Hanya Karena Tuli Seseorang tak Harus Menjadi Bodoh

Hanya Karena Tuli Seseorang tak Harus Menjadi Bodoh
Ilustrasi buku berdamai dengan sunyi / sabili.id

Penulis: Amin Idris (Kolomnis)

Seorang anak perempuan usia dua tahun. Sedang manis-manisnya. Sedang indah-indahnya untuk ditimang. Ayahnya berpendidikan tinngi, jebolan perguruan tinggi luar negeri. Ibunya tamatan universitas terbesar di negeri ini. Mereka keluarga terpandang. Tentang anak ini, pasti ada harapan dan cita-cita yang tidak kecil dari kedua orang tuanya.

Anak itu Bernama Amatullah Basiimah.

Tiba-tiba Basiimah kecil harus ditinggal sementara. Kedua orangtuanya berangkat ke Makkah untuk menunaikan ibadah haji. Selama di tanah suci, waktu-waktu senggang pasti teringat si manis yang dititip bersama kakek-neneknya. Abi dan ummi yang jauh di Makkah sudah mulai pilih oleh-oleh yang pantas untuk si buah hati.

Berita dari sang nenek tiba-tiba amat mengejutkan. Nenek yang sudah amat berpengalaman mendampingi pertumbuhan anak merasa curiga. Respon Basiimah dinilainya agak lambat. Suara petasan pun tidak membuatnya kaget. It must be something wrong.

Suasana indah berselimut rindu itu tiba-tiba berubah. Basimah dibawa ke dokter spesialis. Ternyata ia mengalami tuli permanen. Alangkah terkejutnya orang tuanya mendengar berita itu. Mereka yang saat itu sedang berada di kaki Ka’bah lalu bersimpuh, menangis, menumpahkan semua air mata dan semua kegalauannya.

Orang tua mana yang sedang merindu tiba tiba anak yang dirindukannya diberitakan tak punya pendengaran. Orang tua mana yang tidak menangis ketika pertama kali tahu ternyata anaknya tuli.

Kisah tentang Amatullah Basiimah ini diangkat oleh Amin Idris ke dalam sebuah buku. Tidak sendiri ia menuliskannya. Bersama Imran Nasution, Zaenal Arifin dan Chotim Wibowo mereka menuturkan problematika perjalanan waktu Basiimah ini yang kemudian diterbitkan Yayasan Mitra Insani.

Jadi kalau anda saksikan saat ini Basiimah berprestasi, itu bukan sebuah wujud dari pekerjaan main-main.

Basiimah, Heri Koswara ayahnya dan Nur Indah Harahap ibunya, menjadi sebuah tim yang kompak tanpa rekayasa. Mencarikan sekolah, mengantarkannya pulang pergi setiap hari selama bertahun-tahun lalu memilihkan kegiatan yang cocok, memantau kesehatannya, mencarikan teman sepermainan dan semua kebutuhannya.

Pertama, tim ini mencoba melawan tuli yang dialami Basiimah. Orang tuanya menjelajah dunia mencari solusi terbaik agar Basiimah bisa menedengar. Sebuah teknologi terkini tentang pemasangan inplan pada telinga menjadi harapan. Teknologi ini konon bisa membuat tuli permanen bisa mendengar kembali.

Alat ini bukan alat bantu dengar biasa. Ia ditanam di dalam gendang telinga. Pemasangannya pun melalui tindakan operasi.

Sebagai temuan baru pada saat itu, Rumah Sakit dan dokter yang bisa memasang pun masih langka. Harganya, wow .. cukup mahal.

Rupanya alat terpasang hanya beberapa waktu saja. Fakta berbeda seratus delapan puluh derajat dengan kenyataan. Tubuh Basiimah menolak alat tersebut. Ia sering panas dan pendengaran pun tetap saja tidak terobati. Cabut lagi.

Alkisah setelah selesai studi di Santi Rama di Jakarta Pusat, Basiimah harus memilih SMP. Sekolah Inklusif jadi pilihannya. Namun apa yang terjadi, di sekolah inklusif pun anak seperti Basiimah tidak punya tempat yang nyaman. Dari sekolah ini Basiimah keluar.

“Kami menemukan The Litle Hijabi yang dibangun Bunda Galuh,” kata Nur Indah Harahap, ibunya Basiimah. Lupakan Upaya untuk bisa mendengar. Di sini anak tuli dibangun mentalnya. Tuli bukan kelemahan fatal yang menghancurkan harapan dan kehidupan. Karena tuli tidak harus menjadi bodoh.

Anak-anak diajarkan bahasa isyarat. Dengan isyarat, anak yang tuli bisa menjalin komunikasi, berinteraksi sesama anak tuli dengan nyaman. Di sini mereka membangun komunitasnya. Basiimah pun bergabung di sini. Sambil mengambil program SMP Homeschooling.

Kalau awalnya Basiimah berusaha melawan sunyi yang ia alami dengan memasang Implan dan berusaha untuk bisa mendengar, di fase ini ia justru menyatakan berdamai dengan sunyinya. Ia menikmati. Bahkan dalam kesaksiannya, ia merasa beruntung.

Dalam sunyi ia tidak mendengar hal-hal buruk, suara-suara kotor dan aman dari berbagai pergunjingan yang sia-sia.

Basimah bersama timnya pun membangun intelektualitas, membangun spiritualitas. Hanya karena tuli ia tidak mau menjadi bodoh.

Dan hanya dalam waktu kurang dari 20 tahun Basiimah berhasil menorehkan karya sejarah sebagai salah seorang penyusun mushaf Al-Quran untuk kaumnya, kaum tuli.

Pada Desember 2022 sebuah Alquran isyarat diluncurkan oleh LPMQ Kemenag sebagai satu-satunya mushaf bacaan untuk orang tuli. Ada peran Basiimah yang cukup kuat di sini.

Buku Basiimah Berdamai Dengan Sunyi, lebih bermakna sebagai sebuah catatan bagi orang tua agar tidak putus asa jika mendapati anak yang berkekurangan. Karena di balik kekurangan Basiimah, ada hikmah yang besar.

Dan apa yang dikatakan Basiimah yang dijadikan tagline buku ini menjadi sebuah fakta bahwa hanya karena tuli seseorang tidak harus menjadi bodoh. Wallohu a’lam. (*)


Komentar Anda:

Anda telah berhasil berlangganan di Sabili.id
Selanjutnya, selesaikan pembayaran untuk akses penuh ke Sabili.id
Assalamu'alaikum! Anda telah berhasil masuk.
Anda gagal masuk. Coba lagi.
Alhamdulillah! Akun Anda telah diaktifkan sepenuhnya, kini Anda memiliki akses ke semua artikel.
Error! Stripe checkout failed.
Alhamdulillah! Your billing info is updated.
Error! Billing info update failed.