Secara garis besar, terdapat 7 pertanyaan penting (7 Strong Why) yang dibahas di dalam buku ini. Satu, Apa rahasia Zaid bin Haritsah yang lajang dan muda, mau menikahi Ummu Aiman yang sudah tua dan seorang janda, bahkan punya anak hampir seumuran Zaid? Dua, Mengapa Abu Jahal yang tadinya bergelar Abal Hakam atau Bapak Kebijaksanaan, sang penentu hukum, berubah menjadi Abu Jahal atau Bapak Kebodohan? Tiga, Bagaimana strategi Rasulullah untuk kembali memasuki Makkah setelah gagal membangun basis di Thaif dan tidak bisa pulang ke Makkah?
Empat, Siapakah pemimpin Madinah yang jadi kunci Islamnya para penduduk Madinah dan jadi basis awal dakwah di kota itu? Lima, Mengapa Rasulullah ﷺ tidak menggunakan strategi berperang atau kekerasan, tetapi terus mengalah pada saat berdakwah di Makkah? Enam, Kejadian apa yang hanya dialami oleh Zaid bersama dengan Rasulullah dan tidak dialami oleh sahabat-sahabat yang lain? Tujuh, Apa peran penting seorang istri, dalam membangun batu bata Islam menjadi sebuah rumah dakwah yang kuat?
Amar Ar-Risalah menulis buku ini sebagai seri kedua dari tetralogi Zaid bin Haritsah. Buku ini adalah kelanjutan dari seri pertamanya yang berjudul “Zaid bin Haritsah, The Way Home; Perjalanan Jalan Pulang Menuju Peradaban Cahaya”. Bukanlah sebuah novel biografi yang mengisahkan perjalanan hidup Zaid bin Haritsah dengan detail dan menyeluruh, tetapi buku ini lebih dekat ke novel yang mengisahkan peristiwa-peristiwa yang terjadi di masa ketika awal-awal Islam “merekah” di langit Mekkah lewat sudut pandang Zaid bin Haritsah.
Di seri ini, melalui mata Zaid, kita akan dibawa menyaksikan berbagai momen penting yang dialami beliau sendiri, Rasulullah saw, dan kaum muslim yang lain, di masa-masa dakwah Islam. Kita diajak untuk menelusuri ulang sejarah dengan Zaid sebagai tokoh utamanya. Sebab, sebagai sahabat, anak angkat, dan salah satu orang terdekat Rasulullah saw, Zaid bin Haritsah menjadi sosok yang selalu menemani dan mendampingi Rasul hampir di setiap kesempatan. Bahkan ada beberapa peristiwa bersama Rasulullah yang hanya dialami atau disaksikan oleh Zaid bin Haritsah sendiri. Tidak dialami atau disaksikan oleh sahabat lain. Semisal momen ketika Rasulullah berdakwah ke Thaif.
Beberapa momen penting yang diceritakan dalam buku ini antara lain kisah tentang para sahabat yang disiksa karena keislamannya, peristiwa-peristiwa yang menjadi sebab turunnya beberapa ayat atau surat Al Qur’an, pemboikotan Kota Mekkah, pernikahan suci Zaid bin Haritsah dengan Ummu Aiman, hijrah ke Thaif, strategi dakwah Rasulullah untuk menyebarkan Islam lebih luas lagi—di tengah tekanan dan gangguan Abu Jahal beserta antek-anteknya, awal mula benih-benih keimanan tumbuh dan menyebar di tanah Yatsrib, dan masih banyak lagi.
Baca juga: Resensi: Perjalanan Zaid bin Haritsah Menuju Peradaban Cahaya
Buku ini hadir karena keresahan penulisnya (Amar Ar-Risalah) terhadap orang-orang di zaman sekarang — terutama generasi muda — yang sulit sekali untuk bisa mencintai atau mengagumi Rasulullah saw dan tokoh-tokoh sahabat yang dikisahkan dalam Sirah Nabawiyah. Mereka — dan mungkin kita juga — lebih mudah menyukai dan mengagumi tokoh-tokoh fiksi di Marvel universe, Disney, anime, Ramayana dan Mahabarata, dan lain-lain, dibandingkan dengan para sahabat yang sosok dan kehebatannya benar-benar nyata. Orang-orang zaman sekarang, banyak yang berlebihan ketika mencintai dan memuja idola mereka, sementara nama-nama para sahabat Nabi mereka tak hafal, apalagi mengenal sosoknya.
Padahal, dibandingkan idola-idola mereka itu, para sahabat dan tokoh-tokoh dalam sejarah Islam jauh lebih hebat dan keren sosoknya. Jauh lebih bisa dibanggakan, mulia akhlaknya, ahli Surga pula. Khususnya Zaid bin Haritsah yang menjadi pemeran utama atau tokoh sentral dalam buku ini. Amar Ar-Risalah sengaja mengambil sudut pandang Zaid bin Haritsah, sebab beliau dianggap sebagai sosok yang tepat untuk mengisahkan kembali dinamika dan kepahlawanan para sahabat Nabi di medan juang dakwah. Melalui buku ini, Amar juga berusaha mengenalkan kita kepada sejarah dengan cara yang tak membuat jenuh, serta menumbuhkan rasa cinta kita kepada para sahabat Nabi yang mulia.
Amar Ar-Risalah sendiri merupakan seorang penulis, pendakwah, dan founder sebuah komunitas literasi bernama “Negeri Buku”. Ia pernah kuliah di Universitas Negeri Jakarta, Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia. Lalu melanjutkan pendidikan di Sekolah Tinggi Ilmu Dirasah dan Dakwah Islam Al-Hikmah di Jakarta Selatan, Jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam.
Sejak tahun 2015, Amar Ar-Risalah mengikuti pengajaran sirah nabawiyah yang dibina Ustadz Asep Sobari melalui Sirah Community Indonesia. Bersama istrinya, Idzni Fitri, Lc ia pun aktif di Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) dengan amanah terakhir sebagai Presiden Instruktur Pusat KAMMI hingga tahun 2020. Ia juga pernah menjabat sebagai Pjs. Sekretaris Jenderal Ikatan Mahasiswa Bahasa dan Sastra se-Indonesia (IMABSII) pada 2014, dan Pemimpin Redaksi Majalah Sastra Stomata tahun 2015. Buku-buku yang pernah ditulis di antaranya: Taman Kehidupan (2020), Antologi Puisi Sebuah Jarak yang Dipangkas oleh Puisi (2021), Karena Menikah Tak Sebercanda Itu (2022), Antologi Cerpen Rumah (2014), Antologi Cerpen Desas-Desus Tentang Kencing Sembarangan (2015), Antologi Puisi Menolak Korupsi (2012), Antologi Puisi Bintang Kecil (2014), dan lain-lain.
Teknik Penulisan (Gaya Bahasa dan Alur)
Di dalam “Kata Pengantar” buku ini, Amar Ar-Risalah menuliskan kegelisahannya tentang gaya penulisan sirah nabawiyah yang terasa seperti terjemahan kasar, sehingga makna kisahnya sulit dipahami oleh kebanyakan orang. Padahal, Rasulullah sendiri memiliki mu’jizat jawami’ul kalim, yang berarti kalimat yang singkat tetapi padat dan penuh makna. Maka, seharusnya sirah nabawiyah itu dikisahkan dengan bahasa yang mudah dipahami dan tidak membosankan. Sedangkan pada kenyataannya, terjemahan sirah nabawiyah dan kebanyakan buku-buku sejarah ditulis dengan gaya penulisan dan gaya penerjemahan yang sangat berat.
Jadi, sebagai solusi untuk masalah tersebut, ia berusaha menyajikan buku ini dengan bahasa yang indah, ringan, kekinian, dan mudah dipahami oleh berbagai kalangan, namun tetap tanpa menghilangkan sisi kisah sebagai sebuah sumber ajaran Islam. Sehingga, pembaca bisa menikmati kisah-kisah sejarah dalam buku ini tanpa merasa jenuh. Serta ibrah, teladan, dan hikmah dari setiap peristiwanya pun tetap sampai ke mereka.
Baca juga: Menelusuri Jejak Dakwah di Nusantara Bersama Tiar Anwar Bachtiar
Dan, sama seperti di buku pertamanya, di beberapa bagian buku kedua ini juga banyak terselip kalimat-kalimat yang sastrawi dan sangat menyentuh. Pilihan diksi dan majas yang digunakan sungguh menyejukkan hati dan sangat dalam maknanya. Semisal pada paragraf-paragraf berikut:
“Tak lama kemudian, tumbuhlah bunga padang pasir di rumah tangga yang indah ini. Seorang anak, tengah Allah pelihara di dalam rahim Ummu Aiman. Zaid amat bahagia. Semua orang memberi selamat padanya.
Usamah namanya. Seseorang yang tubuhnya begitu mirip dengan tubuhnya. Masa-masa sulit ini sedikit mendapatkan pohon yang teduh dan rindang. Betapa wajah seorang bayi yang jernih adalah mata air yang membasuh hati siapa saja yang telah keras karena politik, hukum, dan segala kerahasiaan kota.” (Ar-Risalah, 2023a, pp. 70–71)
Dan “Khadijah yang selama ini menjaga sang Nabi dari bahaya kesendirian. Saat panah demi panah waktu mengancam ulu hati siapa saja yang tengah bertahan dari kematian dan pengasingan. Khadijah yang selama ini memancarkan telaga bening itu bagi keluarga kecilnya; keluarga yang menjadi cikal bakal sungai besar bernama dakwah.” (Ar-Risalah, 2023a, p. 90)
Alur yang digunakan buku ini yaitu alur maju. Jika di buku pertama sebelumnya dikisahkan sampai awal-awal masa dakwah terbuka (dakwah jahriyah), maka di buku kedua ini kisah yang diceritakan bermula sejak sebelum hijrah ke Habasyah sampai Baiat Aqabah Pertama.
Kelebihan dan Kekurangan
Buku kedua ini memiliki cukup banyak perbedaan dari buku pertamanya. Terutama dari segi kertas yang digunakan. Jika buku pertama menggunakan kertas seperti yang biasa dipakai untuk novel-novel pada umumnya, buku kedua ini menggunakan kertas berwarna putih yang teksturnya lebih tebal. Selain itu, pembaca juga akan dibuat berdecak kagum dengan banyaknya gambar ilustrasi keren (full colour) yang menghiasi halaman-halaman di buku ini. Covernya pun tak kalah keren. Bernuansa cerah, menggambarkan seorang laki-laki sedang menunggang kuda seraya pandangannya jauh menjelajahi kegersangan Kota Mekkah.
Yang membuat buku ini kian istimewa adalah peran para ulama ahli sirah yang turut membantu penulis dalam mengkaji sejarah, memberikan ilmu-ilmu, pendapat, serta masukan mereka tentang sirah. Seperti Ustadz Asep Sobari, Ustadz Hafid Hurmat, Syaikh Mahmud Hamdan Al-Ghazy, Ustadz Izharul Haq, Ustadz Fariz, dan Ustadz Edgar Hamas. Jadi, kisah-kisah sejarah yang disajikan dalam buku ini bukan sekadar kisah fiksi pengantar tidur, tetapi keabsahannya sudah sangat terjamin. Sebagai bukti kesahihannya yang lain, seperti pada buku pertamanya, kitab-kitab sejarah, ayat-ayat Al Qur’an, dan pendapat ulama yang menjadi rujukan, juga selalu dicantumkan dengan detail di tengah cerita maupun di daftar pustaka.
Baca juga: Hanya Karena Tuli Seseorang tak Harus Menjadi Bodoh
Gaya bahasanya yang indah dan ringan membuat pembaca bisa terlarut dalam setiap kisahnya. Jumlah halamannya tak berbeda jauh dengan buku pertamanya. Tidak terlalu tebal. Bisa dibilang cukup tipis untuk ukuran sebuah “buku sejarah”. Sehingga pembaca tak merasa bosan dan lelah selama membacanya.
Tetapi ada sejumlah kekurangan. Salah satunya adalah tidak ada pembatas bukunya. Selain itu, terdapat cukup banyak pengulangan kata dalam salah satu bab. Juga kisah eksklusif tentang sosok Zaid bin Haritsah-nya sendiri kurang banyak diceritakan.
Kesimpulan
Begitu banyak buku keren dan luar biasa yang ada di dunia ini. Tetapi sangat sedikit waktu yang kita punya untuk bisa membacanya. Jadi, kita harus pintar-pintar memilih buku yang benar-benar layak menyita waktu kita yang sedikit dan berharga, untuk dibaca.
Buku ini adalah salah satu buku keren yang sangat layak dibaca itu. Sebab, sungguh banyak hikmah dan ibrah yang bisa kita ambil dari buku ini. Ibrah dari perjalanan panjang dakwah Rasulullah saw. Ibrah dari ketabahan kaum muslimin diterpa kelaparan dan berbagai kesulitan selama 3 tahun masa pemboikotan Kota Mekkah. Ibrah dari sosok Zaid bin Haritsah, yang tanpa ragu mengorbankan tubuhnya sebagai tameng untuk melindungi Rasulullah dari batu-batu tajam yang dilempari oleh masyarakat Thaif. Atau ibrah dari sosok Bilal bin Rabah, Mush'ab bin Umair, Keluarga Yasir, serta para sahabat yang lain yang rela diikat, digantung, dicambuk, dijemur di bawah terik matahari, disiksa sedemikian rupa, demi mempertahankan keimanan mereka.
Buku-buku sejarah yang dikemas dalam bentuk novel seperti ini lebih mudah membuat kita menghayati setiap peristiwa yang diceritakan. Sebab, gaya penuturannya yang ringan dan diksi yang mengesankan membuat kisah-kisah itu lebih mudah menyusup ke dalam hati. Melalui buku-buku seperti ini pula, kita jadi lebih bisa mencintai dan mengenal lebih dalam para sahabat Nabi.
Data Teknis
Judul: “Zaid bin Haritsah 2: The Guardian of Islam (Ksatria Penjaga Cahaya di Zaman Nabi)”
Penulis: Amar Ar-Risalah
Tebal: 201 Halaman
Cover: Soft Cover
Penerbit: PT Generasi Shalahuddin Berilmu
Tahun Terbit: 2023
Nomor ISBN: 978-623-96662-5-5
Jadilah bagian dari perjuangan Sabili
Bangun Indonesia dengan Literasi!