Ketika membahas persoalan iilaa` di surah Al-Baqarah ayat 226, Ibnu Al-Arabi menceritakan dalam kitabnya, Ahkam Al Qur'an, kisah Muhammad bin Qasim Al-Utsmani yang kebetulan datang menghadiri majelis taklim yang dipimpin oleh Syekh Abu Al-Fadhl Al-Jauhari.
Syekh menyebutkan bahwa Nabi shallallahu alaihi wa sallam pernah melakukan iilaa` (sumpah tak menggauli), cerai, dan zhihar. Mendengar itu, Al-Utsmani heran, karena tidak mungkn Rasulullah saw melakukan zhihar karena ia adalah sebuah kebohongan dan dosa. Tetapi dia menahan diri sampai majelis selesai, lalu dia ikuti syekh sampai ke rumahnya.
Di rumah, dia ikut bergabung bersama beberapa jamaah. Syekh melihat dia sebagai orang asing sendiri yang belum pernah hadir di majelisnya sebelum itu. Maka, syekh bertanya kepada dirinya, "Apakah kau punya suatu keperluan yang ingin dibicarakan?"
Al-Utsmani menjawab, "Benar, syekh."
Kemudian, Syekh Abu Fadhl meminta jamaah lain meninggalkan mereka berdua, agar tamunya itu bisa bicara empat mata dengan dia. Ketika itulah, Al-Utsmani menyampaikan, "Syekh, saya datang ke majelis Anda untuk mendapatkan berkah dari Anda. Saya mendengar Anda mengatakan, Rasulullah pernah mentalak maka itu benar, Rasulullah pernah iilaa` maka itu benar, tetapi Rasulullah pernah melakukan zhihar, itu tidak mungkin, karena itu adalah dusta dan kemungkaran?!"
Mendengar itu, Syekh Abu Fadhl langsung memeluk Muhammad bin Qasim dan mencium kepalanya (pertanda kecintaan ala orang Arab) sambil berkata, "Kau benar, dan aku bertobat atas kata-kataku itu. Semoga Allah membalasmu dengan kebaikan, karena telah menjadi guru yang baik buatku."
Pernik Jihad di Bulan Ramadhan: Perjanjian Nubia atau Perjanjian Baqth
Keesokan harinya, Muhammad Al-Utsmani datang lagi ke majelis Syekh Abu Al-Fadhl dan ternyata dia sudah keduluan Syekh yang sudah berada di mimbar. Saat dia masuk, Syekh langsung memanggilnya dan mengatakan di hadapan jamaah, "Kemarin aku telah menyampaikan kepada kalian bahwa Rasulullah pernah men-zhihar, lalu orang ini telah mengoreksiku, maka aku bertobat dan mengakui kesalahan. Rasulullah tidak pernah melakukan zhihar. Aku adalah guru kalian, dan dia adalah guruku."
Ibnu Al-Arabi lalu memberi komentar:
"Lihatlah, semoga Allah merahmati kalian, bagaimana agama yg kuat ini, bagaimana sikap seorang syekh berilmu dan pentolan di hadapan orang banyak mau mengakui koreksian dari seorang asing yang tak dikenal tanpa memedulikan dia siapa dan dari mana. Contohlah sikap itu, niscaya kalian akan terbimbing."
(Ahkam Al Qur`an jilid 1 halaman 230-231 tahqiq ASY-SYEKH AL-MUJAHID AL-MURABITH Abdurrazzaq Al-Mahdi yang saat ini masih berjihad di Suriah).
=====================
Beberapa hikmah dari kisah ini adalah:
1. Mengoreksi seseorang, apalagi guru, jangan langsung di tempat tetapi tunggulah saat bertemu empat mata. Itu menunjukkan sikap bijak dan elegan.
2. Menerima koreksi dari siapa pun dan mengakui serta memuji orang yang telah mengoreksi, kemudian menyampaikan kesalahan diri sendiri dan koreksinya di hadapan jamaah yang sebelumnya telah menerima sesuatu yang salah dari kita, ini adalah sebuah sikap teladan.
Koreksian menjadi perbaikan konstruktif tanpa luka di hati ketika dilakukan oleh pengritik yang elegan beradab dan diterima oleh terkritik yang tawadhu'.

Jadilah bagian dari perjuangan Sabili
Bangun Indonesia dengan Literasi!