Hari ini, Kementerian Sosial RI (Kemensos) punya gawe. Tanggal 20 Desember adalah Hari Kesetiakawanan Sosial Nasional (HKSN) dan Kemensos adalah koordinatornya. Tahun ini, tema HKSN cukup mentereng “Kuatkan Solidaritas Menuju Indonesia Emas”.
Kesetiakawanan Sosial adalah sebuah frase yang indah. Di dalam gabungan dua kata “kesetiakawanan” dan “sosial” tersebut, tersembul sebuah pesan tentang perkawanan dan kesetiaan yang mestinya lestari dalam sanubari masyarakat Indonesia.
Melirik kembali sejarahnya, HKSN sesungguhnya adalah monumen sosial atau tetenger yang dikaitkan dengan peristiwa bersatu padunya seluruh elemen rakyat Indonesia. Tepatnya tanggal 20 Desember 1948, peristiwa tersebut terjadi demi memertahankan daulat Indonesia yang belum lama diproklamasikan dari serangan tentara kolonial Belanda yang kembali menduduki Yogyakarta. Jadi, dalam HKSN bukan hanya terkandung nilai perkawanan dan kesetiaan, tetapi juga perjuangan dan pengorbanan untuk kepentingan umum, jika dilihat dari konteks sejarahnya.
Membincangkan tema kesetiaan di bulan Desember yang basah oleh gerimis sepanjang hari, entah mengapa timbul gigil. Bukan hanya karena dingin, tetapi juga karena kesadaran tentang semakin langkanya kesetiaan.
Inti pesan di dalam tema yang mentereng itu untuk siapa? Pastinya untuk seluruh rakyat Indonesia. Di era Artificial Intelligence dalam genggaman seperti hari ini, rasanya semua orang mampu menjadi kreator tema-tema indah. Lantas, apakah tema-tema seperti itu masih menggugah saat semua orang telah mampu membuatnya?
Naturalnya, ketika bicara tentang kesetiakawanan, perkawanan, solidaritas, semestinya ada pijar-pijar hangat yang merayapi semangat dan perasaan. Entahlah, membaca tema HKSN yang mentereng itu justru perasaanku terpelanting dalam sepi dan dingin. Mengapa di dalam semua event peringatan hari besar, kita hanya berlomba membuat kredo dalam rangkaian kata indah? Sementara di sisi lain, sepi dari keteladanan.
Siapa di hari ini yang masih mengajarkan kesetiaan dengan terang-terangan? Di saat pasangan suami-istri yang tak setia jumlahnya semakin besar. “Selingkuh itu indah”, begitulah polah tidak setia itu dipromosikan dengan terang-terangan.
Sergapan rasa dingin itu akan dirasakan kian memuncak, saat kesetiaan dihadapkan kepada cinta tanah air. Siapa yang menjadi role model-nya?
Sementara panggung teater terbesar dalam kehidupan berbangsa dan bernegara kita justru tiada henti menyuguhkan drama politik yang penuh intrik dan pengkhianatan. Entah berapa ratus kali kita harus menelan drama korupsi. Bahkan aku bertanya-tanya, kapan kiranya episode ini akan berakhir?
Justru yang terjadi adalah kasus tangkap tangan melibatkan angka yang makin fantastis dari waktu ke waktu dan modus yang semakin canggih. Celakanya, anak-anak negeri menonton drama itu dari sudut yang tidak dikehendaki; mengkhianati negeri dengan menilep anggaran bisa kaya dengan cepat, gagah, dan hukumannya ringan.
Lantas di mana solidaritas sosial itu? Di saat jumlah pengangguran meningkat, daya beli menurun, kesejahteraan sosial yang buruk, dialami mayoritas bangsa ini, sementara segelintir orang hampir-hampir saja mampu membeli Indonesia.
Ah, lalu siapa role model-nya? Ketika pemimpin bangsa dituding mengkhianati partainya, konstitusinya, dan bahkan menempatkan kepentingan keluarga di atas kepentingan bangsa. Di mana wujud kesetiakawanan sosial itu?
Menyerukan kesetiakawanan dan solidaritas sosial dalam bait-bait indah tulisan. Namun, pengkhianatan dipertontonkan secara telanjang. Di saat masyarakat sekarang tak suka membaca, lebih suka menonton, mudah dicerna dan gampang ditiru!
Jadilah bagian dari perjuangan Sabili
Bangun Indonesia dengan Literasi!