Nyai Sholichah lahir tanggal 11 Oktober 1922 di Pondok Pesantren Denanyar, Jombang, sebagai anak kelima dari 10 bersaudara keluarga KH Bisri Syansuri dan Nyai Hj Nur Chadijah (adik dari KH Abdul Wahab Chasbullah). Kiai Bisri mendidik langsung Nyai Sholichah sejak kecil. Khususnya tentang ilmu agama dan Bahasa Arab.
Jiwa kepemimpinan Nyai Sholichah sudah terlihat sejak belia. Ia punya pola pikir yang luas dan maju. KH Bisri Syansuri pun mengikutkan Nyai Sholichah untuk mengasuh pesantren putri asuhan sang ayah.
Jumat, 10 Syawal 1356 H (1938 M), Nyai Sholichah dinikahi KH Wahid Hasyim. Setelah menikah, mereka tinggal selama 10 hari di Pesantren Denanyar. Setelah 10 hari, mereka pindah dan tinggal di Pondok Pesantren Tebuireng, Jombang, yang dipimpin KH Muhammad Hasyim Asy'ari, ayah KH Wahid Hasyim. Ketika itu, Pesantren Tebuireng menjadi pusat pergerakan santri dan pesantren Nusantara.
Sebagai tokoh pergerakan, KH Wahid Hasyim selalu memiliki tamu yang datang dari berbagai daerah untuk konsolidasi. Hampir setiap hari ada yang bertamu. Nyai Sholichah selalu hadir memberikan suguhan. Nyai Sholihah juga terus mendampingi perjuangan suaminya dengan terlibat dalam dapur umum untuk para pejuang di Jombang. Tetapi sejatinya, kehadiran Nyai Sholichah lebih dari sekadar pendamping KH Wahid Hasyim dalam menjamu tamu atau aktif di dapur, melainkan juga menjadi penyemangat sang suami. Ia ibarat kekuatan internal bagi KH Wahid Hasyim.
Pada 1942, pasukan Jepang mendarat di Indonesia. Pada 8 Maret 1942 di Kalijati, Bandung, Belanda resmi menyerahkan kekuasaan atas Indonesia ke Jepang. KH Wahid Hasyim gelisah atas kehadiran balatentara Jepang (Dai Nippon) di Indonesia. Tentara Jepang melarang berbagai perkumpulan politik, sosial, dan pendidikan, termasuk Nahdlatul Ulama (NU). Nyai Sholichah setia mendampingi dan menenangkan sang suami.
Baca juga: Siti Raham dan Ketegaran Seorang Ibu
Tentara Jepang waktu itu menghentikan aktivitas Pesantren Tebuireng, lantaran dianggap sebagai pusat pergerakan kaum santri dan pesantren untuk merebut kemerdekaan. Bahkan, pada April 1942, Rais Akbar Nahdlatul Ulama (NU), Hadratussyekh KH Hasyim Asy'ari ditangkap dan dipenjarakan di Bubutan, Surabaya, bersama KH Mahfudz Siddiq. Sebab, Jepang takut terhadap besarnya pengaruh Kiai Hasyim terhadap perjuangan laskar pejuang Islam.
Ketika itu, KH Wahid Hasyim dan Nyai Sholihah telah dikaruniai dua anak, yaitu Abdurrahman ad-Dakhil yang waktu itu berusia 3 tahun dan Aisyah (waktu itu berusia 2 tahun). Dan saat itu Nyai Sholihah sedang hamil tua. Maka, KH Wahid Hasyim harus mengungsikan Nyai Sholihah dan anak-anak dari Pesantren Tebuireng ke Pesantren Denanyar. Sedangkan Kiai Wahid bolak-balik Jombang-Jakarta guna bernegosiasi untuk pembebasan ayahnya.
Setelah Kiai Wahid Hasyim dan KH Abdul Wahab Chasbullah melakukan lobi dengan berbagai pembesar dan instansi penting, Kiai Hasyim Asy’ari dibebaskan dan Pesantren Tebuireng boleh dibuka Kembali. Nyai Sholichah dan anak-anaknya pun kembali ke Tebuireng. Tanggal 11 September 1942, putra ketiga mereka lahir dan diberi nama Salahuddin Al-Ayyubi.
Hijrah ke Jakarta
Pada 1944, Kiai Wahid memboyong Nyai Sholichah dan tiga anak mereka ke Jakarta. Keputusan hijrah ke Jakarta diambil dengan berbagai pertimbangan. Antara lain karena Kiai Wahid ditunjuk sebagai Wakil Ketua Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi) sejak 24 Oktober 1943. Di Jakarta, mereka tinggal di Jalan Showadari (sekarang Jalan Diponegoro). Rumah mereka tak jarang menjadi tempat diskusi masalah keislaman dan kebangsaan. Hanya enam bulan di sana, Nyai Sholichah dan anak-anak kembali ke Jombang karena situasi genting menjelang kemerdekaan negara Indonesia.
Anak keempat mereka lahir pada 6 April 1945 di Jombang. Ketika itu, Nyai Sholichah kerap ditinggal Kiai Wahid ke Jakarta karena sibuk merumuskan Pancasila dan UUD 1945. Di dalam kondisi seperti itu, Nyai Sholichah terus mendukung suaminya berjuang. Guna memenuhi kebutuhan keluarga, Nyai Sholichah berjualan makanan untuk guru dan santri Pesantren Tebuireng. Di pesantren, demi keselamatan nyawanya, Nyai Sholichah tak boleh keluar sendiri dan harus ada yang mendampingi. Di sisi lain, tentara Jepang sering datang karena Pesantren Tebuireng menjadi pusat perlawanan terhadap penjajah.
Baca juga: KH Hasyim Asy’ari Sang Pembaharu Pengajaran Islam Tradisional
Sosok Nyai Sholichah yang kuat dan tak mudah mengeluh menjadi penguat Kiai Wahid Hasyim dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Ketika perang mempertahankan kemerdekaan berlangsung, Nyai Sholichah berperan sebagai kurir yang bertugas mengirimkan bahan makanan atau pesan-pesan ke garis depan di Mojokerto, Krian, dan Jombang. Sangat gesit beliau menyusup di kancah pertempuran yang berbahaya.
Tanggal 18 Agustus 1945 Kiai Wahid Hasyim menjadi Menteri Agama hingga 14 November 1945. Perang berlanjut. Belanda bersama sekutu melakukan agresi pertama dan kedua. Belanda waktu itu marah karena Indonesia mempromosikan diri sebagai negara Merdeka. Mereka tak mengakui kemerdekaan Indonesia. KH Wahid Hasyim menjadi salah satu nama dari daftar orang yang dicari Belanda. Sehingga, ia harus kembali meninggalkan keluarganya untuk menghindari kejaran tentara Belanda. Namun, ia secara diam-diam tetap datang sesekali untuk menemui Nyai Sholihah.
Tanggal 20 Desember 1949, Kiai Wahid Hasyim kembali diangkat menjadi menteri agama. Keluarga Kiai Wahid kembali ke Jakarta. Mereka menempati rumah dinas Menteri Agama di Jl Jawa (sekarang Jl HOS Cokroaminoto).
Pada Oktober 1952, Kiai Wahid Hasyim tak lagi menjabat Menteri Agama. Keluarga mereka pindah dan menempati rumah di Jl Taman Matraman Barat Nomor 8 (kini menjadi Kantor Wahid Institute). Qadarullah, Kiai Wahid Hasyim berpulang ke haribaan Allah SWT pada 18 April 1953, karena kecelakaan mobil di daerah Cimindi, Jawa Barat. Kiai Wahid Hasyim dimakamkan di area Pesantren Tebuireng, Jombang. Ketika itu, Nyai Sholichah telah dikaruniai lima anak dan dalam kondisi hamil tiga bulan. Enam bulan kemudian, anak keenam lahir dan diberi nama Muhammad Hasyim.
Orang Tua Tunggal
Kiai Wahid meninggalkan 6 putra. Abdurrahman ad-Dakhil (Gus Dur), Aisyah, Salahuddin Al-Ayyubi (Gus Solah), Umar Al-Faruq, Lily Khadijah, dan Muhammad Hasyim. Ketika itu, Nyai Sholichah berusia 30 tahun. Sepeninggal Kiai Wahid, Nyai Sholichah menjadi orang tua tunggal yang memimpin rumah tangga.
Menjadi orang tua tunggal yang berjuang membesarkan enam anak bukan hal mudah. Keluarga besar mereka di Jombang pernah meminta agar anak-anak Nyai Sholichah dibagi untuk dirawat paman mereka. Namun, Nyai Sholichah ingin mendidik dan membesarkan sendiri buah hatinya. Bantuan yang ditawarkan justru menjadi cambuk bagi Nyai Sholichah untuk berjuang lebih keras dalam mencari nafkah dan mendidik buah hati. Ketika libur sekolah di bulan Ramadan, Nyai Sholichah mengirim anak-anak ke Jombang untuk nyantri, baik ke Denanyar maupun Tebuireng.
Baca juga: KH Wahid Hasyim, Kontributor Penting Perumusan Dasar Negara
Sebagai orang tua tunggal, Nyai Sholichah berusaha dengan keras dan tegas mengisi kecerdasan dan karakter anak-anaknya. Untuk mencukupi kebutuhan materi, Nyai Sholichah bekerja dengan keras dan cerdas. Aturan di rumah mereka penuh kedisiplinan meski berbingkai kasih sayang. Selepas maghrib, seluruh anak-anak harus berkumpul untuk mengaji (membaca Al Qur’an). Nyai Sholichah sendiri yang mengecek benar tidaknya lafaz yang diucapkan anak-anak.
Tradisi shalat berjamaah pun diterapkan betul oleh Nyai Sholichah untuk mewujudkan kedisiplinan anak-anaknya. Setiap Maghrib harus shalat berjamaah, dilanjut dengan mengaji Al Qur’an bersama-sama. Khusus malam Jumat, mereka juga diharuskan membaca tahlil secara berjamaah. Satu hal yang hebat, dengan segala ketegasan dan keterbatasan waktu yang dimiliki, Nyai Sholichah mampu membuat semua anak-anak merasa spesial dan paling disayang.
Ketika peristiwa G30S/PKI terjadi, Nyai Sholichah mendengar kabar bahwa rumah KH Saifuddin Zuhri mau digrebek, karena masuk dalam daftar tokoh yang akan dihabisi PKI. Nyai Sholichah datang ke rumah Kiai Saifuddin. Kebetulan Kiai Saifuddin sedang menjalani operasi di RS di Jepang. Nyai Sholichah lantas mengamankan 10 orang anak yang ada di rumah tersebut ke rumah keluarga Mahbub Djunaidi di Kebon Kacang, Jakarta Pusat.
Nyai Sholihah juga aktif melawan PKI lewat muslimat NU. Peninggalan relasi dan jaringan yang luas dari Kiai Wahid Hasyim menjadi modal penting. Ini pula yang membuat beliau terpilih menjadi anggota DPRD mewakili NU, lalu menjadi anggota DPR Gotong Royong mewakili partai yang sama. Namun, kendati sibuk di luar rumah, perhatiannya tak berkurang dalam mendidik anak-anak. Jika waktu reses atau libur, ia pun pasti mengunjungi Jombang.
Pernah Berjualan Beras
Bagi Nyai Sholichah, hal terpenting dari Kiai Wahid Hasyim adalah suaminya itu telah meninggalkan ilmu pengetahuan dan pelajaran hidup yang sangat berharga untuk bekal anak-anaknya di masa depan. Hal itu melecut semangat dan keyakinan dirinya dalam setiap usaha yang ia lakukan agar enam anaknya dapat mengenyam pendidikan setinggi-tingginya.
Baca juga: The Grand Old Man Haji Agus Salim
Hal itu diwujudkan pula ketika Nyai Sholichah membuka usaha jualan beras. Usaha dagangnya itu mampu mencukupi kebutuhan hidup dan pendidikan anak-anaknya. Usaha dagang beras terbilang sukses, sehingga Nyai Sholichah juga membuka usaha-usaha lain, semisal usaha jasa penyedia barang dan bahan bangunan bagi pembangunan Tanjung Priok kala itu. Misalnya batu, kayu, dan berbagai material lain.
Dibantu Hamid Baidlowi, keponakan yang semula merangkap sekretaris pribadi Kiai Wahid Hasyim, Nyai Sholichah juga mencoba berbagai usaha yang lain. Nyai Sholichah berprinsip bahwa dalam mencari rezeki halal tidak ada usaha yang tidak pantas. Tentu asal usahanya itu halal pula.
Keuletan Nyai Sholichah membuat kebutuhan di dalam rumah mereka tak pernah kekurangan. Tak hanya di rumah Matraman, para yatim dhuafa juga mendapat kasih sayang dan bantuan dari Nyai Sholichah. Sebab, ia juga mendirikan sebuah Panti Asuhan Harapan Remaja yang sampai kini masih beroperasi.
Di dalam pandangan Nyai Sholichah, pendidikan agama sangat penting dalam membina moral anak-anak. Sehingga, peran apa pun yang dijalani anak-anaknya kelak, mereka tetap terjaga dan taat kepada Tuhannya. Selain itu, pendidikan rohani juga mampu menjadikan anak tidak mudah minder (kecil hati), karena Islam mendidik manusia berhati besar tetapi tidak sombong. Nyai Sholichah juga selalu menekankan anak-anaknya agar berusaha menjadi diri sendiri, beramal dengan karya sendiri, tidak menggantungkan dan membonceng orang lain, terutama membonceng kebesaran orang tua.
Kerja keras Nyai Sholichah berhasil mencukupi kebutuhan dan pendidikan keenam anaknya. Apalagi, 6 anaknya tersebut terbilang anak-anak yang cerdas dan saleh. Semua anaknya dididik dan disekolahkan di Jakarta untuk kemudian melanjutkan ke jenjang berikutnya. Ada yang ke Jawa Tengah (Pesantren Tegalrejo), ITB, maupun Mesir.
Baca juga: Haji Agus Salim: Penikmat Kretek yang Jago Mengajar dan Diplomasi
Nyai Sholichah juga aktif di berbagai Lembaga. Antara lain, di tahun 1959 ia menjadi Ketua Muslimat NU. Nyai Sholichah juga pernah terlibat politik praktis. Tahun 1957 ia menjadi legislator DKI Jakarta. Tahun 1960 menjadi anggota DPR Gotong Royong/MPRS, tahun 1971 menjadi anggota DPR/MPR (mewakili NU), dan tahun 1978-1987 menjadi anggota DPR/MPR (mewakili PPP).
Di bidang sosial, Nyai Sholichah aktif di Yayasan Dana Bantuan sejak 1958 sampai akhir hayat. Ia juga mendirikan beberapa Lembaga, antra lain Ikatan Keluarga Pahlawan Nasional, Panti Harapan Remaja, Yayasan Kesejahteraan Muslimat NU, Lembaga Kemaslahatan Keluarga NU, Pengajian al-Islah, dan lain-lain. Nyai Sholichah juga berperan besar dalam pendirian Yayasan Abdul Wahid Hasyim Ciganjur Jakarta. Lembaga ini fokus dalam bidang sosial dan pendidikan. Saat ini, Yayasan Abdul Wahid Hasyim menaungi lembaga pendidikan semisal SDI Tebuireng, madrasah diniyah, TPQ Al-Munawwaroh, dan Pesantren Luhur Ciganjur.
Suri Tauladan
Hari Jumat, 29 Juli 1994, sekitar pukul 23.00 WIB, Nyai Sholichah Munawwaroh wafat di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo Jakarta, dalam usia 72 tahun. Jenazahnya dimakamkan pada 30 Juli 1994 sekitar pukul 17.00 WIB di kompleks pemakaman Tebuireng, Jombang.
Dari perjalanan panjang Nyai Sholichah kita bisa belajar tentang ketabahan dan semangat untuk terus berjuang. Jerih payah dan kegigihan Nyai Sholichah berhasil mengantarkan anak-anaknya menjadi pribadi luar biasa. Bahkan beberapa di antaranya menjadi tokoh nasional.
Abdurrahman ad-Dakhil yang populer dengan nama Abdurrahman Wahid (Gus Dur) pernah menjadi Presiden Republik Indonesia dan Ketua Umum PBNU. Aisyah Wahid pernah menjadi Ketua PP Muslimat NU. Salahuddin Al-Ayyubi yang populer sebagai Salahuddin Wahid (Gus Solah) adalah Arsitek lulusan ITB yang pernah menjadi Wakil Ketua Komnas HAM, Calon Wakil Presiden dalam Pilpres 2004, dan menjadi Pengasuh di Pesantren Tebuireng, Jombang. Umar Wahid adalah dokter spesialis paru-paru yang pernah menjadi direktur di beberapa Rumah Sakit. Lily Wahid pernah menjadi Anggota DPR. Sedangkan Hasyim Wahid dikenal punya multitalenta.
Jadilah bagian dari perjuangan Sabili
Bangun Indonesia dengan Literasi!