Menabung Dapat Hadiah, Apa Hukumnya?

Menabung Dapat Hadiah, Apa Hukumnya?
Menabung Dapat Hadiah, Apa Hukumnya? / Foto Josh Appel

Tanya:

Assalamu’alaikum wa rahmatullahi wa barakatuh.

Ustadz, saya ingin tanya. Kalau menabung di orang, lalu dibilang setiap satu bulan mesti setor Rp 50.000, nanti setelah satu tahun akan cair Rp 600.000 tetapi dipotong Rp 30.000 untuk ngasih ke pihak yang pegang uangnya, dan selain mendapat uang  tabungan, pihak yang menabung juga mendapat sembako semisal beras, minyak, gula, bagaimana hukumnya, Ustadz? Apakah ada unsur riba di sana?

 –Diyah Himas, Cirebon

 Jawab:

Wa‘alaikum salam wa rahmatullahi wa barakatuh.

Kalau seperti yang ditanyakan itu, maka jelas itu riba yang dilarang. Sebab, hadiah sembako tersebut sama statusnya dengan bunga tabungan, hanya saja bentuknya bukan uang, tetapi barang.

Status tabungan seperti tersebut di atas dalam fikih Islam termasuk akad qardh, artinya akad pinjam uang untuk dikembalikan dengan uang senilai. Di dalam ketentuan fikih Islam pula bahwa qardh tidak boleh menghasilkan keuntungan bagi kreditur (penabung), sebagaimana terkenal dalam kaidah fikih "Setiap pinjaman uang yang menyeret keuntungan adalah riba". Maksudnya, ada keuntungan untuk kreditur lantaran hutang tersebut.

Orang yang menampung tabungan itu dianggap sebagai debitur atau orang yang berhutang uang, karena sejatinya dia seakan meminjam uang untuk dia kelola dan akan mengembalikannya lagi pada saatnya nanti. Mirip dengan sistem kerja bank.

Para ulama sepakat bahwa hadiah yang diberikan lantaran hutang adalah riba. Sebab, itu berarti keuntungan materiil yang diperoleh kreditur dari piutangnya. Berbeda halnya kalau hadiah tersebut memang biasa diberikan oleh debitur kepada kreditur sebelum terjadi akad qardh antar keduanya, atau yang dipastikan sama sekali tidak ada hubungannya dengan pinjaman uang tersebut, maka itu dibolehkan.

Tetapi dalam pertanyaan di atas, jelas sekali bahwa hadiah itu diberikan lantaran adanya tabungan (qardh) agar makin banyak orang yang menabung di situ sehingga mereka bisa mendapatkan dana segar.

Dalil untuk hal ini antara lain Riwayat Abdullah bin Salam pernah berkata kepada Abu Burdah bin Abu Musa,

إِنَّكَ بِأَرْضٍ الرِّبَا بِهَا فَاشٍ إِذَا كَانَ لَكَ عَلَى رَجُلٍ حَقٌّ فَأَهْدَى إِلَيْكَ حِمْلَ تِبْنٍ أَوْ حِمْلَ شَعِيرٍ أَوْ حِمْلَ قَتٍّ فَلَا تَأْخُذْهُ فَإِنَّهُ رِبًا

 ”Sesungguhnya kamu sedang berada di negeri yang riba merajalela di dalamnya. Maka jika kamu punya piutang atas diri seseorang, lalu orang itu menghadiahkan kepadamu setumpuk jerami, atau gandum, atau alas kendaraan, maka jangan kamu terima, karena itu adalah riba" (HR Al-Bukhari dalam Shahihnya, no. 3814).

Referensi:

1. Di dalam kitab Al-Mudawwanah (3/179-180, terbitan Darul Kutub Al-Ilmiyyah tahun 1994) disebutkan:

[هَدِيَّةُ الْمِدْيَانِ]
ِ قُلْتُ:مَا يَقُولُ مَالِكٌ فِي رَجُلٍ لَهُ عَلَى رَجُلٍ دَيْنٌ أَيَصْلُحُ لَهُ أَنْ يَقْبَلَ مِنْهُ هَدِيَّتَهُ؟ قَالَ:قَالَ مَالِكٌ:لَا يَصْلُحُ أَنْ يَقْبَلَ مِنْهُ هَدِيَّتَهُ إلَّا أَنْ يَكُونَ رَجُلًا كَانَ ذَلِكَ بَيْنَهُمَا مَعْرُوفًا، وَهُوَ يَعْلَمُ أَنَّ هَدِيَّتَهُ لَيْسَ لِمَكَانِ دَيْنِهِ فَلَا بَأْسَ بِذَلِكَ.
قَالَ ابْنُ وَهْبٍ، عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ عَمْرٍو، عَنْ ابْنِ جُرَيْجٍ أَنَّ عَطَاءَ بْنَ أَبِي رَبَاحٍ قَالَ لَهُ رَجُلٌ:إنِّي أَسْلَفْتُ رَجُلًا فَأَهْدَى إلَيَّ قَالَ:لَا تَأْخُذْهُ، قَالَ:قَدْ كَانَ يُهْدِي إلَيَّ قَبْلَ سَلَفِي، قَالَ:فَخُذْ مِنْهُ قَالَ الرَّجُلُ:فَقُلْتُ:قَارَضْتُ رَجُلًا مَالًا، قَالَ:مِثْلُ السَّلَفِ سَوَاءٌ.
وَقَالَ عَطَاءٌ فِيهِمَا:إلَّا أَنْ يَكُونَ رَجُلًا مِنْ خَاصَّةِ أَهْلِكَ أَوْ خَاصَّتِكَ لَا يُهْدِي لَكَ لِمَا تَظُنُّ فَخُذْ مِنْهُ
؛ وَعَنْ يَحْيَى بْنِ سَعِيدٍ أَنَّهُ قَالَ:أَمَّا مَنْ كَانَ يَتَهَادَى هُوَ وَصَاحِبُهُ وَإِنْ كَانَ عَلَيْهِ دَيْنٌ أَوْ سَلَفٌ فَإِنَّ ذَلِكَ لَا يَتَقَابَحُهُ أَحَدٌ، قَالَ:وَأَمَّا مَنْ لَمْ يَكُنْ يَجْرِي ذَلِكَ بَيْنَهُمَا قَبْلَ الدَّيْنِ وَالسَّلَفِ هَدِيَّةٌ، فَإِنَّ ذَلِكَ مِمَّا يَتَنَزَّهُ عَنْهُ أَهْلُ التَّنَزُّهِ.قَالَ الْحَارِثُ بْنُ نَبْهَانَ، عَنْ أَيُّوبَ عَنْ ابْنِ سِيرِينَ:إنَّ أُبَيَّ بْنَ كَعْبٍ اسْتَسْلَفَ مِنْ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ عَشْرَةَ آلَافِ دِرْهَمٍ فَأَهْدَى لَهُ هَدِيَّةً فَرَدَّهَا عُمَرُ، فَقَالَ أُبَيّ:قَدْ عَلِمَ أَهْلُ الْمَدِينَةِ أَنِّي مِنْ أَطْيَبِهِمْ ثَمَرَةً، فَرَأَيْتُ إنَّمَا أَهْدَيْتُ إلَيْكَ مِنْ أَجَلِ مَالِكِ عِنْدِي اقْبَلْهَا فَلَا حَاجَةَ لَكَ فِيمَا مَنَعَكَ مِنْ طَعَامِنَا، فَقَبِلَ عُمَرُ الْهَدِيَّةَ.

Hadiah dari Debitur

Aku berkata, “Apa pendapat Malik tentang seorang yang punya piutang atas diri orang lain, apakah dia boleh menerima hadiah dari debiturnya itu? Dia menjawab, “Menurut Malik, dia tak boleh menerima hadiah itu kecuali kalau mereka berdua memang biasa saling memberi hadiah dan dia (debitur) tahu bahwa hadiah itu tidak ada hubungannya dengan hutang piutang mereka. Kalau demikian, maka tak ada masalah dengan hadiah tersebut.

Ibnu Wahb berkata, dari Muhammad bin Amr dari Ibnu Juraij bahwa ‘Atha` bin Abi Rabah, seorang bertanya kepadanya, “Saya meminjamkan uang kepada orang lain lalu dia memberikan hadiah kepada saya.” Maka ‘Atha` menjawab, “Jangan terima.” Orang itu berkata, “Tetapi dia memang biasa memberi hadiah sebelum saya pinjamkan uang itu.” ‘Atha`pun berkata, “Kalau begitu boleh kamu ambil.”

Ada orang lain bertanya, “Saya memberikan modal usaha kepadanya (qiradh)?” ‘Atha` menjawab, “Sama dengan pinjaman (hukum hadiahnya –penerj).”

'Atha` memberi komentar kepada kedua orang ini, “Kecuali kalau orang yang memberi hadiah itu memang saudaramu yang spesial, atau teman spesial yang tidak memberi hadiah hanya lantaran berutang kepadamu maka silahkan kamu ambil hadiahnya.”

Bolehkah Shalat di Masjid yang Dibangun Orang Non Muslim yang Hartanya Tercampur Haram?
Bagaimana kalau ada orang non Islam yang membangun masjid, sedangkan ia juga punya puluhan bisnis club malam? Apakah kita tetap boleh shalat di masjid tersebut? Pertanyaan itu akan dijawab Ustadz Anshari Taslim, Lc (Mudir Pesantren Bina Insan Kamil, DKI Jakarta).

Dari Yahya bin Sa’id yang berkata, “Siapa biasa yang saling memberi hadiah satu sama lain meski ada hubungan utang piutang antara mereka, maka tak ada satu pun yang menganggapnya terlarang. Tetapi kalau itu bukanlah kebiasaan mereka memberi hadiah sebelum terjadinya utang piutang, maka hal itu dianggap makruh oleh orang-orang yang menjaga kesucian diri.”

Al Harits bin Nabhan berkata, dari Ayyub, dari Ibnu Sirin, “Sesungguhnya Ubay bin Ka’b pernah berutang uang sesuatu dari Umar bin Khaththab sebesar sepuluh ribu dirham, lalu Ubay memberi Umar hadiah tetapi Umar mengembalikannya. Ubay pun berkata, “Penduduk Madinah ini sudah tahu bahwa saya memiliki buah terbaik, apakah Anda merasa saya memberi hadiah karena uang Anda yang ada pada saya? Terimalah hadiah itu, karena Anda tak perlu melarang diri dari makanan kami.”

Maka Umar pun menerima hadiah itu. Selesai dari Al-Mudawwanah.

2. Al-Baihaqi meriwayatkan dalam As-Sunan Al-Kubra 5/572 nomor 10930 dari Abu Shalih, dari Ibnu Abbas bahwa dia berfatwa tentang seorang yang punya piutang kepada orang lain sebesar 20 dirham, lalu yang berutang ini selalu memberinya hadiah dan setiap dia jual hadiah itu harganya mencapai total 13 dirham. Maka, Ibnu Abbas berkata kepadanya, “Jangan kamu ambil lagi (pelunasan hutangnya) darinya kecuali tujuh dirham.”

Maksudnya, Ibnu Abbas menghitung hadiah itu sebagai pengembalian hutang dan tak boleh dianggap hadiah biasa.

Riwayat lain adalah dari Salim bin Abu Al-Ja’d (nomor 10931) yang berkata, “Kami punya tetangga seorang nelayan yang mana dia punya piutang atas orang lain sebesar 50 dirham. Orang yang berutang itu menghadiahkan ikan kepadanya, maka dia pun mendatangi Ibnu Abbas menanyakan hal itu, lalu Ibnu Abbas menjawab, “Hitung itu sebagai pembayaran hutangnya kepadamu.”

3. Asy-Syaukani dalam kitab Nail Al-Awthar:

وَالْحَاصِلُ أَنَّ الْهَدِيَّةَ وَالْعَارِيَّةَ وَنَحْوَهُمَا إذَا كَانَتْ لِأَجْلِ التَّنْفِيسِ فِي أَجَلِ الدَّيْنِ، أَوْ لِأَجْلِ رِشْوَةِ صَاحِبِ الدَّيْنِ، أَوْ لِأَجْلِ أَنْ يَكُونَ لِصَاحِبِ الدَّيْنِ مَنْفَعَةٌ فِي مُقَابِلِ دَيْنِهِ فَذَلِكَ مُحَرَّمٌ؛ لِأَنَّهُ نَوْعٌ مِنْ الرِّبَا أَوْ رِشْوَةٌ وَإِنْ كَانَ ذَلِكَ لِأَجْلِ عَادَةٍ جَارِيَةٍ بَيْنَ الْمُقْرِضِ وَالْمُسْتَقْرِضِ قَبْلَ التَّدَايُنِ فَلَا بَأْسَ

“Kesimpulannya, bahwa hadiah dan pinjaman dan semisalnya bila dilakukan lantaran berharap penundaan pembayaran hutang atau lantaran menyuap kreditur, atau agar kreditur mendapatkan manfaat dari piutangnya, maka diharamkan, karena termasuk riba atau sogokan. Tetapi bila antar kreditur dan debitur memang biasa memberikan hadiah sebelum terjadinya akad utang piutang antar mereka, maka tidak masalah.”

(Nail Al-Awthar, juz 5, hal. 244).

-------------------------------------------------------------------------

Dijawab oleh Ustadz Anshari Taslim, Lc (Mudir Pesantren Bina Insan Kamil, DKI Jakarta).

Bagi pembaca setia Sabili.id yang ingin mengajukan pertanyaan seputar kaidah hukum Islam, silakan mengirimkan pertanyaannya ke meja redaksi kami melalui email: [email protected]

Google News

Komentar Anda:

Anda telah berhasil berlangganan di Sabili.id
Selanjutnya, selesaikan pembayaran untuk akses penuh ke Sabili.id
Assalamu'alaikum! Anda telah berhasil masuk.
Anda gagal masuk. Coba lagi.
Alhamdulillah! Akun Anda telah diaktifkan sepenuhnya, kini Anda memiliki akses ke semua artikel.
Error! Stripe checkout failed.
Alhamdulillah! Your billing info is updated.
Error! Billing info update failed.