Nikah di Masa Iddah Tanpa Wali

Nikah di Masa Iddah Tanpa Wali
Ilustrasi proses akad nikah / Sabili.id

Tanya:

Assalamu'alaikum ustadz,

kasus yang saya tanyakan ini terjadi beberapa waktu silam pada diri teman saya. Dia saat itu belum selesai iddah lalu menikah dengan lelaki yang merusak rumah tangganya dan nikahnya tanpa perwalian, alasan yang diungkapkannya saat itu; janda bisa mewakilkan dirinya sendiri.

Pernikahan tersebut ditentang oleh keluarga dan juga oleh anak-anaknya. Dan sekarang saat rumah tangga diujung tanduk karena satu dan lain hal dan anak-anaknya terlibat berbagai macam masalah serta susah diatur, teman saya ini nanya, apakah ini ada hubungannya dengan pernikahan yang caranya seperti itu? Lalu dia harus bagaimana untuk memperbaiki semuanya?

Jamaah MT Al-Bashirah

Jawab:

Wa'alaikum salam warahmatullah.

Pernikahan ini tidak sah karena dua delik pelanggaran:

Pertama, dilakukan masih di masa iddah, kedua dilakukan tanpa wali.

Delik terberat adalah yang pertama karena ini masuk kategori nikah bathil lantaran para ulama telah sepakat bahwa nikah di masa iddah yang belum selesai tidak sah.

Adapun nikah tanpa wali maka itu tidak sah menurut mayoritas ulama dan sah menurut madzhab Hanafi, itupun dengan beberapa ketentuan. Pernyataannya bahwa janda boleh menikahkan diri sendiri memang ada ulama yang berpendapat demikian yaitu madzhab Zhahiri, tapi pendapat itu lemah, karena hadits yang mengharuskan adanya wali adalah hadits yang shahih.

Baca Juga : Apakah Mut’ah dan Nafkah di Saat Iddah Jadi Hutang Suami?

Yang paling berat dalam masalah ini adalah bila benar pernikahan dilaksanakan ketika masih masa iddah. Semua ulama sepakat pernikahan itu tidak sah dan harus dipisahkan, bahkan andai setelah terjadi hubungan suami istri dan punya anak sekalipun.

Dasar dari ini adalah firman Allah Ta’ala,

وَلَا تَعْزِمُوْا عُقْدَةَ النِّكَاحِ حَتّٰى يَبْلُغَ الْكِتٰبُ اَجَلَهٗ
“……Jangan pulalah kamu menetapkan akad nikah sebelum berakhirnya masa iddah….” – QS. Al-Baqarah: 235

Pernah ada kejadian di masa Umar bin Khaththab Ra sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Malik dalam kitab Al-Muwaththa` bahwa Rasyid Ats-Tsaqafi menceraikan istrinya bernama Thulaihah. Tapi belum selesai masa iddahnya Thulaihah menikah dengan pria lain. Umar lalu menangkapnya dan kemudian mencambuk mereka berdua dan memisahkan mereka. Kemudian Umar berpidato,

“Wanita mana saja yang menikah di masa iddahnya maka kalau belum terjadi persetubuhan maka mereka dipisahkan, lalu dia melanjutkan iddah yang dari suami pertama. Setelah itu pria yang menikahinya di masa iddah tadi boleh melamar ulang. Tapi kalau sudah terjadi persetubuhan maka dia dipisahkan lalu beriddah melanjutkan masa iddah pertama, lalu dilanjutkan masa iddah dari suami kedua, dan suami yang kedua ini tak boleh menikahinya lagi selamanya.”

Baca Juga : Bila Salah Satu Saudara Tidak Setuju, Bisakah Pindah ke Saudara yang Lain untuk Jadi Wali Nikah?

Keputusan Umar untuk poin terakhir bahwa mereka tak bisa lagi menikah selamanya dikoreksi oleh Ali yang menyatakan bahwa bila telah terjadi persetubuhan maka si wanita ini berhak dapat mahar karena kemaluannya dan setelah dua iddah selesai mereka boleh menikah ulang. Akhirnya Umar rujuk dari keputusan pertamanya.

Dia telah melakukan dosa, meski mungkin selamat dari hukuman zina karena adanya syubhat ketidaktahuan (jahil) tapi tetap saja berdosa karena tidak bertanya kepada para ulama untuk masalah halal haram. Sehingga bisa jadi masalah kehidupan yang dia alami adalah hukuman Allah atas perbuatan itu semua dan kecerobohannya jauh dari ilmu dan belajar agama.

Yang harus dilakukan adalah berpisah dalam bentuk fasakh dan bila suaminya masih mau menikahi maka harus menunggu masa iddah dulu yaitu satu kali haidh, atau bersihnya rahim, barulah boleh akad nikah ulang berdasarkan pendapat yang kami pilih, karena ada perbedaan pendapat para ulama untuk rincian kasus ini.

Referensi:

  1. Ibnu Hazm dalam kitab Al-Muhalla jilid 9 hal. 68 mengatakan,
مَسْأَلَةٌ: وَلَا يَحِلُّ لِأَحَدٍ أَنْ يَخْطُبَ امْرَأَةً مُعْتَدَّةً مِنْ طَلَاقٍ أَوْ وَفَاةٍ، فَإِنْ تَزَوَّجَهَا قَبْلَ تَمَامِ الْعِدَّةِ فُسِخَ أَبَدًا - دَخَلَ بِهَا أَوْ لَمْ يَدْخُلْ، طَالَتْ مَدَّتُهُ مَعَهَا أَوْ لَمْ تَطُلْ - وَلَا تَوَارُثَ بَيْنَهُمَا، وَلَا نَفَقَةَ لَهَا عَلَيْهِ، وَلَا صَدَاقَ وَلَا مَهْرَ لَهَا.
فَإِنْ كَانَ أَحَدُهُمَا عَالِمًا فَعَلَيْهِ حَدُّ الزِّنَا مِنْ الرَّجْمِ وَالْجَلْدِ، وَكَذَلِكَ إنْ عَلِمَا جَمِيعًا، وَلَا يُلْحَقُ الْوَلَدُ بِهِ إنْ كَانَ عَالِمًا.
وَإِنْ كَانَا جَاهِلَيْنِ فَلَا شَيْءَ عَلَيْهِمَا، فَإِنْ كَانَ أَحَدُهُمَا جَاهِلًا، فَلَا حَدَّ عَلَى الْجَاهِلِ، فَإِنْ كَانَ هُوَ الْجَاهِلَ فَالْوَلَدُ بِهِ لَاحِقٌ، فَإِذَا فُسِخَ النِّكَاحُ وَتَمَّتْ عِدَّتُهَا فَلَهُ أَنْ يَتَزَوَّجَهَا إنْ أَرَادَتْ ذَلِكَ كَسَائِرِ النَّاسِ
“Tidak halal seseorang melamar wanita yang masih dalam masa iddah, baik iddah wafat maupun talak. Kalau dia menikahinya di masa iddah maka harus di-fasakh (dibatalkan, dianggap tak pernah ada pernikahan) baik sudah terjadi persetubuhan ataupun belum, baik setelah lama terjadi ataupun baru. Tidak ada saling mewarisi antara mereka (suami istri yang menikah di masa iddah ini -penerj), si wanitanya tidak berhak mendapat nafkah, tidak ada mahar.
Kalau salah satu dari mereka tahu hukumnya (bahwa itu dilarang) maka dia harus dikenakan hukuman zina berupa rajam ataupun cambuk. Begitu pula kalau mereka berdua tahu hukumnya dan bahwa dia masih dalam masa iddah, dan anak tidak dinasabkan ke bapaknya bila yang pria ini tahu kalau itu terjadi di masa iddah dan tahu hukumnya.
Tapi kalau mereka berdua tidak tahu hukumnya maka tidak ada hukuman buat bagi mereka. Kalau salah satu saja yang tidak tahu, maka tidak ada hukuman buat yang tidak tahu. Kalau yang prianya tidak tahu lalu sudah menghasilkan anak, maka anak itu dinasabkan kepadanya.
Kalau sudah dipisahkan dan sudah selesai lagi masa iddah dari perpisahan itu maka lelaki yang tadi menikahi secara tidak sah ini boleh menikahi kembali layaknya orang lain.”

Selesai dari Ibnu Hazm.

  1. Ibnu Qudamah dalam kitab Al-Mughni (tahqiq At-Turki) jilid 11 hal. 237-238:
إذَا ثَبَتَ هَذَا ، فَعَلَيْهِ فِرَاقُهَا ، فَإِنْ لَمْ يَفْعَلْ ، وَجَبَ التَّفْرِيقُ بَيْنَهُمَا ، فَإِنْ فَارَقَهَا أَوْ فُرِّقَ بَيْنَهُمَا ، وَجَبَ عَلَيْهَا  أَنْ تُكْمِلَ عِدَّةَ الْأَوَّلِ ؛ لِأَنَّ حَقَّهُ أَسْبَقُ ، وَعِدَّتُهُ وَجَبَتْ عَنْ وَطْءٍ فِي نِكَاحٍ صَحِيحٍ ، فَإِذَا أَكْمَلَتْ عِدَّةَ الْأَوَّلِ ، وَجَبَ عَلَيْهَا أَنْ تَعْتَدَّ مِنْ الثَّانِي ، وَلَا تَتَدَاخَلُ الْعِدَّتَانِ ؛ لِأَنَّهُمَا مِنْ رَجُلَيْنِ .
“Jika telah demikian maka suami yang menikahi wanita di masa iddah harus melepaskannya. Kalau dia tidak mau maka mereka berdua dipisahkan. Kalau mereka sudah berpisah atau dipisahkan maka dia menjalani iddah dari suami pertama, karena kewajiban menyangkutnya terjadi lebih dulu dan iddahnya berdasarkan persetubuhan lantaran nikah yang sah. Kalau sudah selesai iddah dari mantan suami pertama maka dia lanjut dengan beriddah dari suami yang kedua (yang tidak sah ini tadi -penerj). Kedua iddah ini tidak include, karena berasal dari dua lelaki yang berbeda.”

Dijawab oleh Ustadz Anshari Taslim, Lc. / Mudir Pesantren Bina Insan Kamil - DKI Jakarta

Bagi pembaca setia Sabili.id yang ingin mengajukan pertanyaan seputar kaidah hukum Islam, silahkan mengirimkan pertanyaannya ke meja redaksi kami melalui email: [email protected]


Komentar Anda:

Anda telah berhasil berlangganan di Sabili.id
Selanjutnya, selesaikan pembayaran untuk akses penuh ke Sabili.id
Assalamu'alaikum! Anda telah berhasil masuk.
Anda gagal masuk. Coba lagi.
Alhamdulillah! Akun Anda telah diaktifkan sepenuhnya, kini Anda memiliki akses ke semua artikel.
Error! Stripe checkout failed.
Alhamdulillah! Your billing info is updated.
Error! Billing info update failed.