Tanya:
Assalamu’alaikum wa rahmatullahi wa barakatuh.
Ustadz, saya bekerja di perusahaan penangkapan ikan. Saya ingin bertanya, apakah hasil laut ini wajib dizakati? Terima kasih.
MF. Rizki, Jakarta.
Jawab:
Wa‘alaikum salam wa rahmatullahi wa barakatuh.
Ikan hasil tangkapan nelayan atau perusahaan besar dari laut maupun sungai atau danau tidak wajib dizakati berdasarkan kesepakatan para ulama, kecuali pendapat Umar bin Abdul Aziz, tetapi tidak ada ulama fikih setelah Umar yang mendukungnya.
Ini khusus ikan atau hasil laut yang memang tersedia di laut atau perairan darat. Berbeda halnya dengan ikan hasil tambak atau budi daya, yang mana bibit dibeli lalu digemukkan untuk dijual lagi. Maka, ini kena hukum zakat perdagangan.
Jadi, kalau ada nelayan atau perusahaan penangkap ikan atau hasil laut lainnya lalu menjual hasil itu ke pasar, maka yang dikenakan zakat hanyalah uang hasil penjualannya sesuai ketentuan zakat uang atau zakat emas-perak. Jika sampai nishabnya 200 dinar atau sekitar 85 gram emas dan disimpan selama setahun masih di atas batas nishab itu sejak menerima, barulah dikeluarkan zakatnya.
Referensi:
1. Ibnu Hazm dalam kitab Maratib Al-Ijma’ halaman 39:
“Aku tidak mengetahui ada perbedaan pendapat ulama bahwa ikan tangkapan nelayan tidak wajib dizakati.”
2. Abu Ubaid dalam kitab Al-Amwaal 1/471-472:
“Abdurrahman bin Mahdi menceritakan kepada kami, dari Sallam bin Abi Muthi’, dari Yunus bin Ubaid, dia berkata, Umar bin Abdul Aziz menulis kepada pegawainya di Oman, ‘Jangan ambil zakat dari ikan sampai jumlahnya senilai 200 dirham’, Abdurrahman bin Mahdi melanjutkan, Aku yakin lanjutannya adalah ‘kalau sudah sampai 200 dirham maka ambillah zakatnya’.”
Abu Ubaid mengomentari, Umar berpendapat begitu karena dia beranggapan apa yang didapat dari laut sama dengan barang tambang dari darat. Untuk barang tambang, bagi Umar bin Abdul Aziz wajib zakat dan dia menganalogikannya di sini. Padahal, pendapat orang-orang tentang ikan tidak seperti itu dan belum kami ketahui ada yang mengamalkannya. Yang menjadi khilafiyyah hanya masalah ‘anbar dan mutiara yang kebanyakan ulama menganggap tidak wajib zakat atas keduanya, sebagaimana diriwayatkan dari Ibnu Abbas dan Jabir. Inilah yang menjadi pendapat Sufyan dan Malik.
Banyak yang mendapatkan ikan dari laut di masa Rasulullah saw tetapi tidak kita dapati sunnah mengeluarkan zakat untuk itu, tidak pula dari seorang pun khulafa` rasyidin berdasarkan riwayat yang sahih. Maka, kami berpendapat ini termasuk yang dimaafkan sebagaimana tidak ada zakat pada budak dan kuda.
3. Al-Imam Asy-Syafi’i dalam kitab Al-Umm 3/98 (Dar Al-Wafa):
“Demikian pula tidak ada khumus pada Mutiara, dan tidak ada zakat pada apa pun yang didapat dari laut berupa permata dan juga tangkapannya buruannya.”
4. Ibnu Qudamah (Hanbali) dalam Al-Mughni 4/245:
“Ada pun ikan, maka tidak wajib zakat berdasarkan pendapat semua ulama kecuali ada sedikit riwayat dari Umar bin Abdul Aziz.”
5. Fatawa Hindiyyah (madzhab Hanafi) 1/185:
“Tidak ada zakat pada yang dikeluarkan dari laut seperti ‘anbar (batu dari ikan paus), mutiara dan ikan.”
6. Ibnu al-‘Arabi (madzhab Maliki) dalam tafsir Ahkam Al-Qur`an (2/152, Dar Al-Kitab Al-Arabi tahun 2000):
“Karena dia merupakan hasil laut sehingga tidak wajib dikeluarkan zakat, asalnya adalah ikan. Inilah fikih yang benar karena laut tidaklah berada di tangan orang kafir sehingga berlaku padanya hukum ghanimah. Dia hanyalah tempat yang mubah secara mutlak seperti halnya buruan.”
Dijawab oleh Ustadz Anshari Taslim, Lc (Mudir Pesantren Bina Insan Kamil, DKI Jakarta).
Bagi pembaca setia Sabili.id yang ingin mengajukan pertanyaan seputar kaidah hukum Islam, silakan mengirimkan pertanyaannya ke meja redaksi kami melalui email: [email protected]

Jadilah bagian dari perjuangan Sabili
Bangun Indonesia dengan Literasi!