Pemilihan Umum (Pemilu) untuk memilih Calon Anggota Legislatif (Caleg) dan Pemilihan Presiden (Pilpres) Republik Indonesia akan berlangsung tanggal 14 Februari 2024. Persepsi umum tentang Pileg dan Pilpres adalah bahwa Pileg dan Pilpres kali ini menjadi penentu bagi eksistensi kedaulatan Indonesia, eksistensi kebangsaan Indonesia, dan eksistensi keagamaan mayoritas muslim Indonesia. Persepsi tersebut muncul berdasarkan percaturan politik global, pertarungan antar ideologi dunia, dan kapasitas penampungan komunitas sesuatu bangsa yang sudah overload seperti bangsa Cina.
Kondisi semisal itu menuntut suatu negara di dunia harus berhati-hati dan sangat serius menentukan siapa yang layak menjadi anggota legislatif dan siapa pula yang patut menjadi presiden, agar eksistensi kedaulatan, eksistensi keagamaan, dan eksistensi kebangsaan yang disahkan oleh hukum internasional untuk suatu bangsa dan negara bisa tetap eksis. Lepas dari kehati-hatian tersebut, eksistensi kebangsaan bakal lepas juga, eksistensi keagamaan akan lepas juga, dan eksistensi kebangsaan pun akan lepas juga ke tangan asing. Kondisi itu layak disebut bahwa bangsa Indonesia bakal dijajah bangsa asing dengan model penjajahan modern. Artinya, Indonesia tetap wujud, tetapi kedaulatan, kebangsaan, dan keagamaan, semuanya akan berada dalam kontrol dan pengaturan bangsa asing.
Untuk menghindari semua kemungkinan buruk sekaligus mempertahankan eksistensi kedaulatan, eksistensi keagamaan, dan eksistensi kebangsaan, maka Pilpres 14 Februari 2024 menjadi tolok ukur bagi negara Indonesia, Bangsa Indonesia, dan agama di Indonesia. Bagaimana kondisi itu harus disikapi oleh bangsa Indonesia agar kedaulatan, kebangsaan, dan agama di Indonesia tetap terjaga dan terpelihara?
Pilpres 14 Februari menjadi media penentu semua itu. Dan bangsa Indonesia sendiri yang bakal menjadi pelaku untuk penentuan tersebut. Oleh sebab itu, bangsa dan rakyat Indonesia harus cerdas, lugas, waras, dan bertindak tegas untuk menentukan sikap dalam memilih Capres yang mampu menjaga dan mempertahankan kedaulatan, keagamaan, dan kebangsaan satu Indonesia raya.
Tiga Capres
Telah tercatat dan disahkan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU), ada tiga pasangan Capres/Cawapres yang bakal bertarung dalam pilpres 14 Februari 2024 nanti. Di nomor urut (norut) satu ada nama Anies Rasyid Baswedan sebagai Capres dan Muhaimin Iskandar sebagai Cawapres; di norut dua ada Prabowo Subianto sebagai Capres dengan Gibran Rakabuming Raka sebagai Cawapres; dan di norut tiga ada Ganjar Pranowo sebagai Capres bersama Mahfud MD sebagai Cawapres.
Ketiga pasangan tersebut diusung oleh pihak yang berbeda latar belakang sangat tajam, baik terkait ideologi, ketaatan beragama, pikiran dan pemikiran, eksistensi partai, maupun terkait dukungan massa. Semua itu bakal tercermin pada eksistensi pertahanan kedaulatan, keagamaan, dan kebangsaan selama lima tahun ke depan pasca Pilpres. Jika pasangan nomor urut satu yang menang, selama lima tahun ke depan Indonesia akan diwarnai oleh latar belakang pasangan tersebut. Kalau pasangan nomor urut dua yang menang, Indonesia selama lima tahun ke depan akan berwarna sesuai latar belakang pasangan nomor urut dua. Demikian juga kalau pasangan nomor urut tiga yang menang.
Baca juga: Prof. Dr. Effendi Gazali: "Saya Tak Bisa Jawab Bagaimana Masa Depan Demokrasi di Indonesia"
Jika sedikit lebih dalam kita telusuri tentang identitas dan kapasitas tiga pasangan Capres/Cawapres tersebut, di sana kita temui perbedaan esensial di antara ketiganya. Baik terkait kapasitas keilmuan, identitas kebangsaan, eksistensi keagamaan, keberadaan dukungan, maupun nilai kesetiaan. Pasangan nomor urut satu yang memiliki best track record, umpamanya. Publik menilai Capresnya sangat berkompeten, sangat kapabel, sangat berkualifikasi, sangat intelek, sangat sabar, sangat bermoral, dan sangat didukung oleh mayoritas bangsa Indonesia. Demikian juga Cawapresnya yang berasal dari komunitas nahdhiyyin sangat sesuai dan identik dengan kapasitas Capresnya.
Sementara Capres nomor urut dua sudah makruf dan berkesan di publik sebagai berwatak bengis, suka mengancam, tidak setia kepada pendukungnya (kasus pilpres 2019), suka goyang gemoy yang tidak wajar bagi seorang Capres, memiliki hubungan dengan negara Israel yang dibenci bangsa Indonesia, terkesan dekat dengan kecurangan, ada negative action di masa lalu, dan ada informasi terkait korupsi. Cawapresnya disebut publik sebagai “anak haram konstitusi” dan oleh stasiun televisi Al-jazeera disebut nepo baby yang bermakna bayi nepotisme. Ia diantar oleh ayahnya, Joko Widodo, ke arena Pilpres dengan menggunakan politik Machiavelli, tanpa kapasitas SDM, tanpa kecukupan usia yang diatur konstitusi, juga tanpa pengalaman dan pengetahuan yang memadai. Sehingga mengkhawatirkan anak bangsa Indonesia kalau pasangan ini yang memenangi Pilpres Februari 2024 nanti.
Sedangkan pasangan Capres/Cawapres nomor urut tiga, Ganjar Pranowo dan Mahfud MD, merupakan pasangan yang berbeda latar belakang. Capres merupakan kader Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan. Partai itu selama ini gerakannya identik dengan ideologi marhaenisme, suka mengutak atik ideologi negara, dan berupaya menggubah konstitusi lewat parlemen yang didominasinya. Ganjar sendiri dipahami rakyat dengan bukti valid sebagai penggemar film porno, tersentuh dengan korupsi, dan tidak memiliki track record yang lebih positif di mata rakyatnya selama dua periode menjadi Gubernur Jawa Tengah. Ia juga diatur penuh oleh partai pengusungnya dengan istilah “petugas partai”. Cawapresnya berlatar belakang akademisi yang berinfiltrasi dengan birokrasi sehingga menjadi menteri, sikapnya suka ceplas-ceplos, dan tidak komit dengan statement yang diucapkan.
Dari tiga ilustrasi Capres/Cawapres tersebut, rakyat dan bangsa Indonesia dapat membedakan, dapat menentukan pilihan, serta dapat mengajak keluarga atau rekan/teman dan masyarakat luas untuk keperluan estafet eksistensi kedaulatan, eksistensi keagamaan, dan eksistensi kebangsaan Indonesia di masa depan. Ketika bangsa Indonesia paham dan jeli dengan kondisi seperti ini dan arif serta bijak memutuskan pilihan, maka eksistensi kedaulatan negara, eksistensi keagamaan dan eksistensi kebangsaan Indonesia akan terselamatkan. Tetapi kalau anak bangsa Indonesia hari ini tidak bijak menentukan pilihan di satu hari 14 Februari 2024 nanti, maka malapetaka, mara bahaya, dan musibah besar, akan mengancam eksistensi kedaulatan bangsa, mengancam keagamaan rakyat, dan mengancam kebangsaan Indonesia.
Semua itu bakal mengalir kepada lima kemungkinan masa depan Indonesia. Satu, Indonesia tetap ada tetapi penguasanya mengutamakan oligarki dengan membiarkan rakyatnya mati sendiri. Dua, Indonesia tetap ada tetapi mayoritas rakyatnya beragama non-Islam. Tiga, Indonesia tetap wujud tetapi bangsanya didominasi oleh bangsa asing yang sedang diprioritaskan oleh rezim yang sedang berkuasa. Empat, Indonesia terpecah menjadi banyak negara dengan salah satu wilayahnya tetap bernama Indonesia. Lima, yang paling ngeri adalah Indonesia hilang dari peta dunia.
Semua itu sangat mungkin terjadi berdasarkan kenyataan hari ini dan masa lalu yang bukan Indonesia sehingga Indonesia dapat dikatakan tidak memiliki masa lalu. Sesuatu Negara yang tidak memiliki masa lalu besar kemungkinan tidak akan memiliki masa depan.
Baca juga: Dr. Ujang Komarudin, SH.I, MSi: "Demokrasi Ini Hanya Menguntungkan Pihak Tertentu"
Kemungkinan yang Bakal Terjadi
Menyimak perkembangan dunia masa lalu, lebih khusus pengalaman yang dialami negara-negara mayoritas muslim semisal Turki, Mesir, Irak, Libya, dan Aljazair, banyak kemungkinan yang bakal terjadi untuk negara Indonesia pasca Pilpres dan Pileg Februari 2024. Semua bakal kemungkinan tersebut sangat ditentukan oleh sikap dan pilihan bangsa Indonesia sendiri dalam menentukan Presiden terpilih nantinya. Pilihan penghuni negara Indonesia dalam memenangkan pasangan Capres/Cawapres tersebut akan menentukan Indonesia lima tahun ke depan (boleh jadi lebih dari lima tahun) akan mengikuti selera pasangan itu, mengikut deskripsi tipologi calon-calon tersebut yang telah kita ilustrasikan di atas.
Secara lebih spesifik, prediksi strategis kritis yang bernuansa ideologis selaras dengan perkembangan yang ada dapat dipresentasikan sebagai berikut: Kalau pasangan nomor urut satu yang didukung mayoritas rakyat Indonesia yang menang, empat kemungkinan bakal terjadi. Pertama, pasangan calon (paslon) dua dan tiga akan protes dengan mengerahkan massa, menggunakan kekuasaan yang ada, melibatkan pihak internasional untuk mendukungnya, sehingga kemenangan paslon nomor urut satu dapat dibatalkan dengan menggunakan alat negara yang sudah diatur sejak awalnya, seperti kasus Aljazair/Algier. Kedua, paslon nomor urut satu yang menang pilpres akan disahkan dan dilantik, namun dalam perjalanannya akan diganggu terus menerus dengan berbagai cara, sehingga gagal memimpin negara dan membuat kepercayaan rakyat kepada mereka menjadi tawar. Akibatnya, tidak bakal bisa maju untuk periode kedua.
Ketiga, kemenangan paslon nomor urut satu disahkan dan mereka dilantik menjadi Presiden dan Wakil Presiden tetapi dijatuhkan di tengah jalan dengan berbagai cara, seperti yang terjadi terhadap Mohammad Mursi di Mesir yang dikudeta oleh Panglima Tentaranya, Jenderal Abdul Fatah Alsisi, atas inisiasi kuasa besar dunia. Keempat, kemenangan paslon nomor urut satu diganggu secara berterusan dan continue dalam perjalanan kepemimpinannya, namun tukang ganggu walaupun menggunakan kuasa besar dunia mengalami kegagalan, sehingga kepemimpinan nomor urut satu sebagai pilihan mayoritas rakyat itu bertahan dan berjaya, seperti yang terjadi di Turki pimpinan Thayyib Erdoghan.
Seandainya paslon nomor urut dua yang memenangi election nantinya yang dari awal sudah berbenih kecurangan, akan terjadi tiga kemungkinan kondisi. Pertama, paslon terpilih akan diprotes oleh dua paslon lain, terutama paslon norut satu yang didukung mayoritas rakyat, dan terjadi chaos sehingga berakhir ke meja hijau, lalu Mahkamah Konstitusi memutuskan paslon norut dua curang dan kuasa diberikan kepada paslon norut lain pemilik suara dominan. Kedua, paslon norut dua menang dengan penuh kecurangan atas kerja sama polisi, TNI, KPU, Bawaslu, Mahkamah Konstitusi, dan rezim yang sedang berkuasa, sehingga dua paslon lain serta rakyat pendukungnya tak berdaya memprotesnya. Ketiga, paslon norut dua menang dengan penuh nuansa kecurangan, lalu diakui dan dilindungi oleh para penguasa di bawah rezim zalim, lalu terjadi protes rakyat dan berakhir ke meja hijau, namun MK memutuskan paslon norut dua tetap menang di bawah kawalan ketat alat negara, sehingga rakyat tak berdaya dan tak mampu mengubah.
Kalau sekiranya paslon norut tiga yang memenangi pilpres nanti, lalu terjadi protes massa karena dari sekarang sudah terindikasi partai politik (parpol) pengusungnya curang, ada tiga alternatif kondisi yang bakal terjadi. Pertama, rakyat membantah hasil kemenangan tersebut karena dari perjalanan masa paslon tersebut tak pernah naik elektabilitasnya di mata rakyat. Apalagi, partai pengusungnya terlanjur dibenci rakyat karena telah nyata berupaya mengubah ideologi negara, mengutak atik konstitusi negara, para kadernya koruptor, dan arah ideologi partainya berseberangan dengan mayoritas ideologi anak bangsa. Protes itu juga berujung ke meja hijau. MK-lah yang menentukan siapa yang berhak memimpin negara.
Kedua, paslon menang berjaya mempertahankan kemenangannya dari protes rakyat dengan menggunakan kekuatan militer dan berkolaborasi dengan paslon norut dua, sehingga kedua paslon tersebut mendapatkan support dan dukungan kuasa besar dunia. Jika ini yang terjadi, maka kedaulatan negara, keagamaan, dan kebangsaan Indonesia, terancam pupus secara sporadik. Ketiga, kemenangan paslon norut tiga diterima oleh rakyat bersama dua paslon lainnya dengan janji membagi-bagi kue kekuasaan dalam bingkai Indonesia yang nasionalisme-liberalisme-sekularisme, sehingga yang paling dirugikan adalah umat Islam Indonesia yang mayoritas dan sedang mempertahankan identitasnya.
Baca juga: Debat Ketiga Pilpres 2024 Ahad Malam, Pertahanan Keamanan dan Hubungan Internasional Jadi Tema
Alternatif Solusi
Berpijak kepada ideologi dan konstitusi Indonesia, bangsa besar ini memiliki peluang yang sangat cemerlang manakala dipimpin oleh pemimpin yang adil, berkapasitas, berilmu, berani, serta memihak rakyat berdasarkan ideologi dan konstitusi. Bangsa ini akan menjadi kekuatan baru bagi dunia yang ditakuti lawan dan diikuti bangsa lain manakala kepemimpinan nasional ke depan berkualitas internasional. Efek positifnya adalah bangsa Indonesia terhormat di mata dunia, hasil alam dapat dinikmati bangsanya, konstitusi negara bermakna dan berfaedah bagi rakyatnya, serta kehidupan berbangsa dan bernegara makmur sejahtera, aman, damai dan bermarwah, serta berwibawa.
Untuk aplikasi prediksi tersebut, ada beberapa langkah yang harus dilakukan bangsa ini dengan besar hati, penuh keikhlasan, keseriusan, dan tanggungjawab untuk bangsa, negara, dan agama. Pertama, seluruh bangsa Indonesia, baik yang bermastautin dalam negara maupun yang berdomisili di luar negeri, harus bersatu padu untuk mempertahankan eksistensi Indonesia raya selaras dengan ketentuan ideologi dan konstitusi negara. Kedua, umat beragama di Indonesia jangan saling menyerang dan menyalahkan dalam memilih seorang pemimpin negara. Pilih pemimpin yang kapabel, punya track record yang bagus, baik untuk semua suku dan umat beragama, serta terbukti mampu mempertahankan keutuhan negara. Ketiga, seluruh bangsa Indonesia jangan mudah diprovokasi, disuap, digarap, dibeli oleh pihak-pihak tertentu, yang bernuansa merugikan eksistensi kedaulatan negara, memecah belah umat beragama dan menghilangkan kebangsaan Indonesia.
Keempat, seluruh bangsa dan warga negara Indonesia punya sikap dan tekad bulat untuk mempertahankan tanah air Indonesia, sumber daya alam Indonesia, identitas bangsa, dan keberagaman agama, di bawah naungan UUD 1945 dan Pancasila. Kelima, sebaiknya dan semestinya para calon presiden dan wakil presiden saling menyadari ketidak sempurnaan diri, sehingga secara otomatis mengakui kelebihan pihak calon lain untuk saling memberikan peluang dan kesempatan kepada pihak yang layak untuk memimpin negara ke depan selaras dengan apresiasi rakyat yang nampak secara kasat mata selama ini. Artinya, dua dari tiga paslon Capres/Cawapres yang ada harus ikhlas mengundurkan diri atau tidak memaksa diri untuk menang dan jangan memaksa diri untuk melawan dan mendiskriminasi satu paslon yang nyata didukung rakyatnya, nyata kapasitas dan kapabilitasnya, hari demi hari elektabilitasnya meninggi, punya track record yang tinggi, kemampuan dan kemauannya untuk mengurus bangsa dan negara diakui berbagai bangsa.
Hanya jiwa-jiwa obyektif dan logis sajalah yang mampu menerjemahkan kalimat-kalimat ini. Jiwa-jiwa korup, jiwa-jiwa budak, jiwa-jiwa jongos, jiwa-jiwa pengkhianat, tak akan mampu menelusurinya. Semoga saja bangsa besar dengan beragam suku, agama, pulau, adat budaya, dan latar belakang ini selamat dari ancaman disintegrasi, adopsi, intimidasi, infiltrasi, dan kehancuran, di bawah naungan ideologi dan konstitusi, berdasarkan pertolongan zat yang Maha Kuasa.
Jadilah bagian dari perjuangan Sabili
Bangun Indonesia dengan Literasi!