Beberapa waktu yang lalu, slogan “Peringatan Darurat Indonesia” membanjiri lini masa media sosial di Indonesia. Berbagai elemen masyarakat kemudian bergerak “turun ke jalan” sebagai tanggapan terhadap “Peringatan Darurat Indonesia” itu. Mereka menanggapi rencana revisi putusan MK ihwal Pilkada oleh Baleg DPR. Hal ini pun diikuti peristiwa demonstrasi yang terjadi pada Kamis (22/8/2024) dan digelar kembali di sejumlah titik pada Jum’at (23/8/2024), seperti diungkap M. Hanafi dalam artikel berjudul “Peringatan Darurat: Batalkan RUU dan Aksi Kekerasan Polisi”, 23 Agustus 2024, yang dimuat di https://www.dw.com/id/peringatan-darurat-batalkan-ruu-dan-aksi-kekerasan-polisi/a-70024989.
Awalnya demonstrasi berjalan dengan tertib. Namun, pada waktu tertentu kericuhan menyeruak. “Ada kejadian!”, “Medis, tolong beri jalan!”, “Hati-hati! Hati-hati! Hati-hati provokasi!”, “Anggota maju, pindahkan motor, buka jalan!”, dan suara-suara teriakan lainnya menjadi penanda peristiwa, ketika aparat kepolisian mulai bergerak membubarkan massa. Hal itu diungkap H. Caniago, F.U. Himawan, Y. Saputra, Akmal D. Amri, dalam “Mengapa Garuda Pancasila Digunakan dalam ‘Peringatan Darurat Indonesia’ dan Demonstrasi di DPR?”, https://www.bbc.com/indonesia/articles/cpdlj0x9yyjo, 22 Agustus 2024.
Tembakan gas air mata, penganiayaan fisik semisal pemukulan dengan benda keras, pengeroyokan, pengepungan, pengejaran, dan penyisiran terhadap massa yang telah membubarkan diri, serta intimidasi verbal, penggunaan water-canon (menurut artikel N.M. Achmad dan B. Santosa, “Aksi ‘Peringatan Darurat’ dan Kekerasan Aparat yang Berulang”, https://nasional.kompas.com/read/2024/08/23/11002901/aksi-peringatan-darurat-dan-kekerasan-aparat-yang-berulang?page=all), hingga pelarangan liputan (D. Ripaldi, “Aliansi Masyarakat Sipil Jabar Kecam Kekerasan Polisi saat Demo Peringatan Darurat di Bandung, https://www.liputan6.com/regional/read/5683297/aliansi-masyarakat-sipil-jabar-kecam-kekerasan-polisi-saat-demo-peringatan-darurat-di-bandung?page=3, 26 Agustus 2024) mewujud dalam kekacauan kala itu. Cuplikan kejadiannya tidak sedikit tersebar di media sosial, diantaranya @narasitv yang membagi video/tayangan aparat melakukan berbagai kekerasan kepada masyarakat sipil; @tanah.merdeka juga membagi video/tampakan aparat melayangkan tendangan sambil melompat ke salah satu demonstran berbaju hitam, pun beberapa pukulan menggunakan tongkat dari petugas berbaju coklat (H. Attar, “Aparat Masih Pakai Kekerasan terhadap Jurnalis dan Demonstran di Aksi Peringatan Darurat”, diakses dari https://nu.or.id/nasional/aparat-masih-pakai-kekerasan-terhadap-jurnalis-dan-demonstran-di-aksi-peringatan-darurat-NxmsD, 23 Agustus 2024).
Tak aneh jika catatan Amnesty International menyebut bahwa peristiwa tersebut bukan insiden pertama penggunaan kekerasan oleh polisi dalam “pengamanan” unjuk rasa (Amnesty International, “Indonesia: Unlawful Use of Force During #EmergencyWarning Protest a ‘blatant disregard’ of The Right to Protest”, diakses dari https://www.amnesty.id/kabar-terbaru/siaran-pers/indonesia-unlawful-use-of-force-during-emergencywarning-protests-a-blatant-disregard-of-the-right-to-protest/08/2024/, 23 Agustus 2024). Hingga tenggat hari ini pun masih dapat ditemui peristiwa yang serupa-sepola.
Seturut hal tersebut, Komnas HAM dan Amnesty International Indonesia telah merilis data yang menyimpulkan bahwa penyiksaan masih menjadi praktik umum di Kepolisian. Komnas HAM mencatat 176 laporan kasus penyiksaan oleh polisi saat pemeriksaan tersangka/tahanan antara Januari 2020 hingga Juni tahun ini. Amnesty International Indonesia menemukan 15 kasus penyiksaan antara 2021–2022, bahkan jumlahnya meningkat dua kali lipat pada 2023–2024 (The Jakarta Post, “Ending Police Violence”, 1 Juli 2024, https://www.thejakartapost.com/opinion/2024/07/01/ending-police-violence.html). Sementara itu, KontraS telah mendokumentasikan 645 kejadian kekerasan polisi dari Juli 2023 hingga Juni 2024 serta mencatat sekitar 187 orang meninggal dunia dan 1.363 orang terluka sepanjang Juli 2023 sampai Juli 2024 (A. Firdaus, “Report: Dozens Dead, Hundreds Injured from Indonesian Police Abuses in Past Year”, 1 Juli 2024, https://www.benarnews.org/english/news/indonesian/report-dozens-dead-hundreds-injured-indonesian-police-abuses-past-year-07012024151617.html). Wajar, jika ada singgungan, bahwa alih-alih bertindak untuk menjaga ketertiban dan keamanan, aparat kepolisian justru menjadi alat untuk membungkam massa.
Jika ditilik dari istilahnya, perilaku ini dapat melingkupi tiga istilah. Di antaranya, police violence yang mengacu pada konsep penggunaan paksaan fisik, seksual, psikologis, atau bentuk lain dari kekerasan, melampaui kebutuhan serta ekspektasi pekerjaan. Pun excessive force, lantaran mengakui peran kekuatan yang sah dalam pemolisian, dan mengakui bahwa kekuatan ini dapat diterapkan secara tidak tepat tanpa membuat penilaian tentang kesengajaannya. Juga police brutality, sebab mengakui adanya ekses namun menempatkan penekanan pada bahaya dan kekejaman dari insiden kekerasan tersebut (J.E. De Vylder, D.M. Anglin, L. Bowleg, L. Fedina, B.G. Link, “Police Violence and Public Health”, The Annual Review of Clinical Psychology, 2022). Dengan dalih konvensionalnya, kekerasan polisi berarti reaksi terhadap kekerasan yang dihadapi mereka, atau respon untuk mengatasi situasi yang harus mereka kendalikan.
Iya, berkaca via pendekatan politik, kekerasan polisi justru lebih mungkin terjadi ketika terdapat perpecahan rasial-ekonomi bersamaan konsekuensi politik yang kronis. Artinya, kekerasan polisi biasanya muncul di tempat yang secara ekonomi bertingkat (dengan persentase minoritas lebih besar) atau saat suatu kelompok dirugikan oleh ancaman dari kelompok rasial-ekonomi liyan. Sementara itu, terdapat juga hipotesis reaktif yang membilang bahwa penggunaan excessive force oleh polisi kemungkinan terjadi di mana mereka harus mengontrol populasi/massa, atau bereaksi terhadap kondisi yang mengganggu pekerjaan mereka (D. Jacobs, “The Determinants of Deadly Force: A Structural Analysis of Police Violence”, American Journal of Sociology Vol. 103 No. 4, 1998). Namun nahasnya, fenomena kekerasan polisi acapkali membuat korban masyarakat sipil berjatuhan, dan menurut Adji (1998), tak jarang perilaku polisi yang dikritik ialah tindakan penggunaan kekerasan dalam menjalankan tugasnya.
Baker kemudian melacak akar permasalahan ini. Ia sebut dalam disertasinya, bahwa proses demokratisasi di Indonesia (yang berkaitan erat dengan reformasi sektor keamanan) hanya menghasilkan reorganisasi aparatus koersif negara. Akibatnya, demokratisasi dan pemisahan dari militer hanya menyebabkan polisi menjadi aktor politik dan bernyali untuk memperbaiki posisinya sendiri. Bersambung tulisannya untuk Indonesia di Melbourne, Baker menyatakan reformasi kepolisian terancam telah “mati”, karena elit politik tidak memiliki insentif untuk mereformasi lembaga tersebut (S. Mulyartono, “Can Indonesia Ever Put an End to Police Violence?”, 30 November 2022, https://indonesiaatmelbourne.unimelb.edu.au/can-indonesia-ever-put-an-end-to-police-violence/). Tetapi, faktor sejarah dan budaya bukanlah satu-satunya penentu perilaku kekerasan ini.
Tidak bisa dimungkiri, polisi sering kali berada di bawah tekanan agar dalam menjalankan tugasnya tanpa kegagalan. Dan tekanan ini datang dari pelbagai arah. Alhasil, polisi terdorong pada kondisi hilangnya kontrol, kesabaran, dan kehati-hatian. Faktor/penyebab kekerasan ini, menurut Teori Weber, terkemuka lantaran perilaku manusia merupakan konsekuensi dari sejumlah pandangan atau doktrin yang ada di kepala pelaku (H. Abdurrachman, F.A. Sudewo, “The Use of Violence in Indonesian Police Investigation”, 2018, International Journal of Engineering & Technology Vol. 7 No. 3). Kita sebagai masyarakat percaya, penggunaan kekerasan adalah sesuatu yang luar biasa dan tidak boleh menjadi norma. Pun terdapat batasan, bahwa penggunaan kekuatan fisik/senjata polisi hanya dalam keadaan darurat. Ketika kekuatan digunakan secara berlebihan, maka kekerasan meretas menjadi bagian dari pekerjaan polisi, sekaligus telah menjadi fungsional dalam pelaksanaan tugas mereka.
Oleh sebab itu, ada urgensi untuk terus menyoroti kebijakan dan pendekatan klinis yang dapat secara efektif menangani kasus kekerasan polisi. Modelnya harus dipertimbangkan dengan hati-hati, sebagaimana pesan Ellis (1981), sehingga berpotensi untuk melawan police brutality (A. N. Jackson, L. Fedina, J. DeVylder, R.P. Barth, “Police Violence and Associations with Public Perceptions of the Police”, 2021, Journal of the Society for Social Work and Research, Volume 12, No. 2). Penelitian dan evaluasi terus diperlukan, guna memberikan bukti mengenai efektivitas dan dampak keseluruhan dari model tersebut, serta perbandingannya dengan pendekatan yang sudah ada maupun inovasi gerakan masyarakat dalam menangani kekerasan polisi. Di dalam konteks menata ulang pemolisian dan sistem hukum negara, penting untuk memertahankan kesadaran yang berkelanjutan atas akar sejarah pemolisian, militerisasi penegakan hukum, dan peningkatan kekerasan polisi dalam berbagai bentuknya.
Jadilah bagian dari perjuangan Sabili
Bangun Indonesia dengan Literasi!