Pengunduran diri secara mendadak Airlangga Hartarto dari kursi Ketua Umum Partai Golkar pada 11 Agustus 2024 mengejutkan publik dan memunculkan spekulasi terkait alasan di balik keputusan tersebut. Sprekulasi pun bermunculan terkait sejumlah faktor yang kemungkinan menjadi pendorong. Mulai dari tekanan hukum hingga kompromi politik yang melibatkan kekuasaan besar di Indonesia.
Alasan Mundur
Isu dugaan korupsi yang melibatkan Airlangga dalam kasus pemberian fasilitas ekspor minyak sawit mentah pada tahun 2023 mungkin menjadi salah satu alasan utama pengunduran dirinya. Kasus ini menimbulkan spekulasi bahwa Airlangga menerima tekanan besar, yang pada akhirnya memaksa dia untuk mundur.
Di dalam konteks ini, pakar hukum Refly Harun pernah mengatakan, “Ketika pemimpin politik menghadapi masalah hukum serius, posisi mereka dalam partai menjadi rentan, dan sering kali mereka dipaksa untuk mundur demi menjaga citra partai.”
Tentu pendorong dan motif tekanan bisa berbeda-beda. Selain tekanan hukum, ada kemungkinan kuat bahwa pengunduran diri Airlangga Hartarto merupakan hasil kompromi politik untuk menjaga stabilitas dan kesinambungan kekuasaan di Indonesia.
Sebagai seorang politisi berpengaruh, Airlangga bisa saja dipaksa mundur untuk memberikan jalan bagi kepentingan politik yang lebih besar. Di dalam hal ini, langkah Airlangga memungkinkan sosok seperti orang penting atau proxy-nya, yang didukung oleh orang kuat, untuk mengambil alih kepemimpinan Golkar.
Pengamat politik, Mada Sukmajati, menekankan bahwa “Pergeseran kepemimpinan dalam partai besar seperti Golkar sering kali bukan hanya soal individu, melainkan juga tentang bagaimana kekuasaan dan pengaruh diatur di antara elite politik.”
Implikasi bagi Golkar dan Demokrasi
Jika benar ada skenario kompromi politik, maka ada indikasi bahwa langkah ini dirancang untuk memuluskan ambisi seseorang atau sekelompok orang untuk tetap berkuasa atau memegang kendali di Indonesia. Golkar, sebagai salah satu partai politik terbesar di Indonesia, memiliki sejarah panjang dalam menjadi kendaraan politik bagi elite yang ingin mempertahankan kekuasaan mereka.
Analisis ini diperkuat oleh pendapat Michael Buehler, seorang ahli politik dari Northern Illinois University. Buehler pernah mengatakan, “Partai-partai politik di Indonesia cenderung berfungsi sebagai alat bagi elite untuk menjaga kontrol atas pemerintahan, dan tidak jarang terjadi pergeseran kekuasaan yang dramatis dalam rangka tujuan tersebut.”
Implikasi dari pengunduran diri Airlangga terhadap masa depan Golkar bisa sangat signifikan. Pertama, Golkar mungkin menghadapi periode ketidakstabilan internal, terutama jika pergantian kepemimpinan tidak diterima dengan baik oleh semua faksi dalam partai. Hal ini bisa menyebabkan perpecahan internal dan melemahkan partai menjelang pemilu mendatang.
Kedua, langkah ini juga berpotensi memengaruhi dinamika politik nasional. Jika benar ada kompromi politik yang melibatkan elite yang berkuasa, maka ini bisa menjadi preseden buruk bagi demokrasi Indonesia.
Pakar politik dari Amerika Serikat, Edward Aspinall, pernah memperingatkan, “Kompromi elite yang dilakukan tanpa memperhatikan proses demokratis dapat mengikis kualitas demokrasi dan memperkuat oligarki dalam sistem politik."
Secara keseluruhan, pengunduran diri Airlangga Hartarto bisa dilihat sebagai bagian dari upaya besar untuk merestrukturisasi kekuasaan di Indonesia. Ekses domino dari langkah ini mungkin termasuk meningkatnya ketidakpastian politik, melemahnya Golkar sebagai kekuatan politik utama, dan penurunan dalam indeks demokrasi Indonesia.
Jika tren ini berlanjut, masa depan politik Indonesia bisa semakin didominasi oleh kepentingan elite, yang pada akhirnya merugikan proses demokratisasi dan stabilitas dalam jangka panjang.
Jadilah bagian dari perjuangan Sabili
Bangun Indonesia dengan Literasi!