kami untuk berada di sini dan tetap bertahan di perbatasan ini sampai saat ini. Kalau bukan karena kalian, kami tentu sudah jalan-jalan dan tak terkena kesusahan seperti sekarang'.
Kadang pula mereka mengatakan, 'Kalian ini ya, sudah sedikit kondisi lemah tetapi masih ngoyo mau mengalahkan musuh. Kalian itu tertipu dengan ajaran agama kalian'. Ini seperti yang difirmankan Allah dalam surah Al Anfal ayat 49.
Kadang pula mereka mengatakan, 'Kalian ini gila, ya! Tak punya akal. Kalian ingin mencelakakan diri kalian dan orang yang bersama kalian'." (Majmu’ Fatawa jilid 28 halaman 457).

Di dalam bukunya yang lain, yaitu kitab Al-Istiqamah, Ibnu Taimiyah berkata, “Puncak dari itu adalah jihad di jalan Allah, karena dia adalah hal tertinggi dari apa yang disukai Allah dan Rasul-Nya. Pencelanya banyak, karena banyak manusia yang punya iman pun tidak suka jihad. Mereka itu bisa berbentuk mukhadzdzdilun yang melemahkan semangat dan keinginan untuk perang, bisa pula berbentuk murjifun yang terlalu underestimate terhadap kekuatan sendiri, dan itu semua termasuk kemunafikan.” (Al-Istiqamah, tahqiq Muhammad Rasyad Salim, jilid 1 halaman 265).
Lalu beliau menyebutkan surah Al-Ahzab ayat 18 dan ayat 60.
Membaca penjelasan Ibnu Taimiyah ini kok terbayang wajah para da’i yang mengatasnamakan manhaj salaf tetapi malah menggembosi bahkan menghina jihad yang sedang terjadi di negeri kaum muslimin termasuk di Gaza, saat para mujahidin menegakkan puncak tertinggi Islam yang menjadi fardhu ‘ain atas mereka. Mereka betul mengikuti salaf, tetapi salaf mereka bukan Muhajirin dan Anshar melainkan Abdullah bin Ubay bin Salul dan Kawan-kawannya. Sungguh kemunafikan itu nyata dan selalu ada di setiap masa, meski dengan fragmen dan plot yang berbeda.
Oleh: Anshari Taslim (Mudir Pesantren Bina Insan Kamil Jakarta)

Jadilah bagian dari perjuangan Sabili
Bangun Indonesia dengan Literasi!