Generasi Z, yang umumnya didefinisikan sebagai kelompok yang lahir antara pertengahan 1990-an hingga pertengahan 2010-an, sering kali disebut sebagai generasi yang unik dan penuh dengan karakteristik khusus. Saking uniknya, banyak meme bertebaran di media sosial yang spill kelakuan random mereka. Seperti kisah seorang HRD yang geleng-geleng kepala karena banyak karyawan gen-z tiba-tiba hilang tanpa kabar dengan alasan mental health issue. Kecenderungan gen-z untuk lemah dalam menerima tekanan banyak disorot terutama oleh millenial.
Tapi keanehan gen-z tidak semerta-merta hadir begitu saja. Kita harus akui bersama, gen-z dilahirkan dan dibesarkan oleh generasi sebelumnya antara gen-x akhir sampai millenial awal. Ada banyak variabel yang dianggap membentuk tingkah pikir dan pola perilaku unik itu. Salah satunya karena gen-z dibesarkan oleh orangtua yang tidak ingin anaknya jadi seperti mereka. Didikan keras orang tua Indonesia (dan sebagian besar asia) di zaman orba sudah dianggap sebagai common knowledge. Sampai-sampai komedian amerika asal asia “Jimmy Yang” menyebut love language-nya orang tua asia adalah verbal abuse.
Bahasa cinta ibu di zaman dulu adalah memberi label “gendut” setelah memasak banyak makanan enak dan akan ngambek jika tidak habis. Sudah tidak terhitung berapa banyak anak tetangga yang disebut sebagai pembanding. Atau ibu yang mengomel ketika kita dengan polos memberitahukan tugas rumit yang perlu dikumpulkan esok hari secara mendadak tapi tetap dengan ikhlas menyiapkannya. Orang tua yang membesarkan gen-z merasa tidak cukup menerima afirmasi positif selama hidupnya, merasa tidak memiliki cukup kebebasan untuk memilih jalan, dan tidak merasa cukup menjadi “aku”.
Baca juga: Semangka, Palestina dan Simbol Perlawanan
Hal-hal itu yang coba dihilangkan dari pola asuh gen-z. Terlebih, mereka lahir di era ketergantungan teknologi informasi. Mereka mudah terpapar pada tingkatan informasi yang tinggi dan terbiasa dengan dunia penuh distraksi. Ilmu psikologi menunjukkan bahwa paparan berlebih pada teknologi dan media sosial dapat mengakibatkan gangguan perhatian dan gangguan kecemasan. Oleh karena itu, perilaku Gen-Z yang terkesan tidak sabar atau kurang fokus mungkin terkait dengan paparan berlebihan ini.
Pola asuh yang mengedepankan sisi personal cenderung mendorong kebutuhan akan validasi. Sebagai contoh di media sosial mereka sering mengejar jumlah "like" dan "follower" sebagai indikator nilai diri. Kecenderungan ini dapat menciptakan perilaku yang terkesan sombong atau terlalu peduli dengan citra mereka di mata orang lain.
Gen-Z dikenal dipengaruhi oleh "cancel culture," yang mengacu pada praktik menghukum individu atau entitas yang dianggap melakukan tindakan yang tidak etis atau kontroversial. Meskipun bisa jadi bentuk respons sosial yang diperlukan, hal ini juga bisa menunjukkan kecenderungan untuk cepat menghakimi dan memboikot, yang dapat terasa kurang empati dan toleran.
Beberapa anak Gen-Z mungkin terkesan memiliki perasaan "entitled" atau berhak atas keberhasilan atau kenyamanan. Ketergantungan pada teknologi dan media sosial yang memberi mereka akses ke berbagai kemudahan hidup juga bisa menciptakan ekspektasi yang tak menapak realita.Perasaan entitlement bisa mengganggu hubungan interpersonal dan mendorong timbulnya konflik.
Seiring dengan berkurangnya interaksi sosial di dunia nyata, Gen-Z mungkin memiliki keterbatasan dalam kemampuan menghadapi konflik secara langsung. Mereka lebih cenderung menggunakan media sosial untuk menyampaikan pesan atau menghindari konfrontasi langsung. Kita dengan mudah menemukan akun alter di twitter (X) milik gen-z yang hobi spill konfliknya di dunia nyata. Bahkan sebagian menggunakan akun utama untuk menyindir objek konflik secara sarkastik. Ini dapat menciptakan ketidaknyamanan dalam berkomunikasi dalam situasi konflik dan membuat mereka terkesan "menyebalkan."
Baca juga: Regenerasi Kepemimpinan sebagai Upaya Optimalisasi Organisasi
Namun, penting untuk diingat bahwa tidak semua anak Gen-Z memiliki ciri-ciri ini, dan pandangan negatif terhadap generasi ini bersifat umum dan over generalism kalau menggunakan bahasa Rekayasa Sosial nya Jalaludin Rahmat. Setiap individu unik dan dipengaruhi oleh berbagai faktor, termasuk lingkungan, pendidikan, dan pengasuhan. Oleh karena itu, dalam menghadapi Gen-Z, penting untuk memahami keragaman mereka dan menghindari generalisasi yang berlebihan. Dalam sudut pandang psikologi, pemahaman tentang pengaruh lingkungan dan teknologi dapat membantu kita berinteraksi lebih baik dengan generasi ini dan menciptakan hubungan yang lebih positif dan bermakna.
Jadilah bagian dari perjuangan Sabili
Bangun Indonesia dengan Literasi!