Sejarah telah banyak menuturkan, sejatinya kekuasaan hanyalah segenggam kesempatan dalam panjangnya rentang waktu peradaban manusia. Ya, sejumput kesempatan yang langka, tetapi tak pernah langgeng.
Langka, karena tak banyak yang mendapatkannya meski banyak yang memimpikan. Tidak langgeng, karena begitu banyak variabel pembatas, meski nafsu berkuasa menginginkan keabadian.
Para tiran yang menganggap dirinya sebagai penguasa absolut, bahkan menasbihkan diri sebagai Tuhan, pada akhirnya harus menelan kenyataan: eksistensinya fana! Apalagi kekuasaannya.
Tetapi kekuasaan yang hanya segenggam kesempatan itu memang memabukkan. Para penguasa mabuk berhalusinasi tentang keabadian, atau lebih tepatnya terobsesi. Menjadikan anugerah berupa sejumput kekuasaan itu untuk mendukung dan mengupayakan keabadian kekuasaannya. Kekuasaan hanya untuk terus berkuasa.
Kekuasaan di bidang kesehatan ia abdikan untuk memberikan layanan kesehatan terbaik bagi dirinya sendiri. Tentu, agar tetap sehat dan mampu memperpanjang umur pada setiap tahunnya. Sehat adalah cara penting untuk tetap berkuasa. Penguasa-penguasa yang terobsesi pada keabadian membenci sakit dan amat takut pada kematian!
Sakit dan kematian adalah pembatas kekuasaan yang bersifat alamiah. Para penguasa besar pada akhirnya menyerah di gerbang kematian. Sakaratul maut adalah timer yang bersifat absolut. Tak bisa diundur, tak bisa ditolak. Tak sedikit penguasa yang mati di atas tahta yang masih ia duduki. Kehebatan kuasa yang ia puja dan miliki, ternyata tak ada pengaruhnya bagi sang ajal!
Tokoh dari kelompok yang tak puas akan muncul. Menjadi penyebab lain yang secara alamiah akan menggusur seseorang dari kursi kekuasaannya. Kudeta, perang saudara, bahkan pembunuhan licik yang terbalut dalam pekatnya intrik dan konspirasi akan menghunuskan belati untuk menyudahi sebuah episode kekuasaan. Muncul penguasa baru, yang diam-diam telah menanamkan pula ranjau pembatas kekuasaannya sendiri. Dendam.
Baca juga: Perlu 700 Miliar untuk Tunjukkan Betapa Rapuhnya Kedaulatan Data Kita
Peperangan besar antar bangsa dan antar negara, adalah variabel pembatas kekuasaan yang lain. Berbagai epic dan hikayat telah mengabadikannya. Bahkan masuk kitab pelajaran sejarah. Serbuan bangsa asing terkadang tak hanya mengakhiri kekuasaan, namun merampas pula kehidupan sang penguasa. Ia tak hanya tersingkir dari kekuasaan, tetapi bahkan tersingkir dari kehidupan!
Di alam demokrasi, pembatas kekuasaan lebih banyak lagi. Konstitusi dan hukum adalah dua hal yang paling utama. Penguasa yang kerap mabuk dan terobsesi keabadian harus dibatasi umur kekuasaannya secara konstitusional. Maksimal dua periode, begitulah kata konstitusi kita.
Skandal besar yang dilakukan oleh penguasa dalam sistem demokrasi mampu mengantarkan ia pula pada tindakan impeachment, pemakzulan. Fakta ini menjadi pembatas kekuasaan yang lain, di alam demokrasi.
Sungguh, hakikat kekuasaan itu sekadar segenggam-sejumput. Pemilu lima tahunan adalah pintu evaluasi yang bisa menendang penguasa untuk enyah dari singgasana kekuasaan. Meski banyak fakta di negara demokrasi yang menunjukkan bahwa Pemilu rentan dimanipulasi. Tetapi itu pun tak akan lama. Paling banter dua periode.
Okelah, mungkin penguasa masih ingin memiliki pengaruh, malalui kader politik atau bahkan keturunannya sendiri yang ia menangkan dalam Pemilu. Faktanya, setiap penguasa baru memiliki masalahnya sendiri dan memiliki logika kekuasaannya sendiri. Lebih dari itu semua, tak pernah ada penguasa yang rela menjadi bayang-bayang dari penguasa sebelumnya! Tamat sudah riwayat segenggam kekuasaan.
Langgeng dengan Apa yang Ditabur
Tidak ada kekuasaan manusia yang abadi. Semuanya akan tergilas oleh sang waktu. Selama-lama kekuasaan manusia, tak akan pernah melampaui umurnya. Allah Swt, yang menciptakan ruang dan waktu, telah menentukan bahwa kekuasaan manusia akan dipergilirkan.
Baca juga: Peringatan Hari Pengungsi yang Sepi
“Masa (kejayaan dan kehancuran) itu Kami pergilirkan di antara manusia (agar mereka mendapat pelajaran) dan Allah mengetahui orang-orang beriman (yang sejati) dan sebagian kamu dijadikan-Nya (gugur sebagai) syuhada. Allah tidak menyukai orang-orang zalim” (Ali Imron: 140).
Karena itu, merupakan kebodohan dan kesia-siaan jika manusia berhasrat untuk terus berkuasa. Penguasa yang pintar adalah mereka yang mampu memanfaatkan segenggam kekuasaannya untuk kebaikan dan mengajak manusia pada jalan Allah. Seperti Nabi Daud, Nabi Sulaiman, dan para penguasa yang adil lainnya.
Kekuasaan adalah amanah dan ayat-ayat Allah Swt yang secara langsung menunjukkan bahwa Allah adalah penguasa yang sesungguhnya. Yang Maha Kekal, Yang Maha Hidup. Selebihnya adalah penerima rahmat dan amanah-Nya.
Penguasa yang cerdas bukanlah penguasa yang tak ingin beranjak dari kekuasaannya. Tetapi yang mampu menjawab kebaikan apa yang bisa ia optimalkan saat kekuasaan ada di tangannya.
Lihatlah Umar bin Abdul Azis. Ia enggan menjadi khalifah, pemangku kekuasaan dalam kerajaan Islam yang saat itu amat berpengaruh. Tetapi saat ketentuan Allah tiba, ia pegang juga amanah itu.
Maka, jadilah Umar bin Abdul Azis salah satu penguasa dalam dinasti Umayyah. Sejarah mencatat, Umar bin Abdul Azis hanya berkuasa selama 2,5 tahun saja. Waktu yang sungguh pendek.
Ia tidak terobsesi oleh keabadian, bahkan wafat pada usia yang masih relatif muda, sekitar 37 tahun. Namun, Umar bin Abdul Azis mampu memanfaatkan segenggam kekuasaannya untuk mengabdi kepada Allah Swt dan membangun kesejahteraan bagi umat yang dipimpinnya dengan sebaik-baiknya.
Baca juga: Kebijakan Kontroversial dan Kegelisahan di Ujung Jabatan
Sejarah kemudian memberi kesaksian bahwa Umar bin Abdul Azis adalah salah satu khalifah Bani Umayyah yang dianggap paling sukses. Salah satu indikator penting dari kesuksesannya adalah tingkat kesejahteraan warga yang meningkat pada masanya.
Umurnya pendek. Tetapi Umar bin Abdul Azis langgeng dalam memori sejarah sebagai penguasa yang adil dan mampu membangun kesejahteraan rakyat. Ia telah berhasil menabur benih keadilan dan kesejahteraan, yang membuat namanya abadi.
Pasca Pilpres dan jelang Pilkada ini, ada baiknya para calon pemimpin belajar untuk memahami pendeknya kekuasaan. Gunakanlah sebaik mungkin untuk mengurus rakyat dengan efektif. Taburlah kebaikan sebanyak mungkin di ladang kekuasaanmu, agar namamu langgeng dalam ingatan sejarah.
Jangan malah dimubazirkan untuk berpikir tentang bagaimana caranya menang lagi di Pemilu atau Pilkada berikutnya. Sadarilah, ini bukan tentang berapa lama kita memegang kekuasaan, tetapi seberapa maksimal kita dapat menjalankan amanah kekuasaan untuk berbuat kebaikan atas nama Allah bagi masyarakat banyak.
Jadilah bagian dari perjuangan Sabili
Bangun Indonesia dengan Literasi!