Resensi: Perjalanan Zaid bin Haritsah Menuju Peradaban Cahaya

Resensi: Perjalanan Zaid bin Haritsah Menuju Peradaban Cahaya
Ilustrasi buku Zaid bin Haritsah, The Way Home; Pencarian Jalan Pulang Menuju Peradaban Cahaya penulis Amar Ar-Risalah / Sabili.id

Buku ini merupakan sebuah novel sejarah yang berisi kisah hidup seorang sahabat yang sekaligus anak angkat Rasulullah, yaitu Zaid bin Haritsah ra. Buku “Zaid bin Haritsah, The Way Home; Pencarian Jalan Pulang Menuju Peradaban Cahaya” merupakan seri pertama dari 4 seri buku “Zaid bin Haritsah” yang ditulis oleh Amar Ar-Risalah. Di dalam buku ini, Amar Ar-Risalah berusaha menyambung antar kisah dan menyisipkan deskripsi yang menutup lubang alur atau plot hole yang sering kali ada di buku-buku sirah. Deskripsi kota-kota, hikmah, dan detil dari strategi Rasulullah, serta ibrah ringkas dari kisah yang terjadi, dimasukkan sepanjang kisah berjalan.

Zaid bin Haritsah radhiallahu’anhu itu sosok istimewa. Dibandingkan sahabat lain, beliau paling awal masuk Islam. Hanya ada dua orang yang masuk Islam sebelum atau bersamaan dengan beliau, yaitu Khadijah dan Ali bin Abu Thalib. Bahkan, beberapa kitab menyatakan, beliau orang yang pertama kali beriman sebelum Khadijah. Zaid menyaksikan apa yang tak disaksikan sahabat Rasul lain dari jarak dekat, karena posisinya sebagai anak angkat sekaligus maula yang selalu ada di dekat Rasulullah.

Selain kisah perjalanan hidup Zaid bin Haritsah, buku ini juga mengisahkan banyak tokoh dan peristiwa lain. Misalnya Ummu Aiman (yang kelak menjadi istinya Zaid), Abu Thalib ra, Abu Bakar ra, Zubair bin Awwam ra, Abdullah bin Mas’ud ra. Juga tentang kisah awal mula Rasulullah saw mendapat wahyu pertama sampai masa-masa awal dakwah terbuka, tentang Amr bin Luhay dan sejarah pertama kali masyarakat Mekkah menyembah berhala, Walid bin Mughiroh dan kisah turunnya Surah Al-Muddatstsir, Abu Lahab dan kisah turunnya Surah Al-Lahab, dan masih banyak lagi.

Menariknya, ada bagian dalam buku ini yang menyebutkan fakta menarik (fun fact) tentang Indonesia. Fakta yang sebelumnya jarang atau bahkan tak pernah diketahui oleh banyak orang. Yaitu tentang tumbuh-tumbuhan endemik Indonesia yang ternyata sejak dulu telah “berlayar” jauh sampai ke Mekkah. Oleh masyarakat setempat, tumbuh-tumbuhan itu digunakan sebagai wangi-wangian di sekitar Ka’bah.

“Untuk menghilangkan bau-bauan dari darah (darah binatang kurban yang disapukan ke dinding Ka’bah), mereka (masyarakat Mekkah) memasang bakaran kayu cendana, gaharu, dan kemenyan. Bahan-bahan itu tentu saja tidak ada di Arabia. Mereka mendapatkannya dari timur jauh, dari Pulau Emas dan Pulau Perak. Di masa sekarang dikenal dengan Pulau Sumatera dan Jawa. Itu semua didapat dari pedagang yang berlayar menembus samudera. ...” (Ar-Risalah, 2023, hlm 10)

Baca juga: Menelusuri Jejak Dakwah di Nusantara Bersama Tiar Anwar Bachtiar

Dikisahkan di dalam buku ini, pada usia 8 tahun Zaid bin Haritsah menjadi korban perang yang terjadi di Hijaz. Beliau diculik dan dibawa ke berbagai pasar budak untuk dijual. Akhirnya beliau dibeli oleh Hakim bin Hizam, yang merupakan keponakan Sayyidah Khadijah ra. Hakim bin Hizam lalu menghadiahkan Zaid kepada bibinya, yang tak lain adalah Sayyidah Khadijah. Zaid pun menjadi budak yang begitu dimuliakan dan dilimpahi kasih sayang di rumah Sayyidah Khadijah, yang saat itu telah beberapa tahun menikah dengan Rasulullah.

Di dalam kisah ini, kita sungguh bisa melihat betapa mulianya sifat dan akhlak Rasulullah saw. Sebab, dalam sudut pandang Zaid sebagai budak, kita diperlihatkan bahwa Rasulullah dan keluarganya tak pernah berlaku kasar dan tak menyenangkan kepada para budak mereka. Zaid dianggap seperti anak sendiri, walaupun belum secara resmi diangkat sebagai anak oleh Rasulullah.

“Walaupun Zaid adalah seorang budak, tetapi Rasulullah tidak pernah memberinya perintah yang berat. Perintahnya selalu dapat dimengerti dengan mudah dan tidak pernah sekalipun memanggil Zaid dengan sebutan rendah.” (Ar-Risalah, 2023, hlm 31)

“Lama-kelamaan Zaid bisa beradaptasi dengan rumah barunya (rumah keluarga Rasulullah). Memang kota mekkah begitu panas, begitu angkuh, tetapi di rumah ini seakan-akan Zaid menjumpai ruang yang berbeda. Semua pekerjaan dikerjakan dengan mudah. Dia jadi tak tahu beda antara budak dengan anak.” (Ar-Risalah, 2023, hlm 29)

Teknik Penulisan (Gaya Bahasa dan Alur)

Amar Ar-Risalah merupakan seorang penulis, pendakwah, dan founder sebuah komunitas literasi bernama “Negeri Buku”. Ia pernah kuliah di Universitas Negeri Jakarta, Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia. Lalu melanjutkan pendidikan di Sekolah Tinggi Ilmu Dirasah dan Dakwah Islam Al-Hikmah, Jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam, di Jakarta Selatan.

Semasa kuliah, ia pernah menjadi Sekretaris Jenderal KAMMI UNJ pada 2014, dan Ketua Fraksi Fakultas Bahasa dan Seni MTM UNJ tahun 2015. Di bidang sastra, ia berkarya bersama Komunitas Tembok dan Komunitas MARABUMI, sebuah gerakan sastra yang didirikan oleh KAMMI. Saat ini, ia menikah dengan seorang ustadzah, Idzni Fitri, Lc. Mereka dikaruniai dua orang anak.

Baca juga: Hanya Karena Tuli Seseorang tak Harus Menjadi Bodoh

Buku-buku yang pernah ia tulis di antaranya Taman Kehidupan (2020), Antologi Puisi Sebuah Jarak yang Dipangkas oleh Puisi (2021), Karena Menikah Tak Sebercanda Itu (2022), Antologi Cerpen Rumah (2014), Antologi Cerpen Desas-Desus tentang Kencing Sembarangan (2015), Antologi Puisi Menolak Korupsi (2012), Antologi Puisi Bintang Kecil (2014), dan lain-lain.

Novel sejarah “Zaid bin Haritsah, The Way Home; Perjalanan Jalan Pulang Menuju Peradaban Cahaya” dikemas dengan sangat menarik dalam bentuk novel dengan gaya bahasa yang sastrawi. Kalimat-kalimatnya epik dan sangat menyentuh hati. Misalnya pada kalimat-kalimat berikut:

“Saat tuannya berjalan dan tak sengaja jubahnya terkibaskan angin, jutaan bunga-bunga lintang utara bumi akan menyarikan wanginya. Bila Al-Amin berbicara, engkau akan merasa cukup sekaligus tidak cukup. Cukup karena begitu jelas dan dapat kau hafal dengan mudah. Tetapi juga membuatmu terpikat karena pilihan katanya yang tak akan menyakitimu, meskipun dia sedang marah.” (Ar-Risalah, 2023, hlm 31)

“Zaid telah hampir berhasil menutup luka di dalam hati sebagai korban perang. Luka terbuka yang dalam itu berubah menjadi lembah permai yang diisi padang rumput, tempat masa depan dan kebahagiaan digembalakan. Meskipun wajah ayah dan ibunya masih dia simpan di dalam lembah itu, kini hadir pula wajah kedua tuannya (kedua orang tua angkatnya: Rasulullah dan Sayyidah Khadijah). Sejajar dengan wajah ayah dan ibunya.” (Ar-Risalah, 2023, hlm 40)

Alur yang digunakan adalah maju-mundur (alur campuran). Diawali kisah Amr bin Luhay yang jadi asal muasal penyebab masyarakat Mekkah menyembah berhala. Lalu kisah Zaid kecil yang diculik dan dijual, hingga menjadi budak di rumah Rasulullah. Diceritakan pula peristiwa pemugaran Ka’bah dan peletakan kembali Hajar Aswad yang terjadi beberapa tahun sebelum Zaid bekerja di rumah Rasulullah. Kemudian peristiwa pengutusan Nabi Muhammad menjadi Rasul, masa-masa dakwah sirriyah, sampai awal-awal periode dakwah terbuka.

Penilaian

Secara keseluruhan, buku ini merupakan salah satu novel sejarah yang keren dan setiap lembar kisahnya sangat layak ditelusuri. Walau mungkin belum sempurna, buku ini sungguh patut direkomendasikan untuk dibaca oleh banyak orang. Begitu juga buku-buku pada seri-seri berikutnya.

Ada sejumlah kelebihan buku ini. Pertama, gaya bahasanya yang sangat sastrawi dan menyentuh membuat pembaca bisa terlarut dalam setiap kisahnya tanpa merasa jenuh. Kedua, setiap babnya hanya berisi beberapa lembar (tak terlalu banyak), dan dikemas secara singkat, padat, namun berbobot. Sehingga, pembaca betah untuk membacanya berlama-lama.

Baca juga: Resensi: Misteri Kelam Islam dan Kemenangan Perang Salib

Ketiga, jumlah halamannya tak sampai 200 halaman. Bisa dibilang cukup tipis untuk ukuran sebuah ‘novel sejarah’. Jumlah halaman yang tak terlalu tebal itu membuat pembaca tak merasa bosan duluan ketika melihat tampilannya. Keempat, sumber-sumber primer dari berbagai kitab kuno karangan para ulama zaman dahulu disebutkan dengan detail dan lengkap di buku ini. Tak hanya di daftar pustaka, tetapi juga di setiap bagian peristiwa atau tokoh yang sedang diceritakan.

Kelima, hampir di setiap pergantian bab, dicantumkan berbagai kutipan hadist dari kitab Shahih Bukhari, Shahih Muslim, Thabaqat Al-Kubra, dan lain-lain. Keenam, cover-nya simpel, tetapi keren dan estetik. Ditulis oleh seorang ustadz sekaligus sejarawan yang namanya cukup kondang. Dan diterbitkan di penerbit bergengsi — Generasi Shalahuddin (GenSa) Berilmu — yang sebelumnya sudah menerbitkan banyak buku keren lainnya.

Namun, ada satu kesalahan cukup fatal dalam buku ini, yang seharusnya tak ada dalam sebuah buku bergenre novel. Sekalipun itu adalah novel sejarah. Yaitu bagian ketika penulis tiba-tiba menghadirkan dirinya di tengah-tengah cerita sebagai sosok “aku”, seperti yang terlihat pada kalimat berikut:

“Suatu hari, aku pernah membaca karangan Asy-Syahid Sayyid Quthb. ‘Kekuatan Kata-Kata’, itulah judulnya. Dari tulisan itu aku tersadar satu hal bahwa kata-kata bukanlah kekuatan sejati itu sendiri. Susunan kata-kata yang sekadar indah, dapat dibuat dengan mesin atau meracau yang kebetulan bagus.” (Ar-Risalah, 2023, hlm 117)

Padahal, buku ini konteksnya adalah sebuah novel. Dan sepanjang cerita dari awal sampai akhir buku ini merupakan kisah Rasulullah, para sahabat, dan Zaid bin Haritsah sendiri dalam sudut pandang penulis (sudut pandang orang ketiga serba tahu). Penulis seharusnya hanya berperan sebagai narator, penutur yang menceritakan segala kisah dan peristiwa yang ada dalam buku ini. Maka, pantang sekali bagi penulis menyebut dan menghadirkan dirinya di tengah-tengah cerita. Kecuali di bagian kata pengantar, catatan, ataupun profil penulis. Sebab, ia bukan tokoh yang terlibat dalam kisah, melainkan hanya orang yang mengisahkan.

Selain itu, meskipun buku ini judulnya “Zaid bin Haritsah”, tetapi kisah-kisah di buku ini tidak secara eksklusif membahas dan menceritakan tentang Zaid bin Haritsah. Memang, pada akhirnya semua peristiwa yang diceritakan akan berkaitan dan berpengaruh terhadap pengembangan karakter Zaid bin Haritsah sendiri. Tetapi, di seri pertama ini, saya rasa sang penulis memang belum banyak menuliskan kisah-kisah yang eksklusif membahas Zaid. Seri pertama ini mungkin baru merupakan “kisah pembuka” untuk kisah-kisah Zaid bin Haritsah lain yang akan dituturkan di 3 seri berikutnya.

Kemudian, meskipun buku ini bergenre “novel”, tetapi isinya ternyata tak benar-benar seperti “novel”. Tak sepenuhnya berisi narasi. Sebab, di banyak bagian, penulis kerap menuliskan kalimat-kalimat yang seolah seperti mengajak pembaca untuk berdialog. Dan sebenarnya hal-hal seperti itu sangat bukan “novel”. Misalnya pada kalimat-kalimat berikut:

“Lihatlah, Sahabat, lihatlah pemuda ini. Umurnya belum dua puluh. Hari itu, Sahabat, ia menawarkan rumahnya sebagai tempat berkumpul orang-orang yang menjaga cahaya itu. Ingatlah namanya, Sahabat, dan kenanglah dengan baik: Arqam bin Abil Arqam.” (Ar-Risalah, 2023, hlm 118)

“Sahabat, bagaimana kabarmu hari ini?

Mungkin kau lelah, karena seharian ajakanmu kepada dakwah ini, cuma dibalas kesinisan, atau sindiran halus. Mereka bercanda. Namun, hatimu sakit karenanya.” (Ar-Risalah, 2023, hlm 186)

Mungkin hal tersebut disebabkan karena sebelumnya sang penulis terbiasa menulis kisah-kisah sejarah biasa ataupun buku-buku nonfiksi lainnya. Jadi, sedikit mempengaruhi gaya penulisannya di novel ini. Ia seolah terbias antara gaya penulisan fiksi dan gaya penulisan nonfiksi. Wallahu a’lam.

Kesimpulan

Di samping beberapa kekurangannya, novel sejarah ini bisa dikategorikan sebagai buku yang sangat bagus. Buku yang setidaknya harus dibaca sekali seumur hidup. Sebab, tak mudah untuk mengemas sebuah kisah sejarah dalam bentuk novel ringan yang enak dibaca oleh berbagai kalangan. Tak mudah pula menjumpai novel-novel sejarah yang seperti ini.

Buku ini sangat layak dibaca oleh para generasi muda, karena sasaran buku ini sebenarnya memang mengkhususkan mereka. Lebih tepatnya, Amar Ar-Risalah menuliskan buku ini dengan tujuan dan harapan agar para anak muda generasi milenial, apalagi Gen Z, tertarik untuk membaca kisah-kisah sejarah. Sebab, kebanyakan orang malas membaca atau belajar sejarah karena buku sejarah identik dengan halaman yang tebal dan gaya bertutur yang “membosankan”, juga sekadar hapalan-hapalan tahun yang mudah terlupakan, sementara peristiwa dan maknanya tidak didapatkan.

Jadi, penulis buku ini berinisiatif untuk menghadirkan “wajah baru” dalam dunia penulisan sejarah. Sekaligus mengubah perspektif kebanyakan orang tentang sejarah. Sebab, sejarah itu penting untuk dibaca dan diketahui semua orang, terkhusus generasi muda bangsa.

Data Teknis

Judul: “Zaid bin Haritsah, The Way Home; Pencarian Jalan Pulang Menuju Peradaban Cahaya”
Penulis: Amar Ar-Risalah
Cover: Soft Cover
Tebal: 196 halaman
Cetakan: Pertama, 2023
Penerbit: PT. Generasi Shalahuddin Berilmu
ISBN: 978-625-96662-5-5


Komentar Anda:

Anda telah berhasil berlangganan di Sabili.id
Selanjutnya, selesaikan pembayaran untuk akses penuh ke Sabili.id
Assalamu'alaikum! Anda telah berhasil masuk.
Anda gagal masuk. Coba lagi.
Alhamdulillah! Akun Anda telah diaktifkan sepenuhnya, kini Anda memiliki akses ke semua artikel.
Error! Stripe checkout failed.
Alhamdulillah! Your billing info is updated.
Error! Billing info update failed.